Sunday 15 December 2013

Always Love You Part 12



Aku seperti seorang turis ketika aku kembali menginjakkan kaki ku di desa ku. Semuanya tampak berubah. Semakin terlihat modern. Aku semakin tidak sabar untuk melihat bagaimana rumah ku sekarang. Aku menaiki taxi untuk mengantarku dari stasiun kereta menuju ke rumahku. Dalam perjalanan tak henti-hentinya aku tersenyum. Mom… I’m back…
Apakah ini rumahku? Tidak salah kah? Mengapa luarnya tampak berbeda? Well, bentuknya masih sama. Kecil, mungil, namun terlihat begitu nyaman tapi… sejak kapan ada kandang anjing di halaman rumah? Dan bukankah warna cat rumahku biru? Mengapa sekarang menjadi warna hijau muda? Oke, aku harap aku tidak salah rumah.
Kemudian  aku mengetuk pintu rumah yang tampak lenggang itu. Menunggu beberapa detik sebelum akhirnya pintu tersebut terbuka.
“Mom!” seruku bahagia dan langsung saja aku memeluk mom dengan erat.
“Claura? Ya tuhan? Ini kau sayang?” tanyanya seraya memelukku kembali.
Aku menganggukan kepalaku yang berada dalam pelukannya
“Oh sayang. Betapa mom merindukanmu.”
“Aku juga sangat merindukanmu mom.”
Mom kemudian melepaskan pelukannya. Ia menatapku lama. “Ayo, masuklah. Mom sedang membuat makan siang. Kau belum makan kan?”
“Sebenarnya aku sudah makan, tapi… aku pasti akan sangat terhormat mencicipi masakan buatanmu mom.” Ucapku dengan seringaian lebar.
Aku memasuki rumahku dengan perasaan takjub. Mungkin tampak luarnya berubah, tapi tampak dalamnya masih terlihat sama. Sama seperti aku mengingatnya dulu. Tidak berubah sama sekali.
“Masih seperti dulu bukan?” tanya mom membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum. “Yeah, masih sama seperti aku mengingatnya dulu.”
“Mom memang sengaja tidak merubah dekorasi dalam rumah agar ketika kau pulang nanti kau masih merasa pulang ke rumah.”
“Oh… mom… aku sangat mencintaimu.”  Aku memeluk mom lagi.
“Mom juga sayang. Ayo, cepat letakkan barang-barangmu di kamar dan kita makan siang bersama.”
“Ayayayay kapten.” Setelah menghormat pada sang kapten aku kemudian membawa barang-barangku masuk ke dalam kamar.
###
“Bagaimana kuliahmu?”
“Baik.” Jawabku seraya memasukkan satu biskuit madu buatan mom ke dalam mulutku. Mom memang senang membuat biskuit madu, dan aku akan senang memakannya bersama dengan susu coklat hangat.
“Paula?”
“Dia juga baik. Beberapa waktu yang lalu Gerald baru saja lulus dari kuliahnya dan sudah di terima bekerja.”
“Ya, mom juga mendengar hal itu.”
Aku kemudian meneguk susu coklat ku yang masih penuh. Rasanya begitu nikmat sekali.
“Kau masih bekerja paruh waktu di restaurant itu?”
Aku mengangguk. “Semakin hari semakin menyenangkan. Aku mencintai pekerjaanku mom, dan mom tidak perlu khawatir itu akan mempengaruhi kuliahku, buktinya selama ini nilai ku baik-baik saja bukan?”
Mom mengangguk, kemudian ia terdiam cukup lama. “Tidak ada kah yang ingin kau ceritakan pada mom?”
Aku mengernyit. “Cerita apa?”
“Soal kekasih mu misalnya.”
Aku yang sedang meneguk susu coklat ku langsung tersedak. Sial! Mengapa jadi topic ini yang di bahas?
“Kemarin Paula menelpon mom dan mengatakan kalau kau mempunyai seorang kekasih di London, benarkah?”
Paula dan mulut besarnya. Ingatkan aku untuk memukul kepalanya ketika aku kembali ke London.
“Emm… Yeah… seperti itulah.” Ucap ku gugup. Jujur saja aku belum berani membicarakan Andreas pada mom. Ini masih terlalu cepat.
“Siapa laki-laki beruntung itu?” tanya mom memajukan badannya, tampak antusias
“Yeah… dia tampan, tinggi, manly, hidungnya mancung, dan matanya coklat.”
“Matanya coklat?” tanya mom memastikan
Aku mengangguk. “Yeah. Matanya coklat dan indah. Kalau di tanya bagian mana yang aku suka darinya adalah matanya.”
Mom tersenyum lembut. “Matamu juga coklat sayang.”
Aku terkejut. Benarkah? Mengapa aku tidak tahu? Aku harus berkaca setelah ini dan melihat apakah benar mataku coklat atau tidak.
“Siapa laki-laki itu?” tanya mom kembali.
“Emmm…. Namanya….”
Aku terselamatkan oleh bunyi bel rumah. Tuhan, terima kasih karena kau menyelamatkan ku kali ini.
Mom segera beranjak dari dapur dan membuka pintu. Siapa pun yang bertamu aku sangat berhutang budi padamu.
“Claura!” seru Uncle Brad ketika ia melihatku di dapur.
“Uncle Brad!” seru ku tak kalah gembira. Aku langsung berlari dan memeluk tubuh besar Uncle Brad.
“Keponakanku yang nakal. Apa kabarmu? Kapan kau datang?” tanya nya setelah menguap kepalaku.
“Aku baik. Aku baru tiba tadi siang, dan tolong jangan panggil aku keponakan yang nakal, itu tidak enak di dengar.”
“Oke, bagaimana kalau keponakanku yang bandel?” ujarnya seraya tersenyum menggoda. Aku hanya memutar mataku. Apa bedanya nakal dan bandel?
“Untuk apa Uncle datang kemari?” tanyaku setelah kami duduk di kursi di dapur. Tak lama kemudian mom datang dan duduk di antara aku dan Uncle Brad.
“Well, seperti biasa, menagih makan siang.” Kemudian ia tertawa lebar.
 “Uncle mu ini selalu kemari setiap hari, hanya untuk menumpang makan.” tambah mom seraya melirik tajam Uncle Brad.
“Jangan salahkan aku bila masakan mom mu ini begitu enak.”
“Itu hanya alasanmu agar bisa menumpang makan lagi kan Brad?”
Uncle Brad menaikkan bahunya. “Dan ku harap itu berhasil.” Kemudian kami tertawa bersama. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan dari keluarga ku sendiri. Ini membuktikan tanpa kehadiran Dad, aku masih bisa bahagia. Aku masih terasa sempurna.
                                                       *****
“Mom, kau belum tidur?” tanyaku ketika aku menemukan mom sedang duduk di meja makan memunggungiku. Mom langsung menghapus air matanya. Sepertinya mom habis menagis.
“Mom, kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir
“Mom baik-baik saja sayang. Mengapa kau belum tidur? Ini sudah malam dan kau pasti sangat kelelahan.”
“Aku ingin tidur bersama mom.” Ujarku pelan. Yeah, aku merindukan tidur bersama mom. Bilang aku manja dan aku tidak perduli
“Baiklah bayi besar mom. Mari kita tidur.” Mom kemudian beranjak dari kursi. Sambil memeluk bahuku, kami memasuki kamar.
Kemudian aku masuk ke dalam selimut di susul oleh mom. Kemudian mom mematikkan lampu dan kamar menjadi gelap. Aku langsung memeluk pinggang mom dan meletakkan kepalaku senyaman mungkin. Ini seperti Andreas yang sedang memelukku ketika kami ingin tidur.
“Claura?”
“Hmmm?” aku mendongakan kepalaku agar bisa melihat wajah mom
“Siapa pun pria itu. Mom hanya minta satu hal.” Aku hanya diam. Menunggu mom melanjutkan kata-katanya. “Jadilah wanita yang terhormat. Jangan kau seperti mom.”
“Bagiku mom adalah wanita yang terhormat.”
Mom tersenyum lembut, kemudian ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Mom pernah melakukan kesalahan sewaktu dulu. Mom harap kesalahan itu tidak terjadi kepadamu.” Kemudian mom mengetatkan pelukannya. “Kau adalah anugrah terindah yang pernah hadir dalam hidup mom. Mom sangat mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu mom.”
Kemudian suasana hening menyelimuti kamar, membuat mataku semakin lama semakin berat, tak berapa lama kemudian aku tertidur.

Semoga ada sedikit 'perncerahan' ya dari part ini. aku gak mau jawab apa-apa sekarang. pertanyaan  kalian bakalan terjawab di tiap bagian-bagian nantinya. so... nikmatin aja sekarang :) :peluk hangat:
nb: New cover. maaf ya kalau jelek dan alay. baru nyobain bikin cover sendiri *nunduk sedih* 

Friday 13 December 2013

Always Love You - Part 11


Ada yang kangen cerita ini? hehehe... masih belom konflik ko.... tenang aja. masih bisa santai-santai bacanya. konfliknya masih 3-4 part lagi atau juga bisa lebih hehehehe



“Temanmu menyenangkan.” Andreas memelukku dari belakang dan mencium pelipisku.
Aku mendengus. “Itu memalukkan. Jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya tadi. Dia sedikit gila.”
Andreas tertawa. Dan ya tuhan, tawanya begitu merdu. “Menurutku dia unik. Dia tipe orang yang apa adanya, tidak ada yang di tutup-tutupi.”
Aku memutar badanku. “Oh, jadi sekarang kau beralih profesi menjadi psikiater?”
Andreas mengangkat bahu. “Aku hanya sering membaca buku.”
Aku sedang membereskan meja makan sehabis kami bertiga makan malam. Yeah, Paula ikut makan malam bersama kami sebelum akhirnya dengan kode yang ku berikan dia pergi juga. Andreas sedang sibuk di ruang tengah, bersama laptop dan beberapa lembar kertas yang berada di pangkuannya. Memang sering begini setiap malam. Sehabis makan malam, aku mencuci piring dan Andreas sibuk dengan pekerjaannya, lalu pukul 11 malam aku akan mengomel karena sudah waktunya tidur dan Andreas butuh istirahat, Andreas akan merajuk, menarik tubuhku, kami berciuman cukup lama sampai kami tak bisa bernafas, lalu kami pergi tidur dengan lengan Andreas yang menjadi selimutku. Setiap hari begitu tapi aku tidak pernah bosan. Oh man, aku tidak akan pernah bosan bila dengannya.
“Kau masih lama?” tanya Andreas seraya memelukku. Aku masih mencuci pirirng di dapur.
“Tidak juga, sebentar lagi selesai. Memangnya kenapa?”
“Aku lelah. Ayo kita tidur.”
Ooh… ini tidak biasa.
Aku lihat jam dinding di atas tv. Pukul 09.30 malam. Ini masih ‘pagi’ sebenarnya untuk tidur.
“Kau tidak seperti biasanya. Kau kenapa? Sakit?”
Dapat kurasakan gelengan kepala Andreas di bahuku. Ia kemudian mengetatkan pelukannya.
“Hanya ingin memelukmu lebih lama lagi.”
Setelah mencuci tanganku dan mengeringkannya, aku membalikkan badan dan merangkum wajahnya. Wajahnya terlihat lelah, ada lingkaran hitam di bawah matanya.
“Kau sakit.” Ucapku singkat.
Andreas kembali menggeleng.
“Hanya butuh istirahat.”
“Minum vitamin lalu kita tidur. Kau terlihat kecapaian sayang.” Aku mengelus lembut pipinya dan menyingkirkan sedikit rambut yang menghalangi dahinya.
Andreas mencium pipi ku lalu melepaskan pelukannya, ia berjalan ke meja makan dan mengambil vitamin sedangkan aku pergi ke kamar tidur untuk merapikan tempat tidur. Sudah menjadi kebiasaanku untuk merapikan tempat tidur sebelum dan sesudah tidur.
Andreas yang pertama kali masuk ke dalam selimut, baru kemudian aku. Andreas langsung melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku dan menariknya begitu erat. Ini tidak biasanya. 
“Ada apa? Kau tidak seperti biasanya?”
Andreas menggeleng. Ia enggang berbicara
Aku merangkum wajahnya dengan telapak tanganku. Menatap kedua matanya yang jernih dengan lembut. “Ada apa sayang?”
Andreas mendesah, ia terlihat kelelahan. “Aku tidak ingin kau pergi.”
Aku memiringkan kepalaku, menatapnya dengan bingung. “Kenapa?”
“Karena aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Aku hanya pergi beberapa hari.”
“Aku ikut.” Ucapnya merengut.
“Andreas, kita sudah membicarakan hal ini. Aku tidak bisa…”
“Aku tahu! Aku tahu aku tidak bisa pergi ke rumah mu karena kau belum siap untuk memberitahu hubungan kita kepada ibumu. Aku tahu!” Andreas mengacak-acak rambutnya kesal. “Aku hanya tidak ingin kau pergi terlalu jauh dariku. aku takut kau tidak kembali.”
“Ya tuhan, Aku akan kembali. Aku akan kembali oke?” Aku bergerak mendekat kepadanya. Perlahan ku peluk dirinya. Ku usap rambutnya yang halus dan harum itu. Hembusan nafasnya yang mulai tenang menggelitik tengkukku.
“Sudah lebih baik?” tanyaku setelah melepaskan pelukan kami.
Andreas mengangguk. Wajahnya sudah mulai tenang.
“Tidurlah.” Aku mengatur posisiku, mencari posisi yang nyaman. Aku tidur menyamping menghadapnya. Memandang wajahnya. Ku usap pipinya yang halus. Mataku menatap mata coklatnya. Indah. Seakan aku tenggelam di dalamnya. Aku mencintai mata itu.
****
Esok paginya aku, aku sedang membuat sarapan ketika Andreas datang dan memelukku dari belakang. Harum cologne nya yang memabukkan masuk ke dalam indra penciumanku, membuat rasa nyaman.
“Pagi.” Sapanya seraya mencium tengkukku.
“Pagi.”
“Kau akan berangkat jam berapa?” tanya Andreas seraya mengetatkan pelukannya.
“Sehabis makan siang.”
Andreas menenggelamkan wajahnya di leherku, menghirup aroma tubuhku dengan hidungnya yang mancung. “Aku akan merindukanmu.”
“Aku juga.”
“Cepatlah kembali.”
Aku mematikan kompor lalu membalik tubuhku hingga kini aku berhadapan dengannya. “Aku akan kembali oke? Aku janji.”  Kemudian aku melingkarkan lenganku di lehernya dan mencium bibirnya dengan lembut.

Sunday 8 December 2013

Love You Forever



Suara erangan, jeritan, dengusan, sudah bukan hal yang baru lagi untukku. Melihat mereka saling tindih, berusaha saling memuaskan nafsu birahi masing-masing hingga akhirnya sebuah pelepasan indah yang mereka dapatkan lalu mereka telelap karena kelelahan. Aku melihat itu semua dari dekat. Ya… aku ada di antara mereka. Menjadi penonton setia setiap pergumulan malam mereka. Menjadi orang yang terakhir melihat mereka terjaga. Aku ingin sekali menjadi pemain di antara kegiatan mereka, sayang… aku harus di takdirkan sebagai penonton.
Setelah ku pastikan mereka tidur. Ku dekati ranjang yang berantakan itu. Duduk di samping seorang gadis yang terlelap dengan pulasnya. Merapikan rambut yang menutupi wajah manisnya. Merapikan anak rambut yang basah karena keringat akibat olahraga malam mereka. Inilah hiburan bagiku, melihat wajah kekasih pujaan hatiku dari dekat. Hanya ketika ia tidurlah aku mampu melihatnya dari dekat. Hanya ketika ia berada di alam mimpinya aku bisa menyentuhnya.
Wajahnya masih tampak sama seperti terakhir kami bertemu. Aku tersenyum. Sudah lama sekali kita bertemu. 3 bulan. 3 bulan yang lalu kami terakhir bertemu di restoran favorit kami untuk makan malam bersama, memperingati 3 tahun kami bersama sebagai sorang kekasih. Hal itu masih membekas indah dalam ingatanku.
Ketika aku sedang asik membelai pipinya yang lembut, tiba-tiba mata indahnya itu terbuka. Sepertinya ia terbangun. Matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar. Di lihatnya laki-laki yang berada di belakangnya. Laki-laki yang tidur nyenyak di ranjang yang sama dengan dirinya. Seketika itu juga ia membekap mulutnya sendiri, setitik air mata jatuh mengalir membasahi matanya yang indah itu.
Tidak sayang, jangan menangis, aku mohon.
Gadis itu masih menangis dalam dia. Ia semakin mengetatkan telapak tangannya agar tangisnya tidak terdengar dan membangunkan pria yang di sampingnya itu. Setelah ia bia mengendalikan dirinya, gadis itu bangun dari tempat tidur, tidak lupa ia mengenakan pakaiannya kembali lalu pergi keluar kamar. Aku mengikutinya dari belakang, mencoba menebak ia akan pergi ke mana.
Gadis itu berhenti di ruang tengah dengan tangannya yang gemetar ia menyalakan televise, kemudian jari-jari tangannya yang lentik mencari kaset video di antara jejeran kaset di dalam lemari. Jemarinya berhenti di salah satu kaset. Mengambilnya lalu memasukkannaya ke pemutar video. Gadis itu memposisikan dirinya di sofa dengan mengangkat kedua kakinya ke atas, lalu kedua tangannya melingkar di lutut.
Rekaman video itu menyala. Bagian awal terlihat wajah gadis itu sedang tersenyum sumringah dengan sebelah tangannya menggenggam videocam, lalu sudut pandang berubah dengan hamparan ombak yang indah, ditemani dengan matahari tenggelam menambah keindahan pantai itu.
“Leo, kemari!  Lihat! Sebentar lagi matahari tenggelam.”
Kamera lalu menyorot seorang laki-laki yang berlari dari jauh dengan tergesa-gesa. Itu aku!
“Leo, lihat! Indah kan?” gadis itu kemudian kembali menyorot ombak yang bergulung dengan background kemerahan itu. “Leo!” seru gadis itu terpekik kaget. Ia merasa tubuhnya di tarik oleh seeorang lalu memeluknya dengan erat.
“Hal yang paling indah adalah kau, cantik.” Kemudian kamera menyorot sepasang kekasih yang berciuman dengan mesra di temani dengan heningnya pantai dan suasana yang romantis.
“Leo… hiks hiks hiks… leo…” perlahan gadis itu berjalan mendekat ke arah layar televise, jarinya yang bergetar itu menyentuh layar, mengusap gambar seorang laki-laki yang bernama Leo itu. “Leo… hiks… aku merindukanmu.” Kemudian tubuh gadis itu jatuh di depan televisie. Aku menghampirinya, menatapnya dengan lirih.
“Aku tidak sanggup Leo. Aku tidak sanggup. Kau pergi terlalu cepat Leo.”
Tidak sayang, aku tidak pergi. Aku disini. Di depanmu. Lihat aku sayang. Lihat aku.
“Mengapa kau harus pergi saat kita merayakan 3 tahun kebersamaan kita? Mengapa kau tega meninggalkanku, Leo!”
Aku tidak meninggalkanmu sayang. Aku disini. Tuhan… izinkan ia melihatku, ku mohon.
Beberapa menit kemudian gadis itu berdiri, dengan langkah gontainya ia berjalan kembali ke kamar. Di dekatinya sisi ranjang si laki-laki tadi. Ia duduk di samping laki-laki itu lalu mengusap kepalanya dengan lembut.
“Terima kasih, Frans. Kau memang sahabat Leo yang paling baik. Terima kasih karena kau sudah mau menemaniku hingga saat ini.” Kemudian gadis itu mengecup kening laki-laki itu lama. “Terima kasih dan selamat tinggal.”
Kemudian gadis itu berjalan memasuki kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Di pandanginya dirinya yang terpantul dalam cermin. Setelah beberapa kali menghembuskan nafasnya, ia menarik laci yang berada di bawah meja, mengambil sebuah cutter. Kemudian ia berjalan memasuki bathup. Menyenderkan punggungnya pada marmer yang dingin.
“Aku ingin bertemu denganmu Leo. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu, Leo” Dan….
SREEEEETTTTT…..
JENNNYYY!!!!!!
Gadis itu tersenyum miris. “Sebentar lagi kita akan bertemu, Leo sebentar lagi.”
Darah mengalir dari pergelangan tangannya dengan deras. Membasahi lantai kamar mandi dan mewarnainya dengan wajah merah pekat.
Aku berlari sekuat tenaga menghampiri laki-laki yang masih tertidur pulas itu.
Bangun bodoh! Bangun! Lihat Jenny! FRANS! BANGUN!
Aku berteriak sekuat tenaga tapi laki-laki itu maih tidak bergeming.
Aku mohon bangun Frans. Nyawa Jenny berada di tanganmu.
Aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tidak ingin Jenny meninggal. Tidak. Hidupnya masih panjang. Bukan waktunya untuk dia pergi sekarang.
Sebuah keajaiban terjadi mata laki-laki itu bergerak, kemudian laki-laki itu terbangun. Tubuhnya bergerak ke samping mencari dimana gadisnya.
“Jen… Jenny….”
Dia di kamar mandi, BODOH! Dia edang berusaha mengakhiri hidupnya, cepat susul dia!
Laki-laki itu kemudian mencarinya di dalam kamar mandi. “Jen… Ya tuhan! JENNY!” Secepat kilat ia menghampiri gadis itu. “Jenny! Ya Tuhan! Bertahanlah jen…”
Ya tolong… tolong selamatkan dia, buddy. Hanya kau lah satu-satunya harapanku.
“Leo…” gumam gadis itu dengan suara parau.
Apa?
“Leo…” gadis itu menunjuk ke arah ku dengan jarinya yang penuh darah. Ia kemudian tersenyum manis. “Leo… akhirnya kita bertemu.”
Dia melihatku! Akhirnya gadisku melihatku!
“Apa?! Jenny… ku mohon bertahanlah.” Dengan segera laki-laki itu menggendong gadisku dan membawanya ke rumah sakit.
“Leo… aku mencintaimu.” Ucap gadis itu sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.
Aku juga mencintaimu, sayang. Gadisku. Cintaku. Jantungku. Jenny-ku. Aku mencintaimu, selalu. Selamanya.