Tidak terasa sudah hampir 5 tahun
semenjak aku memutuskan untuk pergi dari Inggris dan kembali ke Indonesia.
Setelah aku menyelesaikan pendidikan S1 jurusan komunikasi di Liverpool, aku
belum berniat untuk meneruskan ke S2. Aku sedang mencoba menikmati pekerjaanku
sebagai humas dari sebuah perusahaan produk olahraga yang cukup terkenal di
dunia. Ya... dunia, dan ini tahun ke-3 ku bekerja disini.
"Sudah dapat modelnya?"
tanyaku kepada Jenny ketika kami sedang makan siang di kantin kantor
Jenny menggeleng. "Belum nih.
Udah banyak yang aku rekomendasiin tapi gak ada yang disukai sama si
boss."
Aku meminum coffe latte dingin
punyaku. "Memangnya siapa aja yang udah kamu rekomendasiin?" Aku
mulai menyantap nasi timbel yang sudah dari tadi menggoda perutku
"Dari Bambang Pamungkas sampai
Darius! gak ada yang di ambil bos satu pun." Ujar Jenny kesal. Kami memang
sedang mencari model yang tepat untuk menjadi brand ambasador kami untuk produk
yang terbaru. Launchingnya masih 3 bulan lagi, tapi semuanya harus sudah dipersiapkan
dari sekarang.
"Memangnya si bos ingin model
yang seperti apa?"
Jenny mengangkat bahu. "Nggak
tahu. Aku juga heran sama dia."
Aku hanya tersenyum kecut mendengar
kata-kata Jenny barusan.
****
Dimana dia sekarang? Sudah hampir 5
tahun aku tidak mendengar kabar dari dia. Dua hari yang lalu ketika aku keluar
dari tempat gym, aku melihat Julia. Ya, Julia temannya Alexa. Ku kejar ia
sampai persimpangan jalan.
"Julia!"
Julia menoleh. Ia cukup terkejut
karena yang memanggil itu aku, tapi aku tidak peduli dengan raut wajahnya itu,
aku mendekatinya. "Julia bukan?". Saat itu Julia sedang bersama
wanita. Dan wanita itu menatapku heran.
Julia mengangguk.
"Bisa kita bicara
sebentar?"
Julia menatapku dengan tatapan yang
tajam. Aku tahu aku pernah membuat sahabatnya terluka dan hancur tapi ayolah...
itu bukan urusan dia sama sekali.
"Untuk
apa?" tanyanya kasar
"Hanya ingin mengetahui
kabarmu." Aku mencoba untuk lembut dan sopan. Aku harus menjaga image
bukan?
Tatapan mata Julia tidak berubah.
"Hanya sebentar." Aku
meyakinkan
Julia menghela nafas. "Kau
duluan saja, nanti aku menyusul." Ucapnya kepada teman wanitanya itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Julia langsung ketika temannya
sudah meninggalkannya.
"Kita bicara di sana." Aku
menunjuk ke kedai kopi yang berada tepat di samping kami. Julia yang pertama
kali pergi kesana dan aku mengikutinya.
"Kami pesan kopi robusta
saja." kataku langsung ketika pelayan menghampiri meja kami
"Apa yang ingin kau
bicarakan?" tanya Julia lagi
Aku menghela nafas. " Ini tentang
Alexa."
Julia langsung mengela nafas kecil
lalu menyenderkan tubuhnya di kursi. "Sudah kuduga."
Aku tidak menghiraukan sikapnya yang
jelas-jelas tidak suka padaku. "Kau tahu dimana dia sekarang?"
"Kalau pun aku tahu. aku tidak
akan memberitahukannya padamu."
"Aku
hanya ingin tahu." aku bersikeras
"Untuk apa? untuk kembali
merusak hidupnya dan membuatnya menderita lagi? iya?" Seru Julia kasar.
Nada suaranya naik satu oktaf.
"Aku..."
"Sudah... lepaskan dia. Lupakan
dia. Kau sudah punya hidupmu sendiri dan Lexa juga punya hidupnya
sendiri."
Deg. kata-kata Julia barusan
menghantam keras hatiku. Melepaskannya? Aku? Melepaskannya?
Pesanan kami sudah datang. Dua
cangkir kopi robusta yang masih panas dengan asapnya yang mengepul. Sangat
nikmat diminum dalam suasana dingin seperti ini. Julia mengambil cangkir
miliknya dan menyeruputnya dengan lembut.
"Dia sudah bekerja."
Ucapnya kemudian.
Bekerja?
"Dimana?" tanyaku spontan
Julia menatapku. Ekspresinya
terkejut. "Di Indonesia." Julia kembali menyeruput kopinya.
Aku menghela nafas. Lega. Lega
rasanya dia baik-baik saja.
"Kau tidak akan memberitahuku
lebih banyak lagi bukan?" tanyaku setelah aku meminum kopiku yang mulai
dingin
Julia tersenyum kecut. "Tidak.
itu sudah terlalu banyak." Tas Julia berbunyi. Julia mencari-cari
ponselnya di dalam tas. Aku hanya memperhatikannya.
"Halo?" ucapnya ketika
ponselnya sudah ditemukan. "Baiklah, aku akan kesana." Lalu Julia
kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Aku harus pergi." Julia
menyampirkan tasnya di lengan sebelah kanan. "Saranku Kembalilah kepada
hidupmu yang indah dan nyaman itu, lupakan dia, dan semua akan baik-baik saja.
Sebagai sahabatnya aku tidak ingin melihatnya seperti kemarin-kemarin lagi. Aku
harus bekerja. Terima kasih kopinya." Julia bangkit dan mulai melangkah
"Tunggu!" Seruku membuat
Julia menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Apakah dia sudah punya
kekasih?"
****
"Mau pulang bareng gak
nih?" aku menghampiri meja Jenny dan menemukan Jenny sedang serius di
depan komputernya.
"Nggak deh. Aku udah janjian
sama Reno, dia mau jemput aku nanti jam 5." ujar Jenny lalu tersenyum
malu.
"Kenapa?"tanyaku
yang menangkap ekspresinya merasa geli
"Jarang banget Reno ngajakin
pergi. Biasanya aku duluan yang ngajakin. Jadi aneh sendiri." Ucap Jenny
cekikikan.
"Ya bagus dong. Dia jadi
romantis dan pengertian."
Jenny kembali tersenyum malu.
"Iya sih." Lalu kembali mefokuskan diri depan layar komputer.
"Kamu sendiri Lex? Aku gak pernah liat kamu keluar bareng cowok. Kamu udah
punya pacar belum sih?"
***
"Kamu udah punya pacar belum sih?"
Pertanyaan Jenny masih terngiang di
telingaku. Pacar? aku tidak pernah ingin memikirkan itu lagi. Terakhir kali aku
bersama dengan seorang lelaki dan lelaki itu sudah mempunyai istri dengan 2
orang anak yang masih balita. Lelaki itu yang sudah menjungkir-balikan duniaku
dan menghancurkan kehidupanku 5 tahun yang lalu.
"Apakah
kau mencintainya?"
Deg!
Kembali
pertanyaan 5 tahun yang lalu itu masuk kedalam memori Alexa. pertanyaan yang
membuatnya pergi jauh-jauh dari Liverpool dan berjanji tidak akan kembali lagi.
Saat itu sedang musim dingin. Entah kenapa Ann
meminta Lexa untuk bertemu. Tidak ada perasaan apapun saat itu. Mungkin soal
pekerjaan, pikir Alexa. Ketika sudah sampai di tempat yang diminta Ann. Lexa
langsung menemukan sosok Ann yang sedang duduk dengan tubuhnya menghadap kaca
jendela.
"Sudah
menunggu lama?" Tanya Lexa seraya menarik kursi di depan Ann
Ann menggeleng pelan. "Kau sudah
pesan?" Lexa menggeleng." Kau ingin makan apa?" tanya Ann lembut
"Coffe latte saja. Aku tidak lapar."
Ann lalu memanggil pelayan, dan tak berapa lama
pelayan itu datang, lalu Ann menyampaikan pesanannya tadi.
"Ada apa ingin bertemu dengaku?" tanya
Lexa ketika coffe latte-nya sudah datang
Ann tersenyum lemah. " Sudah berapa
lama?"
Lexa mengerutkan dahinya. Apanya yang sudah berapa lama?
"Sudah berapa lama kau bersama Steve?"
Deg! Apa? Apa yang barusan ia dengar?
"Ann... Aku... Apa maksudmu?" tanya
Lexa gugup. Ia tak tahu harus bicara apa
"Aku sudah tahu semua. Kau dan
Steve..." Kalimat Ann menggantung, tapi Lexa tahu kenapa. Ann tidak
sanggup untuk meneruskannya
Lexa bingung. Dia tak tahu harus bagimana,
berbuat apa. Apa yang harus aku lakukan?
"Aku belum bilang apa-apa dengan Steve.
Mungkin setelah ini aku akan berbicara dengannya."
Lexa langsung mendongak. Menatap wajah Ann yang
lemah dan tak berdaya itu. Ia wanita yang lemah. Tuhan.... apa yang sudah ku lakukan? Apa yang sudah kulakuan terhadap
wanita ini?
"Kau tidak perlu membantahnya. Aku sudah
tahu semua. Bila Steve tidak pulang ke rumah, ia pasti menginap di rumahmu
kan?"
Kembali ia merasa ada palu besar yang memukul
hatinya. Sakit.
"Sudah berapa lama?" kembali
pertanyaan itu terucap. namun kini dengan nada suara berbeda. Lexa mencoba
melihat dan... Ya tuhan! wanita ini menangis.
"Ann..." Lexa mencoba meraih tangan
Ann namun dengan pelan Ann menjauhkan tangannya dari meja. Tindakan itu membuat
Lexa lebih sakit lagi. Wanita ini sudah jijik dengan dirinya.
"Sudah berapa lama?"
Lexa tahu ia sudah tidak bisa membantah.
"Kurang lebih 4 tahun." Ucap Lexa lemah
Ann langsung membuang muka dan melihat keluar
jendela. Mengalihkan pandangannya dari Lexa dan Lexa tidak tahu harus berbuat
apa. Coffe latte miliknya sudah dingin, sudah tidak enak lagi untuk diminum.
"Sudah
selama itukah?" Ann mencoba mengendalikan emosinya
Kini giliran Lexa yang membuang muka. Ia tidak
sanggup harus bertatapan muka dengan wanita yang sudah ia sakiti hatinya.
"Maafkan
aku." hanya itu yang bisa Lexa ucapkan
"Aku tidak bisa menyalahkanmu." Ann
meminum kopinya. "Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Tidak aku, Steve,
maupun kau. Aku anggap ini takdir."
"Apakah
kau mencintainya?" tanya Ann kemudian
Lexa menatap Ann dengan pandangan tidak percaya. Apa?
"Apakah kau mencintainya?"
Sangat. Aku sangat mencintainya. Aku rela meninggalkan tunanganku demi
suami anda, untuk kembali menjadi kekasih gelap suami anda. Aku sangat
mencintainya, batin Lexa ingin meneriakan kata itu semua tapi
ia tidak sanggup.
"Lexa, jawab pertanyaanku, ku mohon."
Suara Ann terdengar parau.
"Aku sangat mencintainya."
No comments:
Post a Comment