Pagi harinya aku di perbolehkan pulang
oleh dokter. Aku harus menerima ketika dokter memberiku obat tambahan. Aku
mendengus, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi.
Aku ingin cepat sembuh. Kembali beraktifitas dengan normal.
Aku pulang kerumah untuk membersihkan
diri. Ketika aku memasuki ruang tamu, kutemukan mama sedang memandang keluar
jendela dengan suster sedang menyuapinya. Aku memutuskan untuk mengahampiri
mama sebentar.
Walaupun mama sudah mampu di ajak
bicara. Namun ada keadaan dimana mama kembali kumat. Mama hanya mampu diam,
dengan tatapan mata yang kosong memandang keluar jendela. Ingatan mama juga
sudah mulai kabur. Daya pikirnya pun begitu.
Aku duduk di hadapan mama. Mengambil
jari-jari mama yang sudah mulai keriput, membelainya dengan lembut lalu
mengecupnya.
“Mama lagi makan? makan yang banyak ya
ma, biar mama cepet sembuh. Kalau udah sembuh nanti kita pergi ke tempatnya
Yuda.” Ucapku pelan
Mama meresponku dengan cepat. Mama
merasa sensitive ketika mendengar nama Yuda.
“Yuda? Nanti kita ke tempatnya Yuda?”
Aku mengangguk lembut. “Kalau mama udah
sehat, nanti kita kesana. Makanya mama makan yang banyak biar cepet sembuh.”
Mama mengangguk dengan semangat.
Senyumnya mengembang. Mama begitu gembira ketika aku mengatakan akan pergi
menengok Yuda. Ada sedikit rasa iri karena begitu besarnya rasa cinta mama
kepada Yuda dibanding rasa cinta mama kepadaku. Namun kini hanya mama yang aku
punya, dengan kondisi mama yang seperti ini, aku tak mampu berbuat macam-macam.
Aku kembali menegakan badanku. Pamit
dengan mama dan suster lalu pergi ke lantai atas. Ke kamarku. Membersihkan diri
sebelum berangkat lagi ke kantor.
****
Sesampainya aku di kantor. Aku sudah
menyiapkan diri kalau saja teman-teman di kantor menanyakan kemarin aku tidak
kembali lagi ke ruangan setelah mengejar Krista. Dengan menghembuskan nafas aku
berjalan memasuki ruangan.
Aku melihat ke sekeliling ruangan
kantor. Hening. Banyak meja yang masih kosong belum berpenghuni. Mereka belum
datang.
Aku hendak duduk di kursiku ketika
seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Hey, udah masuk lagi, Dik?” tanya Egi
dengan segelas kopi di tangannya.
Aku hanya mengangguk pelan. Ini dia.
“Krista bilang kemarin kamu harus check
up ke dokter ya? Kenapa gak bilang? Kita khawatir banget, kamu nggak balik lagi
abis ngejar Krista, kami kira kamu kenapa-napa.”
Aku menatapnya bingung. “Krista yang
bilang gitu?”
Egi mengangguk mantap. “Syukur deh kalau
kamu baik-baik aja, aku kira bakalan absen lagi.” Egi menyeruput kopinya
sebentar lalu berjalan menuju meja kerjanya.
Aku merenung. Pantas saja orang-orang
kantor tidak bertanya kepadaku, mungkin karena Krista sudah berbicara kepada
mereka.
****
Aku sedang mengetik, mengerjakan
beberapa laporan ketika kudengar suara orang yang sedang marah-marah.
“Krista! Kenapa laporan ini bisa salah?
Kan aku sudah bilang sebelum di kasih ke aku periksa dulu dong. Aku dimarahi
oleh Pak Sabdo tadi gara-gara laporan kamu masih berantakan. Udah berapa kali
sih bikin laporan kayak gini? Kok masih salah?” bentak seorang karyawan wanita
yang namanya aku tidak ingat.
Semua karyawan yang sedang sibuk
langsung menorehkan kepalanya ke arah Krista. Krista yang sedang di marahi
hanya bisa menunduk sedih. Ia tidak berani menatap wajah karyawan wanita itu,
ia hanya memainkan jari-jarinya.
“Sekarang kamu perbaiki ini. Semuanya!
Besok harus selesai. Aku gak mau tahu gimana caranya besok pagi harus ada di
meja aku.” Ucapan wanita itu di akhiri dengan melemparkan kertas yang akhirnya
berantakan di sekitar meja Krista. Setelah suasana agak sepi, para karyawan
yang sedari tadi hanya menonton kembali sibuk dengan pekerjaannya, tak ada yang
mau membantu Krista memunguti kertas yang berantakan itu. Begitu pun aku. Jujur
saja ada rasa senang ketika melihat ia dimarahi seperti itu. Rasa dendam di
hatiku sedikit terbalaskan dengan melihat wajahnya yang sedih itu.
*******
Aku sedang membereskan mejaku, bersiap
untuk pulang. Sudah pukul 8 malam dan aku lelah. Aku mendongakan kepalaku dan
mendapati Krista masih berada di mejanya, mengerjakan laporan untuk esok. Dia
tidak menyadari kehadiranku yang masih disini. Matanya terlihat fokus pada
kerjaannya. Sesekali ia mengusap matanya yang kelelahan. Mataku tak sengaja
berpandangan dengan matanya ketika ia mendongakan wajahnya. Matanya menatap
mataku lama. Aku yang pertama kali memutus kontak mata itu. Ku langkahkan kaki
keluar dari ruangan dan berusaha tak peduli dengannya, tapi entah mengapa ada
sesuatu di dada ini yang terasa sesak, apakah aku sakit lagi? Bukan. Ini bukan
rasa sakit. Rasanya seperti aku tidak bisa bernafas dan butuh udara segera.
Mungkin aku hanya kelelahan. Ya, aku hanya kelelahan.
*****
Hari ini mama pergi ke luar kota, ke
tempat adiknya mama untuk beberapa minggu. Aku di rumah sendiri, hanya ada satu
pembantu itupun pulang pergi. Ketika malam hari aku benar-benar sendiri. Mungkin
karena ini pola makanku berantakan dan aku kembali sakit. Entah mengapa aku
jadi sering sakit dan daya tahan tubuhku mudah jatuh. Badanku demam. Aku
menelpon temanku dan mengatakan aku sakit sehingga tidak bisa masuk kantor.
Aku hanya bisa tidur di kamar, terbaring
lemah di atas kasur. Pembantuku sudah ku suruh buatkan bubur, untukku makan.
Setelah itu dia pergi ke pasar. Ketika
aku sedang berusaha untuk tidur, seseorang membunyikan bel rumahku. Tadinya aku
hendak mengabaikannya dan kembali tidur, namun ternyata orang itu tidak
mengalah juga, dia tetap membunyikan bel yang mengerikan itu sehingga
benar-benar mengangguku.
Dengan tenaga seadanya kubukakan pintu
itu, hendak mengusir tamu tak di undang yang tak tahu malu karena sedari tadi
tidak kubukakan pintu. Ketika pintu sudah terbuka lebar dan aku handak memarahi
orang itu. Aku terperangah kaget. Krista? Untuk apa dia datang kemari?
“Aku datang untuk menjengukmu.” Ujar
Krista dengan senyum ramahnya. “Teman-teman bilang kamu sakit jadi aku kemari
untuk memberimu ini.” Dia menyodorkan keranjang buah yang berada di tangannya.
Aku hanya mematung di depan pintu.
Kepalaku kembali pusing, sepertinya efek dari obatnya sudah habis, karena kini
aku merasa kepalaku berputar cukup hebat, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
*****
Krista POV
Aku terkejut ketika Dika roboh di
depanku. Aku langsung menyangga tubuhnya agar tidak terjatuh, lalu meminta
bantuan dari orang rumah dengan berteriak. Namun tak ada yang datang,
sepertinya rumahnya kosong dan Dika sendirian. Kasihan sekali, ketika sedang
sakit seperti ini ia harus tinggal sendirian di rumah.
Dengan tenagaku aku berusaha membawanya
masuk ke dalam rumah. Ya Tuhan, badannya panas sekali. Ku bawa dia ke lantai
atas. Kucari-cari kamarnya dan akhirnya ketemu juga. Ku baringkan tubuhnya di
atas kasur. Wajahnya berkeringat. Aku hendak mengompres dahinya ketika
lengannya menghentikanku.
“Jangan… jangan pergi…” gumamnya tanpa
sadar. Matanya yang sayu melihatku dengan iba. Aku jadi tak tega. Aku kembali
ke samping tempat tidurnya. Duduk di pinggir tempat tidur. Aku memandanginya
dengan takut-takut. Takut dia akan menjadi kasar seperti biasanya dan
menyakitiku. Namun ternyata dia membelai wajahku dan mengusapnya dengan lembut.
Aku sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya. Ia tersenyum kepadaku.
Senyumnya begitu lembuh dan juga lemah. Dia meenyebut namaku dengan suaranya
yang lemah.
“Krista… cantik… kamu cantik.” Gumamnya
seraya mengusap pipiku dengan ibu jarinya dengan lembut. Aku yang masih
terkejut hanya bisa diam. Dia bilang aku cantik?
“Jangan pergi…”
Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak
akan pergi.” Ucapku sambil mengusap kepalanya. Ia terlihat senang ketika aku
mengusap kepalanya. Kerena ia tersenyum sambil memejamkan matanya lalu tak
berapa lama kemudian ku dengar suara tarikan nafas yang teratur, sepertinya ia
tertidur.
Aku masih mengusap kepalanya lalu
kupandangi wajahnya yang indah itu. Begitu damai ketika tertidur. Wajahnya tak
seperti orang jahat tapi entah mengapa perlakuannya kepadaku begitu jahat dan
kasar. Ia selalu berkata kasar padaku, padahal seingatku aku tidka pernah
menyakitinya.
Yuda. Mungkin karena dia. Mungkin karena
Dika menyangka akulah penyebab kematian Yuda. Tapi sungguh aku tidak bermaksud
menyakiti Yuda. Aku hanya… aku hanya menganggap Yuda sebagai temanku tidak
lebih dan aku sama sekali tidka tahu kalau Yuda menyukaiku. Aku juga sempat
terpukul ketika mengetahui kabar Yuda mengalami kecelakaan. Aku juga
menyayanginya… sebagai teman.
Kini Dika menganggapku sebagai musuhnya.
Sebagai seorang pembunuh. Sudah berkali-kali aku mengatakan kalau itu bukan
kesalahanku tapi dia tidak ingin mengerti, kini biarlah dia lakukan semaunya,
akupun sudah lelah.
Kupandangi lagi wajahnya. Wajahnya yang
tampan tanpa kumis atau janggut yang menghiasi wajahnya. Dia begitu tampan
ketika tersenyum tapi dia tidak pernah tersenyum padaku. Tidak sekalipun.
No comments:
Post a Comment