Friday 24 May 2013

New project



Rencananya aku mau buat project baru. namanya project Sweet Room. jadi Sweet Room ini kumpulan cerpen yang ada kesamaan di setiap ceritanya yaitu kamar. Jangan neg think dulu. Gak setiap apa yang terjadi di dalam kamar seperti apa yang kita duga. Banyak kejadian yang terjadi walau itu hanya terjadi di dalam kamar. Karena awalnya aja Sweet jadi pasti kejadian yang manis-manis.
Project ini terjadi karena abis nonton film pendek dengan judul yang sama dan menurut aku sweet banget. :)
Tapi berhubung masih dalam tahap pembuatan dan authornya sendiri lagi nyari-nyari inspirasinya yang hilang *garuk-garuk tanah nyari inspirasi* jadi masih belum tahu kapan postingan pertama Sweet Room ini akan mulai.
Doain aja semoga author ini berhasil menemukan inspirasinya yang hilang jadi bisa cepat di posting.
Sebelumnya terima kasih.... ;)
-Salam Author-

Tuesday 21 May 2013

Wrong Or Right? Part 8




Alexa sedang istirahat makan siang dengan temannya ketika matanya menemukan seseorang yang ia kenal.
“Davin!” Seru Alexa seketika saat melihat Davin berada di kantornya.
Davin menoleh. Mencari-cari sumber suara yang memanggilnya barusan. Alexa melambaikan tangannya agar Davin melihatnya. Alexa menghampirinya dan langsung bertatap muka dengan wajah Davin yang tampan.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Davin tersenyum simpul. “Aku ada pemotretan disini. Oh ya? Kau bekerja disini ya?”
Alexa mengangguk.
“Kalau begitu. Kau bisa membantuku menemukan dimana studionya? Karena resepsionisnya tidak bisa membantuku sama sekali.”
Alexa tersenyum riang. “Baiklah. Dengan senang hati.”

****
Ketika Alexa sampai di studio. Steve sedang melakukan pemotretan. Saat itu Steve sedang melihat hasil foto yang barusan di ambil.
“Oh, Alexa.” Seru salah seorang kru ketika melihat kedatangan Alexa.
Steve menoleh dan tersenyum melihat kedatangan Alexa, namun senyumnya seketika itu hilang saat melihat seorang pria datang di belakang Alexa.
Alexa berbicara dengan salah seorang kru memperkenalkan pria yang berada di sampingnya dan sesekali wajahnya tersenyum. Steve memperhatikan pria itu. Wajahnya memang tampan, terlihat sekali kalau pria ini sangat menjaga tubuh dan wajahnya.
“Kau bisa tunggu disini mereka bilang sebentar lagi selesai.” Ujar Alexa kepada Davin.
Davin menghela nafas. Ia paling tidak suka menunggu. ia memutar pandangannya melihat studio tersebut. Pandangannya terkunci pada sosok pria yang sepertinya ia kenal.
“Itu Steve Gabriel?” Tanya Davin seraya menunjuk kepada sosok pria yang sedang membungkuk menatap layar computer.
Alexa mengangguk. “Dia adalah model untuk produk terbaru kami.”
Mulut Davin membentuk huruf O, kemudian kepalanya mengangguk. “Perusahaanmu keren sekali kalau begitu.”
Alexa hanya tersenyum meringis. Kalau saja dia tahu yang sebenarnya
“Sebaiknya kita menunggu di ruang make-up saja. Ayo, akan ku temani.” Alexa menarik lengan Davin dan membawanya ke ruang make-up
****

Steve dapat bernafas lega. Akhirnya pemotretan yang padat itu bisa selesai juga. Ingin rasanya ia cepat-cepat kembali ke hotel, mandi lalu beristirahat. Badannya pegal-pegal semua.
Ketika hendak keluar dari studio. Steve melihat sosok Alexa sedang berdiri dengan lengan dilipat di atas dada. Dengan girangnya Steve menghampiri Alexa.
“Hai.” Seru Steve girang
“Hai.” Balas Alexa dengan senyum
“Mau pulang?”
Alexa menggeleng. “Aku ada janji makan malam dengan temanku.” Alexa tersenyum meminta maaf.
Alis Steve bertaut. “Dia?” Steve melempar pandangannya kepada sosok pria yang sedang berpose di bawah cahaya lampu. Pria yang sama yang tadi di bawa masuk oleh Alexa.
Alexa mengangguk. “Maaf.”
“Siapa dia?” nada suara Steve kurang bersahabat.
“Dia teman dari temanku. Kau ingat Jenny? Kita bertemu di pesta pertunangannya Jenny.”
Tiba-tiba pria itu datang berjalan menghampiri mereka.
“Davin! Kenalkan ini Steve Gabriel.” Alexa memperkenalkan laki-laki itu. “Dan Steve kenalkan ini Davindra Dewantara.”
Davin mengulurkan lengannya Steve menyambutnya dengan tegas. Ekspresi mukanya menampakan ketidaksukaannya.
“Nice to meet you.” Davin tersenyum bersahabat
“Nice to meet you too.” Balas Steve dengan senyum sedikit di paksaan.
Davin menatap Alexa lalu tersenyum. “Jadi pergi?”
“Kau sudah selesai?”
Davin mengangguk. “Setelah mengganti baju ini. Aku sudah selesai.”
“Baiklah aku tunggu di lobby.”
Davin melangkah pergi menuju ruang make-up meninggalkan Steve dan Alexa berdua.
“Kau mau pergi sekarang?”
“Iya.” Jawab Alexa singkat ia membereskan tasnya lalu menyampirkannya di bahu.
Ketika Alexa melewati Steve. Steve menghentikan langkah Alexa dengan mencengkram lengan Alexa kuat.
“Jangan pergi.” Ucap Steve datar
“Apa?”
“Aku bilang jangan pergi.”
“Ayo. Kita pergi.” Seru Davin seraya mengenakan kembali jaket coklat miliknya.
“Steve lepaskan.” Bisik Alexa tajam.
Steve tidak bergeming matanya menatap mata Alexa lekat. Alexa sekuat tenaga melepaskan cengkraman tangan Steve. Dengan sekali hentakan lengan Alexa terlepas dari cengkraman Steve. Alexa memperbaiki letak tasnya sebelum melangkah pergi.
Steve memejamkan matanya erat. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Ketika membuka matanya, pandangannya mengitari sekitar studio yang sudah kosong. Ini tidak bisa dibiarkan.
****
“Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali.” Ujar Davin ketika mereka dalam perjalanan menuju resto.
Alexa mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Oh, ya. Tadi aku berterima kasih sekali karena kau mau mengenalkanku pada Steve.”
Alexa memandang Davin tak mengerti.
“Aku ini fans beratnya. Aku sudah banyak menonton filmnya. Dia sangat berbakat. Dia tidak hanya sukses sebagai seorang model tapi juga sebagai actor. Harusnya tadi aku minta tanda tangannya ya. Hahaha.”
Alexa hanya tersenyum tipis. Ia hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali menatap ke luar jendela. Entah mengapa berbicara dengan pria ini merasa dirinya nyaman. Merasa dirinya sendiri. Entah sudah berapa lama Alexa tak senyaman ini berbicara dengan orang lain.
****
Davin mengantarnya sampai ke depan komplek apartementnya. “Terima kasih karena mau menemaniku makan malam.” Ujar Davin ketika Alexa sudah turun dari mobil
“Harusnya aku yang berterima kasih. Kau sudah mentraktirku.”
Davin memutar bola matanya. “Lain kali kau yang harus mentraktirku.”
“Baiklah.”
“Kau masuklah. Di luar sini dingin sekali. Aku ingin cepat-cepat pulang dan mandi air panas.” Lalu mobil Davin pun melaju pergi.

Lift terbuka, menandakan Alexa sudha sampai di lantai apartementnya. Ketika ia berjalan di lorong. Betapa terkejutnya dia. Ada seseorang sedang duduk di depan pintu apartementnya. Alexa memicingkan mata dan… “Ya tuhan! Steve.”
Alexa menghampiri tubuh yang sedang duduk seraya memegangi lutunya itu. “Apa yang kau lakukan disini? Ya tuhan! Disini dingin sekali.” Alexa langsung membuka pintu apartementnya dan membawa Steve masuk.
“Duduklah.” Alexa mendudukan tubuh Steve yang menggigil itu di atas sofanya. Lalu ia pergi ke dapur untuk memberinya air hangat. “Minumlah.” Steve menyambut gelas itu dan langsung meminumnya.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Alexa ketika Steve sudah tenang.
“Aku menunggumu.”
Menungguku?
“Dari mana kau tahu apartementku?”
“Tidak sulit menanyakan dimana kau tinggal pada resepsionis itu.”
Alexa menggelengkan kepalanya. Merasa tidak percaya akan apa yang didengarnya.
“Lebih baik kau pulang sekarang. Akan ku panggilkan taksi.” Alexa hendak bangkit dari sofa ketika lengan Steve menghentikannya.
“Kau. Apa yang kau lakukan bersamanya?”
Alexa butuh waktu beberapa detik untuk mencerna apa yang dikatakan Steve barusan.
“Aku hanya makan dengannya.”
“Tidak ada yang lain?”
“Memangnya apa yang kau harapkan?”
Steve terdiam. Alexa kembali duduk di sofa. Jarinya menangkap jari Steve dan membungkusnya.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan.”
Wajah Steve terangkat. Matanya yang biru langsung menatap mata Alexa.
“Im scared.” Desah Steve tak berdaya.
“It’s ok. Im here. With you.”
Steve memeluknya. Memeluknya dengan lembut, membuat rasa nyaman dan tentram pada diri Alexa. Alexa menyenderkan wajahnya pada bahu Steve, menyesapi rasa nyaman itu lebih dalam. Steve memeluknya cukup lama. Alexa melepaskannya setelah merasa nafas Steve sudah teratur.
“Kau sudah makan?” Tanya Alexa lembut
Steve menggeleng. “Dari studio aku langsung kemari.”
“Akan kubuatkan kau makanan.”

Revenge (Long Version) Part 11




Pagi harinya aku di perbolehkan pulang oleh dokter. Aku harus menerima ketika dokter memberiku obat tambahan. Aku mendengus, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi. Aku ingin cepat sembuh. Kembali beraktifitas dengan normal.
Aku pulang kerumah untuk membersihkan diri. Ketika aku memasuki ruang tamu, kutemukan mama sedang memandang keluar jendela dengan suster sedang menyuapinya. Aku memutuskan untuk mengahampiri mama sebentar.
Walaupun mama sudah mampu di ajak bicara. Namun ada keadaan dimana mama kembali kumat. Mama hanya mampu diam, dengan tatapan mata yang kosong memandang keluar jendela. Ingatan mama juga sudah mulai kabur. Daya pikirnya pun begitu.
Aku duduk di hadapan mama. Mengambil jari-jari mama yang sudah mulai keriput, membelainya dengan lembut lalu mengecupnya.
“Mama lagi makan? makan yang banyak ya ma, biar mama cepet sembuh. Kalau udah sembuh nanti kita pergi ke tempatnya Yuda.” Ucapku pelan
Mama meresponku dengan cepat. Mama merasa sensitive ketika mendengar nama Yuda.
“Yuda? Nanti kita ke tempatnya Yuda?”
Aku mengangguk lembut. “Kalau mama udah sehat, nanti kita kesana. Makanya mama makan yang banyak biar cepet sembuh.”
Mama mengangguk dengan semangat. Senyumnya mengembang. Mama begitu gembira ketika aku mengatakan akan pergi menengok Yuda. Ada sedikit rasa iri karena begitu besarnya rasa cinta mama kepada Yuda dibanding rasa cinta mama kepadaku. Namun kini hanya mama yang aku punya, dengan kondisi mama yang seperti ini, aku tak mampu berbuat macam-macam.
Aku kembali menegakan badanku. Pamit dengan mama dan suster lalu pergi ke lantai atas. Ke kamarku. Membersihkan diri sebelum berangkat lagi ke kantor.
****
Sesampainya aku di kantor. Aku sudah menyiapkan diri kalau saja teman-teman di kantor menanyakan kemarin aku tidak kembali lagi ke ruangan setelah mengejar Krista. Dengan menghembuskan nafas aku berjalan memasuki ruangan.
Aku melihat ke sekeliling ruangan kantor. Hening. Banyak meja yang masih kosong belum berpenghuni. Mereka belum datang.
Aku hendak duduk di kursiku ketika seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Hey, udah masuk lagi, Dik?” tanya Egi dengan segelas kopi di tangannya.
Aku hanya mengangguk pelan. Ini dia.
“Krista bilang kemarin kamu harus check up ke dokter ya? Kenapa gak bilang? Kita khawatir banget, kamu nggak balik lagi abis ngejar Krista, kami kira kamu kenapa-napa.”
Aku menatapnya bingung. “Krista yang bilang gitu?”
Egi mengangguk mantap. “Syukur deh kalau kamu baik-baik aja, aku kira bakalan absen lagi.” Egi menyeruput kopinya sebentar lalu berjalan menuju meja kerjanya.
Aku merenung. Pantas saja orang-orang kantor tidak bertanya kepadaku, mungkin karena Krista sudah berbicara kepada mereka.
                                                                  ****
Aku sedang mengetik, mengerjakan beberapa laporan ketika kudengar suara orang yang sedang marah-marah.
“Krista! Kenapa laporan ini bisa salah? Kan aku sudah bilang sebelum di kasih ke aku periksa dulu dong. Aku dimarahi oleh Pak Sabdo tadi gara-gara laporan kamu masih berantakan. Udah berapa kali sih bikin laporan kayak gini? Kok masih salah?” bentak seorang karyawan wanita yang namanya aku tidak ingat.
Semua karyawan yang sedang sibuk langsung menorehkan kepalanya ke arah Krista. Krista yang sedang di marahi hanya bisa menunduk sedih. Ia tidak berani menatap wajah karyawan wanita itu, ia hanya memainkan jari-jarinya.
“Sekarang kamu perbaiki ini. Semuanya! Besok harus selesai. Aku gak mau tahu gimana caranya besok pagi harus ada di meja aku.” Ucapan wanita itu di akhiri dengan melemparkan kertas yang akhirnya berantakan di sekitar meja Krista. Setelah suasana agak sepi, para karyawan yang sedari tadi hanya menonton kembali sibuk dengan pekerjaannya, tak ada yang mau membantu Krista memunguti kertas yang berantakan itu. Begitu pun aku. Jujur saja ada rasa senang ketika melihat ia dimarahi seperti itu. Rasa dendam di hatiku sedikit terbalaskan dengan melihat wajahnya yang sedih itu.
                                                          *******
Aku sedang membereskan mejaku, bersiap untuk pulang. Sudah pukul 8 malam dan aku lelah. Aku mendongakan kepalaku dan mendapati Krista masih berada di mejanya, mengerjakan laporan untuk esok. Dia tidak menyadari kehadiranku yang masih disini. Matanya terlihat fokus pada kerjaannya. Sesekali ia mengusap matanya yang kelelahan. Mataku tak sengaja berpandangan dengan matanya ketika ia mendongakan wajahnya. Matanya menatap mataku lama. Aku yang pertama kali memutus kontak mata itu. Ku langkahkan kaki keluar dari ruangan dan berusaha tak peduli dengannya, tapi entah mengapa ada sesuatu di dada ini yang terasa sesak, apakah aku sakit lagi? Bukan. Ini bukan rasa sakit. Rasanya seperti aku tidak bisa bernafas dan butuh udara segera. Mungkin aku hanya kelelahan. Ya, aku hanya kelelahan.
*****
 
Hari ini mama pergi ke luar kota, ke tempat adiknya mama untuk beberapa minggu. Aku di rumah sendiri, hanya ada satu pembantu itupun pulang pergi. Ketika malam hari aku benar-benar sendiri. Mungkin karena ini pola makanku berantakan dan aku kembali sakit. Entah mengapa aku jadi sering sakit dan daya tahan tubuhku mudah jatuh. Badanku demam. Aku menelpon temanku dan mengatakan aku sakit sehingga tidak bisa masuk kantor.
Aku hanya bisa tidur di kamar, terbaring lemah di atas kasur. Pembantuku sudah ku suruh buatkan bubur, untukku makan. Setelah itu dia pergi ke pasar.  Ketika aku sedang berusaha untuk tidur, seseorang membunyikan bel rumahku. Tadinya aku hendak mengabaikannya dan kembali tidur, namun ternyata orang itu tidak mengalah juga, dia tetap membunyikan bel yang mengerikan itu sehingga benar-benar mengangguku.
Dengan tenaga seadanya kubukakan pintu itu, hendak mengusir tamu tak di undang yang tak tahu malu karena sedari tadi tidak kubukakan pintu. Ketika pintu sudah terbuka lebar dan aku handak memarahi orang itu. Aku terperangah kaget. Krista? Untuk apa dia datang kemari?
“Aku datang untuk menjengukmu.” Ujar Krista dengan senyum ramahnya. “Teman-teman bilang kamu sakit jadi aku kemari untuk memberimu ini.” Dia menyodorkan keranjang buah yang berada di tangannya.
Aku hanya mematung di depan pintu. Kepalaku kembali pusing, sepertinya efek dari obatnya sudah habis, karena kini aku merasa kepalaku berputar cukup hebat, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
*****
Krista POV

Aku terkejut ketika Dika roboh di depanku. Aku langsung menyangga tubuhnya agar tidak terjatuh, lalu meminta bantuan dari orang rumah dengan berteriak. Namun tak ada yang datang, sepertinya rumahnya kosong dan Dika sendirian. Kasihan sekali, ketika sedang sakit seperti ini ia harus tinggal sendirian di rumah.
Dengan tenagaku aku berusaha membawanya masuk ke dalam rumah. Ya Tuhan, badannya panas sekali. Ku bawa dia ke lantai atas. Kucari-cari kamarnya dan akhirnya ketemu juga. Ku baringkan tubuhnya di atas kasur. Wajahnya berkeringat. Aku hendak mengompres dahinya ketika lengannya menghentikanku.
“Jangan… jangan pergi…” gumamnya tanpa sadar. Matanya yang sayu melihatku dengan iba. Aku jadi tak tega. Aku kembali ke samping tempat tidurnya. Duduk di pinggir tempat tidur. Aku memandanginya dengan takut-takut. Takut dia akan menjadi kasar seperti biasanya dan menyakitiku. Namun ternyata dia membelai wajahku dan mengusapnya dengan lembut. Aku sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya. Ia tersenyum kepadaku. Senyumnya begitu lembuh dan juga lemah. Dia meenyebut namaku dengan suaranya yang lemah.
“Krista… cantik… kamu cantik.” Gumamnya seraya mengusap pipiku dengan ibu jarinya dengan lembut. Aku yang masih terkejut hanya bisa diam. Dia bilang aku cantik?
“Jangan pergi…”
Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak akan pergi.” Ucapku sambil mengusap kepalanya. Ia terlihat senang ketika aku mengusap kepalanya. Kerena ia tersenyum sambil memejamkan matanya lalu tak berapa lama kemudian ku dengar suara tarikan nafas yang teratur, sepertinya ia tertidur.
Aku masih mengusap kepalanya lalu kupandangi wajahnya yang indah itu. Begitu damai ketika tertidur. Wajahnya tak seperti orang jahat tapi entah mengapa perlakuannya kepadaku begitu jahat dan kasar. Ia selalu berkata kasar padaku, padahal seingatku aku tidka pernah menyakitinya.
Yuda. Mungkin karena dia. Mungkin karena Dika menyangka akulah penyebab kematian Yuda. Tapi sungguh aku tidak bermaksud menyakiti Yuda. Aku hanya… aku hanya menganggap Yuda sebagai temanku tidak lebih dan aku sama sekali tidka tahu kalau Yuda menyukaiku. Aku juga sempat terpukul ketika mengetahui kabar Yuda mengalami kecelakaan. Aku juga menyayanginya… sebagai teman.
Kini Dika menganggapku sebagai musuhnya. Sebagai seorang pembunuh. Sudah berkali-kali aku mengatakan kalau itu bukan kesalahanku tapi dia tidak ingin mengerti, kini biarlah dia lakukan semaunya, akupun sudah lelah.
Kupandangi lagi wajahnya. Wajahnya yang tampan tanpa kumis atau janggut yang menghiasi wajahnya. Dia begitu tampan ketika tersenyum tapi dia tidak pernah tersenyum padaku. Tidak sekalipun.