Dia sudah bekerja? berarti dia
baik-baik saja? Syukurlah... aku benar-benar menghawatirkannya.
"Apakah
dia sudah memiliki kekasih?" pertanyaanku tersebut mampu menghentikan
langkah Julia
Julia
menatapku heran. "Setahuku belum." Aku menghela nafas, cukup keras.
Tanpa kusadari aku menahan nafas. "Tapi ingat. Jangan ganggu kehidupannya
lagi. Biarkan dia menjalani hidupnya lagi."
Dan dia masih sendiri. Entah mengapa
kenyataan itu sangat melegakan untukku. Dia masih sendiri.
Aku rindu sekali padanya. Senyumnya.
Tawanya. Bagaimana cara ia berbicara. Bagaimana cara ia duduk. Aku benar-benar
merindukannya. Dan ciumannya... Aku masih bisa merasakan manisnya bibirnya di
bibirku. Begitu lembut lidahnya di dalam kerongkonganku. Begitu dalam bibirnya
menekan bibirku. Aku merindukannya.
Haruskah aku pergi mencarinya di
Indonesia? Tapi aku harus mencari kemana? ARGH! pengetahuanku begitu minim
tentang dirinya. Aku bahkan tidak tahu siapa keluarganya. Yang aku tahu dia
mempunyai seorang adik perempuan. Aku ini benar-benar bodoh.
"...lepaskan dia. Lupakan
dia..." Entah kenapa kata-kata Julia barusan masih terngiang di telingaku.
Atau aku harus melepaskannya? benar-benar melepaskannya. Siapkah aku?
Tiba-tiba ponselku berdering.
Membuyarkan lamunanku di dalam cafe. Kulihat siapa yang menelpon. Ann.
"Halo?" Ucapku ketika aku
setelah menekan tombol
"Steve? Kau dimana?"
terdengar suara Ann di ujung sana
"Aku sedang di cafe dekat
tempat gym. Tadi aku bertemu dengan teman lama dan kami sedikit berbincang-bincang."
Aku menyandarkan tubuhku di kursi
"Kau akan terlambat makan
malam. Kami menunggumu. Jangan terlambat. Mom akan marah dan hati-hati di
jalan. Aku menyayangimu." Dan telpon terputus. Aku memasukkan kembali
ponselku kedalam saku.
Aku menghela nafas keras. Setelah
hampir 5 tahun aku tidak memikirkan Alexa dan kini ia muncul kembali di
pikiranku. Aku masih ingat terakhir kali aku bertemu dengannya.
Saat itu sedang hujan deras dan
entah mengapa Alexa memaksa ku untuk bertemu dengannya di luar. Biasanya kami
bertemu di apartemennya. Aku masih ingat, ketika itu aku habis pemotretan di
studio dan dia menelponku.
"Bisakah
kita bertemu?" Suara Alexa terdengar kecil di telpon
"Tentu saja. Kita bertemu di
apartementmu jam 8 malam." Ucapku seraya memasukkan pakaian kotorku ke
dalam tas
"Jangan di tempatku. Di Cafe
Didadian saja. Jam 10. Cafe sudah tutup. Aku tunggu." Lalu sambungan
terputus.
Sesampainya aku di Didadian Cafe,
tepat pukul 10 malam dan benar cafe sudah mau tutup. Bangku-bangku sudah berada
di atas meja. Tapi ada satu meja yang di duduki oleh seorang wanita. Wanita itu
sedang tidak menghadap ke jalan jadi tidak tahu kalau aku sedang memandangnya.
Itu pasti Alexa.
Aku mendorong pintu cafe yang
menimbulkan suara decitan, membuat Alexa menoleh ke arah pintu dan menemukanku
sedang melangkah menghampirinya.
"Kau
sudah sampai." Ucapnya tersenyum
"Apa yang terjadi?" Ucapku
seraya menarik bangku yang berada di hadapannya lalu duduk. "Kau tidak
biasanya memintaku untuk bertemu di luar. Kau sudah makan?"
Alexa mengangguk lalu tersenyum
lemah. "Mencari suasana baru."
Aku menemukan ada hal yang tidak
beres. "Ada apa Alexa?"
Alexa hanya menunduk memandangi
jari-jarinya. "Apakah kau sudah bertemu dengan Ann hari ini?"
"Tadi pagi. Sebelum pergi ke
studio."
Dia menghembuskan nafas berat.
"Tadi siang aku bertemu dengannya."
Aku tidak
berkata apa-apa. Menunggu dia melanjutkan
"Dan dia sudah tahu
semuanya." Kulihat matanya menerawang. Mungkin mengingat kejadian tadi
siang.
"Tentang?" tanyaku masih
tidak mengerti
"Tentang kita."
Mataku melebar. "Apa maksudmu?"
"Dia sudah tahu tentang kita.
Dia sudah tahu dimana kau tidur ketika kau sedang tidak ada di rumah. Dia sudah
tahu apa saja yang pernah kita lalukan. Dia sudah tahu semuanya, Steve!"
Suara Alexa terdengar parau, dia menahan tangis
Aku yang masih shock hanya membatu.
Bagaimana? Bagaimana bisa?
"Aku tidak tahu bagaimana dia
bisa tahu." Ucapnya seperti dia bisa membaca pikiranku. "Tapi hubungan kita memang sudah lama.
Sudah hampir 4 tahun."
"Apakah
dia menyakitimu?" Ucapku, ketika kesadaranku sudah kembali
Alexa menggeleng. "Tidak. Malah
dia tidak menyentuhku sama sekali." Tanpa kusadari aku menghembusan nafas
lega.
"Tapi dia menangis."
Lanjutnya. "Ann menangis di hadapanku. Dia terlihat begitu rapuh Steve.
Aku seperti orang yang jahat sekali karena sudah menghancurkan sesuatu yang
sudah dimilikinya."
Ann memang orang yang rapuh. Begitu
rapuh. Sehingga aku bertekad ingin melindunginya. Tapi ternyata...
"Aku benar-benar orang yang
jahat Steve. Manusia macam apa aku?" Alexa mulai histeris. Suara terdengar
tidak terkendali.
"Alexa. Tenang. Kau harus
tenangkan dirimu." Aku menghampirinya. Mendekapnya dalam pelukanku,
berusaha menenangkannya.
"Aku telah mengambil hal yang
paling berharga yang ia punya. Aku telah mengambil dirimu." Alexa
menangis. Terdengar isakan tangisnya di bahuku.
"Apa yang ia katakan?"
"Ia bertanya. Apakah aku
mencintaimu." Alexa benar-benar terdengar kesakitan
"Lalu?"
"Aku menjawab kalau aku sangat
mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu Steve." Alexa langsung mendekap
tubuhku lalu memeluknya erat.
Kami berpelukan cukup lama. Aku
melepaskan pelukanku ketika sudah tidak terdengar isakan lagi. Aku menatap
wajah yang berada di depanku sekarang. Kusut. Berantakan. dan Hancur.
Aku hapuskan air mata yang tersisa
di pipinya seraya tersenyum. "Sudah baikan?"
Dia menggeleng lemah. "Apa yang
harus...."
Aku menempelkan jari telunjukku di
bibirnya. Menandakan ia harus berhenti berbicara. "Jangan berbicara lagi.
Kau terlihat lelah. Ayo! Aku antar pulang." Aku berdiri seraya mengangkat
lengannya, namun dia tidak bergeming.
"Aku harus pergi." Ucapnya
lemah
"Ayo! aku akan bawa kau
pergi."
Dia menggeleng. "Pergi
meninggalkanmu."
Mataku melebar. "Alexa! kau
sudah lelah. Kau habis bekerja dan kuliah. Kau harus istirahat. Aku akan antar
kau pulang." Suaraku meninggi. Kembali aku menarik lengannya, namun kini
ia menghempasannya dari genggamanku.
"Apa kau tidak mengerti Steve?!
Dia sudah tahu kalau kau berselingkuh. Dan aku bersumpah kalau dia sedang
menunggumu di rumah dan akan menceritakan ini semua." Ia beranjak dari
kursi dan menjauhiku. "Kau dipihak yang bersalah. Hanya dua kemungkinan
yang kau dapat. Dia memaafkanmu atau kau bercerai. Kau pasti tidak mau kalau
bercerai kan?!"
Aku sudah tidak bisa menahan emosiku
lagi. " Kalau dia meminta untuk bercerai akan kuturuti, asalkan aku tidak
kehilanganmu. Tidak lagi."
"Lalu bagaimana dengan Bree dan
Clara? Mereka masih kecil."
"Kami pasti bisa
mengatasinya."
Dia menggeleng keras. "Tidak.
Tidak mungkin. Aku sudah pernah mengalaminya Steve!" Alexa berteriak
histeris. "Aku korban dari perceraian! Orangtuaku bercerai dan aku masih
sangat kecil untuk menyadari kalau orangtuaku sudah tidak bersama lagi. Ibuku
memenangkan hak asuh atas kami berdua. Dan kau tahu apa yang terakhir kali di
ucapkan oleh ayahku sebelum dia pergi? 'Ayah akan mengunjungimu setiap hari.
Bermain kuda-kudaan denganmu. Kita akan bermain sepuasnya' Tapi apa?! Dia tidak
pernah kembali! Tidak sekalipun ia pergi mengunjungiku dan adikku. Dia
berbohong Steve! dan aku percaya" Alexa benar-benar sudah hilang kendali.
Ia berteriak dan menjerit.
"Alexa
dengarkan aku. Aku mohon." Suaraku terdengar parau
"Aku tidak ingin menjadi wanita
yang mengambil ayahku dulu. Aku tidak ingin menjadi wanita yang mengambil
kebahagiaan orang lain."
Aku tidak tahu harus berkata apa
lagi. Sebuah informasi baru tentang kehidupannya kembali terungkap. Dia korban
perceraian. Tak heran dia menentang keras ketika aku ingin menceraikan Ann
Alexa menyambar tasnya dan melangkah
dengan tergesa- gesa melewatiku yang membatu. Dia akan pergi! Apa? Dia akan
pergi!!! Aku harus bagaimana? Aku... Aku...
BRRAAAKK.....
Tiba-tiba lututku terasa lemas dan
aku terjatuh, mendorong meja yang berada di hadapanku. Pikiranku kabur, yang
aku ingat Alexa kembali dan berlutut di hadapanku. Kedua tangannya berada di
samping kiri dan kanan wajahku.
"Steve... Steve.... Tuhan...
Bicaralah padaku Steve."
Setelah kesadaranku pulih. Aku
langsung mendekapnya dan memeluknya erat. "Aku mohon... Aku mohon Alexa...
jangan tinggalkan aku lagi. Aku mohon." Suaraku terdengar sedikit memaksa
"Oh tuhan... Steve..."
Dan 2 bulan setelahnya aku menemukan
apartementnya kosong. Dia sudah tidak ada. Aku panik. Aku bertanya kesana dan
kemari namun tidak mendapat jawaban. Aku frustasi dan hampir gila. Dia
meninggalakanku. Benar-benar meninggalkanku.
No comments:
Post a Comment