Wednesday 17 July 2013

Wrong Or Right Part 11



“Alexa!” seru Jenny seraya menggoyang-goyangkan lengannya ke atas sebagai tanda supaya Alexa menghampirinya
“Udah siap kan?” Tanya Jenny ketika Alexa sudah berada di sampingnya.
Alexa mengangguk.
“Kenapa? Kok kusut banget mukanya.”
“Kurang tidur.” Jawab Alexa singkat. Ia tidak ingin membahas apa yang terjadi kemarin malam.


Sesampainya di Bali hal pertama yang ingin dilakukannya adalah pergi ke hotel lalu merebahkan diri di ranjang. Capek sekali. Dan ia tidak biasa tidur sambil duduk.
“Kita kemana dulu sekarang? Belanja? Makan?” Tanya Jenny bersemangat
“Hotel. Kita pergi ke hotel. Aku ingin tidur.” Ujar Alexa seraya memijit dahinya. Ia juga belum makan dari tadi pagi.
“Kau memang membosankan.” Ujar Jenny kesal.
Alexa langsung terjun ke tempat tidur ketika ia sudah check in. Tanpa mengganti pakaiannya ia mencoba nyaman dan berusaha memejamkan matanya.
Ia terbangung karena ketukan terus menerus. Dengan kesal di bukanya pintu itu.
“Alexa! Kau belum bersiap-siap? Sebentar lagi seminarnya akan di mulai.”
 Tampang Alexa memang kacau balau. Rambut acak-acakkan, pakaian kusut, make up luntur.
“Kau harus membersihkan itu semua dalam waktu 15 menit. Aku tunggu kau di ballroom.” Ujar Jenny lalu pergi meninggalkan kamar Alexa
Dengan langkah gontai, Alexa berjalan ke kamar mandi. Ia masih mengantuk sekali, tapi karena tujuan awal ia kemari karena seminar bukan karena liburan.

***

Seminar berlangsung membosankan. Walaupun sang pembicara membawakan materi yang bagus, tapi entah mengapa terasa begitu membosankan. Berkali-kali Alexa menguap menahan kantuk.
“Mau makan nggak?” Tanya Jenny ketika seminar telah usai.
“Maunya sih langsung tidur. Tapi dari tadi aku belum makan nih.”
“Kita cari makan yuk. Jangan makan di hotel, mahal.”
Alexa hanya mengangguk. Ketika mereka hendak meninggalkan lobby ada seseorang yang menepuk pundaknya. Alexa menoleh, dan didapatinya Steve berada disana.
“Steve?” seru Alexa tak percaya.
“Hai.” Steve menunjukkan senyumannya
“Apa yang… hey… Steve? What are you doing here?” Tanya Jenny tak kalah terkejutnya
“Hanya liburan. Aku meminta libur 3 hari.” Terlihat mata Steve yang berbinar. “Kalian mau kemana?”
“Kita mau makan malam. Kau mau ikut?” Tanya Jenny berbaik hati menawarkan.
“Apa? Tidak. Sepertinya Steve sudah makan. Iya kan Steve?” Alexa melotot kepada Steve.
Raut wajah Steve terlihat sedang berpikir, lalu kemudian senyum kembali tercecah di wajahnya. “Aku belum makan. Tentu saja aku mau ikut.”
Steve dan Jenny sudah berjalan duluan, meninggalkan Alexa yang hanya bisa termenung.


“Kebetulan sekali kita bisa bertemu denganmu disini, Steve.” Ujar Jenny ramah, namun dia tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.
“Ya, kebetulan sekali.” Ujar Steve singkat, sepertinya ia tak ingin membahas terlalu jauh.
Setelah itu acara makan malam berlangsung dengan diam. Entah apa yang ada di benak masing-masing. Alexa pun tak ingin tahu.


“Selamat malam sayang.” Ucap Jenny seraya mencium kedua pipi Alexa. “Besok kita akan bersenang-senang.” Jenny mengedipkan sebelah matanya, terlihat genit. “Selamat malam, Steve.” Jenny lalu pergi memasuki lift, meninggalkan Alexa berdua dengan Steve di depan pintu kamarnya. Kamar mereka berbeda lantai.
“Kalau begitu, selamat malam juga Steve.” Ujar Alexa menunduk lalu membalikkan badannya, berusaha membuka pintu kamarnya. Ketika pintu terbuka dan ia masuk, Steve menghalanginya membuat pintu itu tak bisa tertutup.
“Aku ingin bicara denganmu. Sebentar saja.” Ucapan Steve menghentikan langkah Alexa.
“Kita bicara di dalam saja.” Alexa memutar kuncinya lalu mendorong pintu. Alexa menaruh tasnya di kursi. Steve duduk di pinggir ranjang.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” Alexa duduk di kursi di sebrang Steve.
“Kau tidak ingin tahu mengapa aku mengikutimu kemari?” Tanya Steve seraya mengangkat alisnya.
“Aku tidak perlu tahu apa yang kau ingin lakukan.” Alexa menyampirkan kaki kanannya.
Lama mereka terdiam. Nada dering dari ponsel Alexa lah yang memecah keheningan. Alexa mengangkat panggilan itu dan menjauh dari Steve.
“Jenny, ada apa?”
“Hei. Maaf menganggu tidurmu. Aku hanya memberitahumu kalau besok kita akan pergi ke pantai. Tadi aku bertemu bule keren saat kembali ke kamar dan dia mengajakku ke pantai, jadi aku mengajakmu.” Ujar Jenny girang.
“Kau sudah memiliki Reno dan sekarang kau menggoda seorang bule?”
“Hei, aku tidak menggodanya dia sendiri yang datang, lagipula Reno tidak tahu ini.”
“Baiklah, jam berapa?”
“Pagi jam 7. Aku akan menjemputmu besok. Kalau begitu selamat malam sweatheart.”
Alexa menutup flap ponselnya, menaruhnya di atas meja rias. Lalu berbalik menghadap Steve. Dilihatnya Steve tertidur terlentang dengan kedua kaki masih menyentuh lantai. Didekatinya tubuh itu dengan perlahan. Alexa duduk di samping Steve.
“Steve. Wake up. Kau tida bisa tidur disini.” Alexa mengguncang tubuh Steve dengan pelan. Tidak ada reaksi dari Steve. “Steve…”
Tiba-tiba tangan Steve memeluknya. Membuatnya terjatuh, menindih tubuh Steve. Wajahnya menghadap wajah Steve. Steve sudah membuka matanya. Memandangi Alexa dengan tatapan dalamnya.
“Aku ingin tidur. Disini.” Ucap Steve singkat namun dalam.
“Kau tidak bisa tidur disini Steve. Bagaimana kalau ada yang melihat kau keluar dari kamarku esok pagi?” Alexa berusaha melepaskan diri dari Steve namun tidka bisa.
“Biarkan saja.” Steve mempererat pelukannya dan kembali memejamkan mata. “Aku ingin tidur dengan posisi seperti ini.”
Alexa menaikkan alisnya. “Aku ini berat, Steve.”
Namun Steve tidak bergeming. Alexa tahu kalau Steve sedang berpura-pura. Mana mungkin orang bisa tidur secepat itu.
“Oke. Kau mau tidur? Baik. Tapi tidak dengan posisi seperti ini. Aku tidak bisa tidur.”
Mata Steve mulai terbuka. Segaris senyum mulai nampak dari bibirnya.
“Dan sebaiknya kau ganti baju dulu.”
Steve memandangi dirinya. Alexa benar dia masih menggunakan kemeja dan celana jeans lengkap dengan sepatu.
“Aku mau kau yang melepaskannya.” Seringai Steve.
“Lebih baik kau melepaskannya sendiri. Aku mau mandi.” Alexa lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi.
****
Alexa keluar dari kamar mandi dengan sudah berganti baju dengan lebih santi. Dilihatnya Steve sedang bermain dengan ponselnya. Steve juga sudah melepas kemeja dan celana jeansnya. Sekarang dirinya sudah terbalut selimut hotel hingga sebatas pinggang.
“Hai. Sudah selesai mandinya?” Steve meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur.
Alexa mengangguk. “Ada apa?” Alexa mulai masuk ke dalam selimut lalu meringkuk di balik pelukan hangat Steve, memeluk pinggang Steve sambil berbaring miring.
“Ehm?”
“Kau tidak biasanya bermain dengan ponselmu. Ada panggilan dari kantor?” Alexa memandang Steve. Wajah mereka hanya berpaut beberapa inchi.
“Ann menelephonku.” Ada jeda dari kata-katanya. “Dia bertanya kapan aku pulang.”
Alexa tak berkomentar apapun. Ia memeluk erat pinggang Steve dan meletakkan kepalanya di dada Steve yang bidang. Steve mengecup rambut Alexa lalu mengusapnya dengan lembut.
“Kapan kau akan kembali ke Inggris?” Tanya Alexa tanpa merubah posisinya
“Aku juga tidak tahu.” Steve masih mengusap kepala Alexa dengan lembut.
“Masa kerjamu di Indonesia tinggal beberapa hari lagi.”
“Aku tahu.”
Hening dalam beberapa menit. Alexa hanya menikmati sentuhan lembut Steve di kepalanya tanpa berbicara. Steve pun tidak mengatakan apapun. Mereka menikmati keintiman yang tercipta.
“Tidurlah. Kau pasti lelah sekali.” Steve  meletakkkan tangannya di punggung Alexa.
Alexa mendongak. “Kau juga harus tidur. Kau pasti lelah mengejarku sampai kemari.”
Steve meringis. “Yeah. Aku lelah sekali. Kau tahu? Ternyata cukup sulit mendapatkan tiket ke Bali tanpa pemesanan terlebih dahulu.”
Alexa tertawa. “Sudah pasti. Ini Bali, Steve.”
Steve mengecup kening Alexa lalu mematikan lampu tidur. Ruangan menjadi gelap gulita.
“Kau masih takut gelap?” Steve memperbaiki posisinya agar bisa lebih nyaman.
“Tidak kalau aku bersamamu.” Alexa kembali mempererat pelukannya.
Mereka lalu tidur dengan lelapnya. Mencoba bermimpi akan sesuatu hal yang indah. Melepaskan semua penat dan lelah yang dari tadi menumpuk di tubuh mereka. Mereka butuh istirahat.
***
Ketukan di pintu kamar Alexa kian menganggu. Alexa berusaha tak menghiraukannya dan kembali terlelap. Mencoba meraskan kembali kehangatan tubuh Steve yang sedang mendekapnya.
Ketukan tersebut akhirnya menghilang. Alexa tersenyum ketika sudah tidak di dengarnya lagi ketukan pintu yang menganggu itu.
Ketika ia kembali terlelap. Ponselnya berbunyi. Menandakan ada panggilan masuk. Alexa kembali menggeliyat dan kembali mencoba tak menghiraukannya.
“Sayang, ponselmu berbunyi.” Steve menggerakan tubuhnya dan mencoba menggapai ponsel Alexa. “Ini dari Jenny.” Steve memberikan ponselnya kepada Alexa, Alexa menerimanya dengan kesal
“Halo?” dengan malas ia menjawab telpon
“Alexa! Aku sedang berada di depan pintu kamarmu dan aku sudah lelah untuk mengetuk pintu. Dimana kau sebenarnya?”
Alexa terperanjat. Ya tuhan! Dia ada janji dengan Jenny hari ini. “Aku? Aku sedang tidak ada di kamar. Aku… sedang ada di café ya… sedang sarapan.” Alexa sedikit berlari menghampiri pintu kamarnya. Dilihatnya dari lubang kalau Jenny masih berada di depan pintunya. “Kau menyusul saja kemari.”
Jenny menghembuskan nafas kesal. “Kau memang benar-benar menyebalkan, Alexa.” Sungut Jenny kemudian menutup panggilannya. Dapat dilihat kalau ia sangat kesal sekali.
Alexa bernafas lega ketika dilihatnya Jenny sudah pergi dari depan pintunya. Ia menutup flap ponselnya dan membalikkan tubuhnya.
“Ada apa?” Tanya Steve tampak heran. Ia mengikuti Alexa ketika wanita itu dengan terburu-buru berlari menghampiri pintu.
“Sebenarnya aku ada janji dengan Jenny. Dia memintaku untuk menemaninya ke pantai.” Alexa berjalan kembali tempat tidur dan duduk di pinggir ranjang. Kepalanya terasa pusing sekali karena bangun tidur dan langsung berlari ke pintu.
“Kau baik-baik saja?” Steve duduk di sebelahnya, memeluk bahu Alexa, membuat terasa nyaman.
“Sedikit pusing.” Alexa memijit pelipisnya. Berusaha menghilangkan rasa pusing itu.
Tiba-tiba Steve mencium bibirnya dan mengulumnya dengan lembut. “ Sudah tidak pusing lagi?” Tanya Steve setelah melepaskan ciumannya.
Alexa sedikit tertegun dengan apa yang barusan terjadi. “Apa yang kau lakukan?”
“Itu sedikit semangat untukmu. Kau mau lagi?” Steve kembali mendekatkan wajahnya.
Alexa mendorong bahu Steve agar menjauh. “Aku mau mandi.” Alexa segera berdiri, berjalan ke kamar mandi.
Steve hanya tersenyum. Menyentuh bibirnya kemudian tersenyum.

Saturday 6 July 2013

Always Love You Part 3





Aku bersiap pergi ke kampus. Bertekad hari ini tidak akan terlambat. Setelah mengingat-ingat apa saja yang harus aku bawa dan mengeceknya kembali, aku siap berangkat. Tak lupa aku mengenakan earphone dan menyalakan musik kesukaanku. Ketika aku keluar dari depan apartement udara dingin langsung menerpaku, membuatku harus mengetatkan jaketku.
Ketika aku baru berjalan beberapa langkah. Suara klakson mobil menghentikan langkahku. Aku lepaskan earphone ku dan melihat sebuah sedan mewah berhenti tepat di sampingku. Kaca mobil bagian belakang mobil itu di turunkan.
“Hai, Claura. Mau pergi ke kampus?” tanya Mr. Andreas dengan senyumnya yang bersahabat.
“Ya. Aku ingin mengejar bus sebelum terlambat.”
“Mengapa tidak naik mobilku saja? Lebih cepat dan tentu lebih murah.”
Aku menggeleng. “Tidak terima kasih Mr. Andreas tapi aku bisa sendiri.” Aku mulai berjalan lagi. Dan lagi-lagi mobil itu mengikutiku.
“Aku memaksa, Claura. Dan tolong panggil aku Andreas, tanpa sir atau Mr.”
“Apakah kalau aku masuk ke dalam mobilmu kau akan berhenti menggangguku?” ujarku sambil menaikkan alis mata.
Andreas terkekeh. “Bisa saja.”
Aku pun mendengus. Dan memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah menutup pintu, mobil pun pergi melaju. Aku kembali mengenakan earphone-ku dan mencoba menikmati lagu yang sedang di putar.
“Claura… claura.”
Aku yang merasa namaku di panggil langsung menoleh ke samping dan menemukan Andreas sedang mengamatiku. Aku melepaskan earphoneku kembali.
“Kau memanggilku?”
“Aku sudah memanggilmu berkali-kali. Kau sedang mendengarkan apa?”
“Bukan apa-apa. Kau bicara apa tadi?”
“Aku bertanya sudah berapa lama kau bekerja di Solitaire restaurant itu?”
Aku terdiam. Sudah berapa lama? Aku tidak menghitungnya. “Aku tidak tahu. Aku bekerja disitu sejak pertama kali aku kuliah.”
“Kau menikmati pekerjaanmu?”
“Tentu saja. Orang-orang disana sudah seperti keluargaku. Aku mencintai mereka.”
“Kalau kau bekerja di tempatku saja bagaimana?”
Mataku melebar. Bekerja di perusahannya? Orang ini punya perusahaan? Wow… “Kau… punya perusahaan?” tanyaku dengan suara mencicit.
Dia mengangguk dan sepertinya ia tidak menghiraukan perubahan pada raut wajahku karena ia kembali menatapku dengan intens.
“Bagaimana?” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng. “Terima kasih sebelumnya tapi tidak. Aku tidak akan kemana-mana. Walaupun tawaranmu sangat menggiurkan tapi aku lebih memilih keluargaku.” Aku menatap keluar jendela. Ternyata kami sudah sampai di depan kampusku.
“Well, terima kasih atas tumpangannya Andreas.” Aku langsung turun dari mobil dan menutup pintu. Berusaha tidak menoleh ke belakang dan terus berjalan lurus, setelah merasa mobil itu pergi aku mulai bernafas lega. Entah mengapa pria itu terasa sangat mendominasi.
###
“Kemana kita sekarang Sir?” tanya supirku setelah kami keluar dari kampus Claura.
“Langsung ke kantor saja, Jack.” Jack lalu mengangguk dan melajukan mobil
Entah mengapa aku semakin tertarik pada gadis itu. Well dia adalah wanita pertama yang berani menolak pekerjaan yang aku berikan. Bahkan dia tidak bertanya akan di tempatkan dimana tapi langsung menolaknya. Sepertinya dia tidak tahu siapa aku. Ini semakin menarik. Aku tidak pernah merasa bergairah seperti ini dengan seorang wanita, bukan gadis. Aku harus mendapatkan gadis ini. Harus.

Ehm... kira-kira udah ketebak jalan ceritanya? hehehe... eits... tidak semudah itu. aku mau buat kejutan buat readers. biar kalian pada jantungan hahaha.... :devil laugh: :dasar author stress: :abaikan:

Thursday 4 July 2013

Wrong Or Right Part 10





“Akh… akhirnya kau datang juga.” Seru Davin ketika ia membuka pintu dan menemukan Alexa disana. “Ayo masuk.”
Kesan pertama saat memasuki apartement Davin adalah maskulin. Warna hitam putih lebih banyak mendominasi setiap ruangan. Begitu klasik dan terasa tenang.
“Selamat datang di apartementku.” Ujar Davin gembira. “Bagaimana menurutmu? Bagus kan?”
Alexa mengangguk. “Tak kusangka kau mempunyai apartement sebagus ini.”
“Akh… lagi-lagi kau meragukanku, Alexandra Ardy.”
Alexa mengikuti langkah Davin ke dapurnya. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya banyak makanan yang sudah terhidang di atas meja makan.
“Kau memasaknya sendiri?” Tanya Alexa takjub
“Mmm.” Davin mengeluarkan botol wine dari lemari. “Kau tidak sedang menyetir kan?”
“Aku naik taksi.”
“Bagus.” Davin menuangkan wine tersebut ke dalam gelas dan mengiinya sedikit. “Aku akan mengantarmu pulang.”
Alexa menerima gelas itu lalu menggoyangkannya pelan. “Jangan buatku mabuk. Kau tahu apa yang terjadi ketika aku mabuk.”
Mereka lalu menyesap anggurnya masing-masing. Alexa hanya menyesap anggurnya seikit hanya untuk merasakannya di ujung lidah saja. Ia sedang tidak ingin mabuk sekarang. Tidak ketika Steve sedang berada di dekatnya.
“Mau makan sekarang?” Tanya Davin seraya meletakkan gelasnya di atas meja.
“Aku benar-benar lapar sekarang.”


“Ku dengar kau dan Jenny akan pergi ke Bali”
Mereka sedang duduk di sofa sekarang. Setelah menikmati masakan enak buatan Davin, mereka kini menyesap anggurnya masing-masing. Di temani kesunyian, tanpa suara, begitu hening.
“Kau pasti dengar dari Jenny.”
Davin tersenyum. “Kami bertemu ketika makan siang tadi.”
Alexa kembali menyesap anggur miliknya. Merasakan sedikit demi sedikit alcohol merasuki setiap pembuluh darahnya.
“Tapi sepertinya kau tidak bahagia.”
Alexa menoleh kepada Davin dan menatapnya sejenak. “Dari mana kau berkesimpulan seperti itu?”
“Dari ekspresi wajahmu. Aku memang bukan orang yang pandai membaca ekspresi, namun aku tahu bagaimana wajah orang tidak bahagia.” Davin meletakkan gelasnya di meja terdekat, lalu merubah posisi duduknya menjadi sedikit menyamping. “Ada apa sebenarnya? Kau tidak suka pergi ke Bali?”
“Bukan. Bukan itu. Aku sangat menyukai Bali terutama pantainya. I love it. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang….”
Tiba-tiba ponsel Alexa berbunyi. Alexa merogoh ke dalam tasnya dan mengambil ponselnya. Pesan dari Steve.
Aku sedang berada di depan apartementmu sekarang.
Mata Alexa membelalak. Untuk apa Steve berada di apartementnya? Ya tuhan! Tak cukupkah dia mengacaukan semuanya?
“Dari siapa?” Tanya Davin membuyarkan lamunannya
“Aku harus pulang sekarang. Terima kasih atas makan malamnya. Enak sekali.” Alexa masih berusaha untuk tersenyum walau di kepalanya banyak sekali pikiran-pikiran yang memusingkan.
“Mau ku antar?”
Alexa menggeleng. “Tidak perlu. Aku naik taksi saja.”
“Hati-hati di jalan.”

****

Alexa memasuki lift dengan perasaan tak menentu. Apa lagi yang diinginkan laki-laki ini?
Ketika list berdenting dan pintu lift terbuka. Alexa langsung menemukan Steve sedang meringkuk di depan pintunya. Kedinginan.
“Apa maumu sebenarnya?” bentak Alexa ketika ia sudah berada di hadapan Steve.
Steve mendongak. Dilihatnya wajah Alexa yang jauh tinggi darinya. Tatapannya terlihat sayu. Ya tuhan!
“Jangan pergi.” Ucapnya lemah
Seketika itu juga rasa amarah yang sudah dari tadi Alexa pendam langsung sirna ketika mendengar ucapan lemah dari Steve.
“Aku mohon jangan pergi.” Ucap Steve sekali lagi.
Alexa berlutut, mencoba menyelaraskan badannya dengan Steve. “Aku harus pergi. Sekarang aku harus berbenah. Hanya 2 hari Steve. Hanya 2 hari.” Jari-jari lentik Alexa menyentuh pipi dan rahang Steve. Mata Steve terpejam merasakan sentuhan lembut di pipinya.
“Kalau begitu aku akan ikut.”
“Tidak. Kau harus tetap disini. Kau punya pekerjaan disini, Steve.”
Alexa menghembuskan nafas. “Sebaiknya kau pulang sekarang. Aku harus menyiapkan barang-baarangku untuk besok, lagipula aku capai sekali hari ini.” Alexa mencium bibir Steve sekilas lalu kembali bangkit dan membuka pintu apartementnya.
Sungguh melelahkan hari ini.