Friday 29 March 2013

Wrong or Right? Part 1





Tidak terasa sudah hampir 5 tahun semenjak aku memutuskan untuk pergi dari Inggris dan kembali ke Indonesia. Setelah aku menyelesaikan pendidikan S1 jurusan komunikasi di Liverpool, aku belum berniat untuk meneruskan ke S2. Aku sedang mencoba menikmati pekerjaanku sebagai humas dari sebuah perusahaan produk olahraga yang cukup terkenal di dunia. Ya... dunia, dan ini tahun ke-3 ku bekerja disini.
"Sudah dapat modelnya?" tanyaku kepada Jenny ketika kami sedang makan siang di kantin kantor
Jenny menggeleng. "Belum nih. Udah banyak yang aku rekomendasiin tapi gak ada yang disukai sama si boss."
Aku meminum coffe latte dingin punyaku. "Memangnya siapa aja yang udah kamu rekomendasiin?" Aku mulai menyantap nasi timbel yang sudah dari tadi menggoda perutku
"Dari Bambang Pamungkas sampai Darius! gak ada yang di ambil bos satu pun." Ujar Jenny kesal. Kami memang sedang mencari model yang tepat untuk menjadi brand ambasador kami untuk produk yang terbaru. Launchingnya masih 3 bulan lagi, tapi semuanya harus sudah dipersiapkan dari sekarang.
"Memangnya si bos ingin model yang seperti apa?"
Jenny mengangkat bahu. "Nggak tahu. Aku juga heran sama dia."
Aku hanya tersenyum kecut mendengar kata-kata Jenny barusan.
****
Dimana dia sekarang? Sudah hampir 5 tahun aku tidak mendengar kabar dari dia. Dua hari yang lalu ketika aku keluar dari tempat gym, aku melihat Julia. Ya, Julia temannya Alexa. Ku kejar ia sampai persimpangan jalan.
"Julia!"
Julia menoleh. Ia cukup terkejut karena yang memanggil itu aku, tapi aku tidak peduli dengan raut wajahnya itu, aku mendekatinya. "Julia bukan?". Saat itu Julia sedang bersama wanita. Dan wanita itu menatapku heran.
Julia mengangguk.
"Bisa kita bicara sebentar?"
Julia menatapku dengan tatapan yang tajam. Aku tahu aku pernah membuat sahabatnya terluka dan hancur tapi ayolah... itu bukan urusan dia sama sekali.
"Untuk apa?" tanyanya kasar
"Hanya ingin mengetahui kabarmu." Aku mencoba untuk lembut dan sopan. Aku harus menjaga image bukan?
Tatapan mata Julia tidak berubah.
"Hanya sebentar." Aku meyakinkan
Julia menghela nafas. "Kau duluan saja, nanti aku menyusul." Ucapnya kepada teman wanitanya itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Julia langsung ketika temannya sudah meninggalkannya.
"Kita bicara di sana." Aku menunjuk ke kedai kopi yang berada tepat di samping kami. Julia yang pertama kali pergi kesana dan aku mengikutinya.
"Kami pesan kopi robusta saja." kataku langsung ketika pelayan menghampiri meja kami
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Julia lagi
Aku menghela nafas. " Ini tentang Alexa."
Julia langsung mengela nafas kecil lalu menyenderkan tubuhnya di kursi. "Sudah kuduga."
Aku tidak menghiraukan sikapnya yang jelas-jelas tidak suka padaku. "Kau tahu dimana dia sekarang?"
"Kalau pun aku tahu. aku tidak akan memberitahukannya padamu."
"Aku hanya ingin tahu." aku bersikeras
"Untuk apa? untuk kembali merusak hidupnya dan membuatnya menderita lagi? iya?" Seru Julia kasar. Nada suaranya naik satu oktaf.
"Aku..."
"Sudah... lepaskan dia. Lupakan dia. Kau sudah punya hidupmu sendiri dan Lexa juga punya hidupnya sendiri."
Deg. kata-kata Julia barusan menghantam keras hatiku. Melepaskannya? Aku? Melepaskannya?
Pesanan kami sudah datang. Dua cangkir kopi robusta yang masih panas dengan asapnya yang mengepul. Sangat nikmat diminum dalam suasana dingin seperti ini. Julia mengambil cangkir miliknya dan menyeruputnya dengan lembut.
"Dia sudah bekerja." Ucapnya kemudian.
Bekerja? "Dimana?" tanyaku spontan
Julia menatapku. Ekspresinya terkejut. "Di Indonesia." Julia kembali menyeruput kopinya.
Aku menghela nafas. Lega. Lega rasanya dia baik-baik saja.
"Kau tidak akan memberitahuku lebih banyak lagi bukan?" tanyaku setelah aku meminum kopiku yang mulai dingin
Julia tersenyum kecut. "Tidak. itu sudah terlalu banyak." Tas Julia berbunyi. Julia mencari-cari ponselnya di dalam tas. Aku hanya memperhatikannya.
"Halo?" ucapnya ketika ponselnya sudah ditemukan. "Baiklah, aku akan kesana." Lalu Julia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Aku harus pergi." Julia menyampirkan tasnya di lengan sebelah kanan. "Saranku Kembalilah kepada hidupmu yang indah dan nyaman itu, lupakan dia, dan semua akan baik-baik saja. Sebagai sahabatnya aku tidak ingin melihatnya seperti kemarin-kemarin lagi. Aku harus bekerja. Terima kasih kopinya." Julia bangkit dan mulai melangkah
"Tunggu!" Seruku membuat Julia menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Apakah dia sudah punya kekasih?"
****
"Mau pulang bareng gak nih?" aku menghampiri meja Jenny dan menemukan Jenny sedang serius di depan komputernya.
"Nggak deh. Aku udah janjian sama Reno, dia mau jemput aku nanti jam 5." ujar Jenny lalu tersenyum malu.
"Kenapa?"tanyaku yang menangkap ekspresinya merasa geli
"Jarang banget Reno ngajakin pergi. Biasanya aku duluan yang ngajakin. Jadi aneh sendiri." Ucap Jenny cekikikan.
"Ya bagus dong. Dia jadi romantis dan pengertian."
Jenny kembali tersenyum malu. "Iya sih." Lalu kembali mefokuskan diri depan layar komputer. "Kamu sendiri Lex? Aku gak pernah liat kamu keluar bareng cowok. Kamu udah punya pacar belum sih?"
***
"Kamu udah punya pacar belum sih?"
Pertanyaan Jenny masih terngiang di telingaku. Pacar? aku tidak pernah ingin memikirkan itu lagi. Terakhir kali aku bersama dengan seorang lelaki dan lelaki itu sudah mempunyai istri dengan 2 orang anak yang masih balita. Lelaki itu yang sudah menjungkir-balikan duniaku dan menghancurkan kehidupanku 5 tahun yang lalu.
"Apakah kau mencintainya?"
Deg! Kembali pertanyaan 5 tahun yang lalu itu masuk kedalam memori Alexa. pertanyaan yang membuatnya pergi jauh-jauh dari Liverpool dan berjanji tidak akan kembali lagi.
Saat itu sedang musim dingin. Entah kenapa Ann meminta Lexa untuk bertemu. Tidak ada perasaan apapun saat itu. Mungkin soal pekerjaan, pikir Alexa. Ketika sudah sampai di tempat yang diminta Ann. Lexa langsung menemukan sosok Ann yang sedang duduk dengan tubuhnya menghadap kaca jendela.
"Sudah menunggu lama?" Tanya Lexa seraya menarik kursi di depan Ann
Ann menggeleng pelan. "Kau sudah pesan?" Lexa menggeleng." Kau ingin makan apa?" tanya Ann lembut
"Coffe latte saja. Aku tidak lapar."
Ann lalu memanggil pelayan, dan tak berapa lama pelayan itu datang, lalu Ann menyampaikan pesanannya tadi.
"Ada apa ingin bertemu dengaku?" tanya Lexa ketika coffe latte-nya sudah datang
Ann tersenyum lemah. " Sudah berapa lama?"
Lexa mengerutkan dahinya. Apanya yang sudah berapa lama?
"Sudah berapa lama kau bersama Steve?"
Deg! Apa? Apa yang barusan ia dengar?
"Ann... Aku... Apa maksudmu?" tanya Lexa gugup. Ia tak tahu harus bicara apa
"Aku sudah tahu semua. Kau dan Steve..." Kalimat Ann menggantung, tapi Lexa tahu kenapa. Ann tidak sanggup untuk meneruskannya
Lexa bingung. Dia tak tahu harus bagimana, berbuat apa. Apa yang harus aku lakukan?
"Aku belum bilang apa-apa dengan Steve. Mungkin setelah ini aku akan berbicara dengannya."
Lexa langsung mendongak. Menatap wajah Ann yang lemah dan tak berdaya itu. Ia wanita yang lemah. Tuhan.... apa yang sudah ku lakukan? Apa yang sudah kulakuan terhadap wanita ini?
"Kau tidak perlu membantahnya. Aku sudah tahu semua. Bila Steve tidak pulang ke rumah, ia pasti menginap di rumahmu kan?"
Kembali ia merasa ada palu besar yang memukul hatinya. Sakit.
"Sudah berapa lama?" kembali pertanyaan itu terucap. namun kini dengan nada suara berbeda. Lexa mencoba melihat dan... Ya tuhan! wanita ini menangis.
"Ann..." Lexa mencoba meraih tangan Ann namun dengan pelan Ann menjauhkan tangannya dari meja. Tindakan itu membuat Lexa lebih sakit lagi. Wanita ini sudah jijik dengan dirinya.
"Sudah berapa lama?"
Lexa tahu ia sudah tidak bisa membantah. "Kurang lebih 4 tahun." Ucap Lexa lemah
Ann langsung membuang muka dan melihat keluar jendela. Mengalihkan pandangannya dari Lexa dan Lexa tidak tahu harus berbuat apa. Coffe latte miliknya sudah dingin, sudah tidak enak lagi untuk diminum.
"Sudah selama itukah?" Ann mencoba mengendalikan emosinya
Kini giliran Lexa yang membuang muka. Ia tidak sanggup harus bertatapan muka dengan wanita yang sudah ia sakiti hatinya.
"Maafkan aku." hanya itu yang bisa Lexa ucapkan
"Aku tidak bisa menyalahkanmu." Ann meminum kopinya. "Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Tidak aku, Steve, maupun kau. Aku anggap ini takdir."
"Apakah kau mencintainya?" tanya Ann kemudian
Lexa menatap Ann dengan pandangan tidak percaya. Apa?
"Apakah kau mencintainya?"
Sangat. Aku sangat mencintainya. Aku rela meninggalkan tunanganku demi suami anda, untuk kembali menjadi kekasih gelap suami anda. Aku sangat mencintainya, batin Lexa ingin meneriakan kata itu semua tapi ia tidak sanggup.
"Lexa, jawab pertanyaanku, ku mohon." Suara Ann terdengar parau.
"Aku sangat mencintainya."

Monday 25 March 2013

Revenge (Long Version) Part 9



Aku terbangun dengan pusing yang teramat sangat. Hal pertama yang kulihat adalah atap berwarna putih. Dimana aku? Aku berusaha untuk duduk, namun kemudian rasa sakit dan nyeri menjalar di sekujur tubuhku. Kulihat banyak perban yang melilit tubuhku. Pasti akan meninggalkan bekas.
Ketika aku berusaha menggapai gelas yang berada di meja untuk mengurangi kehausanku. Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang wanita masuk. Amel?
“Dika? Kamu udah sadar?” Amel mendekati ranjangku dan menatapku cemas.
Aku mencoba mengeluarkan suara namun hanya serakan yang keluar dari mulutku.
“Ha…uss.” Ucapku susah payah seraya menggapai-gapai gelas
Amel langsung mengambil gelas tersebut beserta sedotannya dan langsung membantuku duduk untuk minum.
Aku kembali tidur dan memijit keningku. Entah mengapa minum saja sudah membuatku pusing.
“Kau tahu? Aku sangat bahagia kamu bisa sadar.”
Aku mengeryit. “Sudah berapa lama?”
Amel menatapku dengan sedih. “Kamu pingsan selama 3 hari. Itu lama sekali.” Ia menarik kursi di sebelahku. “Sebenarnya banyak sekali yang aku ingin tanyakan kepadamu. Tapi lebih baik kau istirahat saja dulu.”
Aku mengernyit ketika merasakan nyeri di sekujur tubuhku. Terutama kepalaku yang masih pusing. Aku hanya bisa memejamkan mata untuk menetralisir kedutan di kepalaku.
Kejadian itu… aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Wajah Chris yang marah. Wajah Krista yang ketakutan. Dan aku yang bercucuran darah. Aku masih mampu mengingatnya.
Amel kembali masuk bersama seorang dokter di belakangnya. Dokter tersebut memeriksa kondisiku. Menjelaskan kalau tulang rusukku patah, itu mengakibatkan aku harus menahan sakit ketika bergerak.
Aku kembali memijit pelipisku. Seharusnya malam itu aku makan malam bersama mama. Mama?!
“Mel, Mamaku…”
Amel tersenyum lembut. “Tenang saja. Aku sudah bilang pada pengasuh mamamu yang sebenarnya. Tapi dia mengatakan kalau dia bilang yang sebenarnya pada mamamu, ia takut kalau kondisinya langsung menurun, jadi aku menyuruhnya mengatakan kalau kau ada dinas di luar kota dan perginya mendadak.”
Aku langsung bernafas lega. Setidaknya aku tidak lagi mengkhawatirkan kondisi mamaku.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Dika? Jam dua belas malam aku di telpon oleh pihakrumah sakit yang mengatakan kalau kau tergeletak dengan badan penuh darah di samping mobilmu.”
Aku mendesah. Mungkin aku memang harus berkata yang sebenarnya pada Amel. Lagipula aku memang butuh teman bicara.
“Aku bertengkar hebat dengan Chris. Kami... saling memukul dan… aku jatuh… lalu pingsan.” Aku menatap wajah Amel. Dia sepertinya menunggu aku melanjutkan.
“Sudah? Sesingkat itu?”
Aku mengangguk.
Ia mendesah. “Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian. Kalian berteman. Tidak. Bersahabat. Dan kalian bertengkar? Saling memukul?”
“Ini… masalah yang rumit.” Aku tidak bisa mengatakan kalau kami bertengkar karena Chris memergoki aku dan Krista – pacarnya sedang berciuman di dalam mobilku, di depan apartement Krista.
“Dan kamu tidak ingin membicarakannya?”
“Aku… tidak bisa.”
Amel menarik kursi terdekat lalu duduk di sampingku. “Baiklah. Aku menerima kalau kamu tidak ingin bercerita. Itu hakmu. Tapi apa yang harus ku jelaskan dengan kondisimi seperti ini? Kamu babak belur Dika. Rusukmu patah.”
Aku meringis. Dia ada benarnya.
“Kau tidak mengatakan ini kepada siapapun kan?”
“Kamu pikir?”
Oh aku kembali bernafas lega. Ia tidak memberitahu ini pada orang-orang kantor.
“Apa yang harus ku katakan pada orang kantor?” ia kembali bertanya
“Bilang saja aku ada urusan keluarga. Mendadak. Jatuh dari tangga dan beginilah jadinya.”
Amel menatapku dengan mata melotot. “Terserah kau saja.” Ia kemudian bangkit dari kursi lalu mengambil tas kerjanya. “Aku harus ke kantor. Jam makan siang sudah hamper selesai. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Nanti sore aku akan kembali lagi.”
Aku memberikan senyum terbaikku. “Terima kasih, Mel. Kamu yang terbaik.”
Ia mendengus. Lalu meninggalkan aku sendirian.
***
Aku bosan.
Tidak ada yang bisa kulakukan ketika rusukmu patah. Bahkan ketika kau membalikkan badan atau berjalan ke kamar mandi pun rasanya sakit sekali.
Dengan iseng aku mmbuka laci meja yang berada di samping ranjangku. Aku sedikit terkejut ketika menemukan ponselku masih dalam keadaan bagus berada di antara jam tangan dan dompetku. Aku mengambilnya. Menekan tombol untuk mengaktifkannya. Menunggunya sejenak. Lalu seketika itu juga rentetan pesan singkat masuk ke dalam ponselku secara berturut-turut. Aku melihat semuanya. Dan semua sms itu berasal dari orang yang sama. Krista.
***

Sunday 24 March 2013

Revenge (Long Version) Part 8



Aku habis dari kamar mandi. Hendak membereskan sedikit lagi pekerjaanku lalu pulang, makan malam bersama mama. Aku tersenyum membayangkan pertama kalinya kami makan malam bersama kembali.
Aku mematikan komputerku dan menyampirkan tas kerjaku, ketika aku mendengar suara isak tangis. Aku mendongak dan menemukan Krista sedang menangis terisak di mejanya. Aku menengok ke kenan dan kekiri dan menemukan hanya tinggal aku dan Krista di ruangan ini. Aku mendengus kesal. Lagi-lagi harus berdua.
Aku berusaha mengabaikan Krista dan berjalan menuju pintu, namun langkahku terhenti ketika mendengar Krista memanggil namaku. Dengan enggan aku memutar badanku dan menatap Krista.
“Ada apa?” tanyaku acuh.
“Bisa temani aku? Aku takut sendiri.” Ucapnya di sela-sela isak tangisnya.
“Aku ada janji makan malam. Jadi…”
“Aku mohon…”
Aku menghela nafas lalu berjalan mendekatinya.  Menarik kursi dan duduk di sampingnya.
“Nih!” aku menyodorkannya sapu tangan milikku karena ku lihat tissue-nya sudah habis. Krista langsung menerimanya dan menggunakannya untuk menghapus air matanya.
“Memangnya  kau ada masalah apa?”
“Aku… dan Chris. Kami bertengkar hebat.”
Apa? Ya ampun…
“Kalian bertengkar hebat dan aku harus menemanimu disini?” aku sudah hendak berdiri ketika Krista menggenggam tanganku. Aku sudah hendak menepis tangannya ketika melihat ada ruam merah di sekita pergelangan tangannya.
“Ini… kenapa?”
Krista langsung menarik tangannya dan menutup lengannya dengan tas. “Bukan apa-apa.”
Aku kembali duduk. “Dia menyakitimu?”
Krista hanya diam. Pandangannya tertuju pada jari-jari tanganya yang bertaut.
“Coba ku lihat.” Aku menarik pergelangan tangannya dan dia menjerit sakit. Dan benar. Pergelangan tangannya berwarna merah dan ada sedikit luka disana. “Dia yang melakukan ini?”
Krista kembali diam. Aku memang tak butuh jawabannya. Hanya saja aku tidak percaya Chris melakukan ini. Chris bukan orang yang bertemprament kasar.
“Ini harus di kompres, kalau kau tidak ingin ini terlihat besok.” Aku beranjak dari kursi hendak ke pantry meminta es ketika Krista kembali menghentikkan langkahku.
“Nggak usah. Nggak sakit kok.”
Aku menatap nya lama lalu kembali duduk. “Terserah. Ini urusan kalian berdua, aku sama sekali tidak ingin ikut campur.”
Lalu kami terdiam. Krista yang sibuk dengan pikirannya dan aku yang kehabisan kata-kata.
“Aku mau pulang.” Aku berdiri dari kursi, membenarkan letak tasku. “Kau mau ikut tidak?”
Krista menatapku lama, lalu mengangguk.
***           
Selama dalam perjalanan menuju apartementnya. Krista hanya diam. Tangisnya sudah berhenti, namun masih ada sisa air mata yang mengalir disana.
“Sudah sampai.” Aku mematikan mesin mobilku dan menatap wajah Krista yang tertunduk. “Krista… kita sudah sampai.” Aku kembali mengulang ucapanku dengan tidak sabar.
“Cium aku…”
Aku tersentak kaget. Apa? Apa yang barusan di katakana wanita ini? Aku tidak salah dengar?
“Cium aku, Dika.” Kini Krista mampu menatap wajahku, langsung menatap kedua mataku.
“Kamu sakit atau apa? Lebih baik sekarang kamu pulang dan jernihkan pikiranmu itu.”
“Aku… aku takut… takut ketika aku tidur nanti kejadian kami bertengkar itu teringat kembali. Aku takut. Aku takut ketika aku memejamkan mata dan bayangan Chris yang marah besar ada dalam mimpiku. Aku takut Dika.”
Aku memijit pelipisku. Entah mengapa kepala ini tiba-tiba berdenyut.
Aku memang membencinya. Aku memang ingin balas dendam. Tapi tidak dengan kondisinya yang seperti ini.
“Kau tahu aku membencimu.” Aku mencoba mengingatkannya.
“Aku tahu.”
“Lalu kenapa kau meminta permintaan bodoh itu?”
Ia mengangkat bahu. “Entahlah. Aku merasa kau bukan orang yang jahat.”
Aku menghela nafas panjang. Memejamkan mata mencoba mengendalikan kewarasanku.
“Krista, aku tetap….”
Ucapanku terhenti.  Aku merasa ada yang menindih mulutku. Menghentikan semua ucapanku. Aku membuka mata, dan melihat wajah Krista yang sedang terpejam mencium bibirku. Aku tiba-tiba menjadi beku.
Ciuman ini dari awal sudah merasa intens. Bagaimana tidak? Krista menciumku dengan lembutnya, tidak seperti aku menciumnya waktu tempo hari. Ciumannya teratur dan berirama. Tidak membabi buta. Aku dibuatnya terlena.
Krista sudah mengalungkan lengannya di leherku, membuat diriku semakin terpojokkan. Mau tak mau aku membalas ciumannya.
Tanganku di pinggulnya menahannya sekaligus membiarkannya mengeksplorasi bibirku. Sial! Wanita ini begitu liar.
Tiba-tiba bayangan wajah Chris datang menghampiriku. Membuatku tersadar bahwa ini salah.
Aku langsung menarik wajahku hingga kepalaku terpantuk dengan kaca mobil. Nafas kami yang terengah-engah saling membaur. Aku menatap tajam matanya. Matanya yang masih tersisa genangan air mata di pelupuk matanya. Pipinya juga masih basah karena air mata yang belum mengering.
“Krista…” aku tak tahu harus berkata apa. Posisi kami belum berubah. Krista masih berada di atas tubuhku, memojokkan diriku hingga punggungku menabrak kaca mobil. Pahaku berada di antara kedua paha Krista.
“Aku tahu. Aku wanita murahan. Kau pasti akan lebih membenciku.” Krista menarik wajahnya.
Aku mengelus pipi Krista. Menyampirkan sedikit untaian rambut yang menutupi wajahnya. Menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. Mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Mengecup lembut bibirnya. Tidak ada lumatan. Tidak ada pagutan. Hanya mendekatkan bibirku dengan bibirnya.
Aku kembali menjauhkan wajahku dengan wajahnya. Kembali menatap kedua matanya yang sayu itu.
“Lebih baik sekarang kamu pulang.”
Ketika aku hendak merubah posisiku. Tiba-tiba ada yang menggedor kaca jendela mobilku dengan keras. Aku menoleh. Chris???
****
Mataku terbelalak. Chris?! Jangan-jangan…
Chris kembali menggedor kaca mobilku dengan keras. Menggetarkan seluruh isi mobil, dia marah besar.
Aku mendorong tubuh Krista agar pergi dari atas tubuhku. Aku hendak membuka pintu mobil ketika lengan Krista menggenggam erat lengaku. Wajahnya mengatakan ‘jangan membuka pintu itu.’
Aku menggeleng. “Aku tidak bisa. Aku harus menjelaskan semuanya. Ini semua hanya salah paham.”
Ketika aku membuka pintu mobil. Seketika itu juga Chris mencengkram erat kerah kemejaku dan menarikku dengan paksa keluar dari mobil.
“Chris. Aku bisa jelaskan semuanya…”
Bukkk… aku merasa tulang rahangku sedikit bergeser. Chris memukul wajahku. Dapat kurasakan darah mengucur dari sela-sela bibirku.
“Chris. Dengarkan aku dulu…”
“Diam! Dasar bajingan!” Bukkk kembali Chris menghantamkan kepalan tangannya ke wajahku. “Aku gak tahu ternyata kamu sebajingan ini. Tega-teganya kamu dan dia…” jari telunjuk Chris mengarah kepada Krista yang duduk ketakutan di dalam mobil. “Tega-teganya kalian selingkuh di belakang aku!”
“Chris!!!” aku kembali memukul wajah Chris. Membuatnya terhuyung dan mundur beberapa langkah. “Dengarkan aku dulu.”
Akhirnya Chris mampu diam. Dia tidak kembali mendekat untuk menghajarku.
“Harusnya kamu introspeksi dulu. Apa yang kamu udah lakukan terhadap Krista.” Aku mengelap bibirku dengan punggung tanganku. “Kamu menyakitinya.”
“Tapi itu nggak bisa jadi alasan kalian untuk berselingkuh. Aku lihat. Aku lihat dengan jelas dengan kedua mataku sendiri kalau kalian berciuman. Aku nggak buta Dika! Aku nggak buta!!!.”
Kini aku yang terdiam. Mau bagaimana pun juga disini… aku pihak yang bersalah… “Aku tahu aku salah. Aku memang bajingan. Aku memang brengsek. Kalau emang menghajarku dapat membuatmu puas. Silahkan saja.” Aku merentangkan kedua lengaku. Menyambut pukulan tangan Chris yang pasti akan merusak sekujur tubuhku. “Aku nggak mau merusak persahabatan kita.”
Chris kembali melayangkan tinjunya pada wajahku. Kini aku tidak berusaha membalas. Tidak juga menghindar. Biarlah… mungkin ini balasan karena aku mempunyai niat jahat pada seorang wanita yang sama sekali tidak bersalah. Wanita yang kini sedang duduk ketakutan di dalam mobilku.
Aku jatuh tersungkur. Tubuhku tak mampu ku gerakkan. Aku merasa sekujur tubuhku mati rasa. Dalam kesadaranku yang menipis aku merasakan bunyi berderak dari dalam tubuhku. Ada yang patah. Terakhir kali yang kulihat sebelum aku pingsan adalah. Wajah Krista yang menangis ketakutan dan Chris yang menyeretnya keluar dari mobilku. Lalu semua menjadi hitam.