Wednesday 15 May 2013

Wrong Or Right? Part 6


Note : Maaf baru bisa posting sekarang. setelah sekian lama menghilang. apalah daya, kalau quota habis cuma bisa gigit jari aja *nunduk*



"Hari ini ada meeting sama model yang dipilihin sama si boss?" Tanya Alexa ketika dia dan Jenny berada di toilet kantor.
Jenny mengangguk. "Iya. Kamu tahu siapa modelnya?"
Alexa menggeleng. "Nggak. Si boss cuman ngasih tau hari ini ada meeting penting." Ucapnya seraya mengoleskan lipstik merah muda pada bibirnya.
"Aku juga gak tahu siapa." Ujar Jenny yang sedang menyapukan bedaknya di pipi. "Tapi syukurlah kita sudah mendapatkan modelnya."
Alexa mengangguk. "Akhirnya." Ia menaruh lipstiknya di dalam tas. "Ayo! Nanti si boss marah."


"Oh kalian sudah datang. Silahkan duduk." Ucap Pak Broto ketika Alexa dan Jenny membuka pintu. "Modelnya sebentar lagi datang."
Terdengar ketukan pintu. Tak lama kemudian pintu tersebut terbuka.
"Oh itu modelnya sudah datang." Ucap Pak Broto lalu bangkit dari kursinya. Menghampiri sang model.
Alexa tidak dapat melihat siapa si model itu. Pandangannya tertutup oleh tubuh tambun Pak Broto.
"Please. Sit down." Ucap Pak Broto mempersilahkan tamunya duduk.
"Steve!" Seru Alexa tak percaya. Steve Gabriel?! Jadi... modelnya adalah Steve Gabriel?
"Oh. Kau mengenalnya Alexa?" tanya Pak Broto terkejut. "Oh pasti kau mengenalnya. Kenalkan ini adalah model untuk produk terbaru kita. Steve Gabriel."
Steve mengangguk pelan. Di ulurkan lengannya di hadapan Alexa. Alexa hanya menatap tangan itu tanpa menyambutnya.
"Alexa?"
"Akh... Alexa Ardy. Kepala divisi humas disini." Ucapnya gugup seraya membalas uluran tangan Steve.
"Jenny Kusuma." Ucap Jenny ketika Steve mengulurkan tangannya.
"Selama Steve disini dia membutuhkan seorang penerjemah. Jadi saya harap ada yang bisa membantu dia selama dia bekerja sama dengan kita." Mata Pak Broto terlihat berbinar.
Sial! Aku tak akan mau, batin Alexa
"Bagaimana kalau Alexa saja? Ehm, saya rasa Bahasa Inggris Alexa lebih baik dari saya. Dia kan pernah tinggal di Inggris." Usul Jenny membuat Alexa terperanjat.
"What? Nggak. Aduh!" Alexa hendak protes namun kakinya di injak oleh Jenny.
"Good idea. Oke Alexa. For now must help everything that Mr. Gabriel need." Pak Broto menghampiri Steve. "Mr. Gabriel. Alexa is you new assitant."
"I hope we can work togerther." Ucap Steve ramah

!@#$%^&*()

"You are lucky girl." Ucap Jenny ketika mereka keluar dari ruangan Pak Broto.
"Lucky? Heh? Kenapa tidak kau saja yang menjadi asisten pribadinya? Kenapa harus aku?" Protes Alexa. Ia benar-benar marah
"Asistent pribadi?"
"Apalagi kalau namanya kalau bukan asisten pribadi? Kamu menemaninya kemana saja dia pergi."
Jenny tertawa kecil. "Setidaknya kamu bisa dekat-dekat dengan pria tampan. Kalau aku kan sudah punya Reno."
Alexa menghentikkan langkahnya. "Kamu gila! Dia sudah menikah!"

!@#$%^&*()

Entah ini suatu keberuntungan atau kesialan bagi Steve. Dia tidak menyangka sama sekali bila dia akan bertemu dengan Alexa.
"Ternyata dia bekerja disini." gumam Steve ketika ia berada di kamar hotelnya.
"Dan dia akan bekerja menjadi asistent ku." Steve tersenyum kecil.
"Dan aku akan membuat dia kembali padaku."

!@#$%^&*()

Ini sudah hari kelima Alexa menjadi assistant pribadi dari Steve. Dia harus selalu berada di sekitar Steve ketika dia sedang pemotretan, syuting iklan, dan juga harus menjaganya dari kejaran para wartawan dan fans yang menggila. "ARRGGGHH!!! Gak kuat!!!" Teriak Alexa ketika ia dan Jenny sedang keluar makan malam. Sudah seharian ini dia belum makan.
"Make up nya luntur tuh." goda Jenny seraya menyeruput ice coffe miliknya
"Capek tau gak?! Udah gitu tuh model bisanya cuman senyum sana senyum sini. Nggak bisa ngomong apa? Kenapa harus aku coba yang selalu ngelindungin dia? Kenapa dia nggak sewa bodyguard aja?" Gerutu Alexa seraya mengacak-acak rambutnya. Ia tidak peduli dengan tampangnya yang sudah tidak keruan.
Jenny hanya mengangguk-angguk mencoba mengerti perasaan sahabatnya ini.
Tiba-tiba ponsel Alexa berbunyi. Dilihatnya siapa yang menelpon. Steve.
"Kok nggak di angkat?" tanya Jenny melihat di biarkannya ponsel Alexa berbunyi
"Biarin." Ucap Alexa ketus.
"Kalau dia nyariin kamu gimana?"
"Biarin."
"Kalau dia nyamperin kamu kesini gimana?"
"Biarin."
Jenny menghela nafas. "Ya udah. Sekarang dia ada di belakang kamu tuh."
Alexa tersedak makanannya. "Dia kesini?" Langsung di balikkan badannya. Tubuh Steve sudah di belakangnya dengan ponsel masih berada di telinganya.
"Where are you Miss Alexa? I’ve been looking for you everywhere." Gerutu Steve seraya menaruh ponselnya ke dalam saku celana.
"This time for lunch. And I need a rest." Ucap Alexa ketus lalu kembali melanjutkan makannya.
"Ayo sekarang temani aku." Steve langsung menarik lengan Alexa.
"Ehh... eh..."

!@#$%^&*()

"Kita mau kemana? Kau masih ada pemotretan sekali lagi."
"Temani aku saja." Steve masih berjalan dengan santainya seraya menggenggam lengan Alexa. "Aku lagi bosan."
"Kita mau kemana?"
Steve tersenyum misterius. "Kau lihat saja nanti."
!@#$%^&*()
"Untuk apa kita kesini?" Alexa bertanya denga perasaan was-was. Masalahnya, mereka sedang berada di depan hotel berbintang lima
"Kita harus bicara." Jawab Steve singkat.
"Di hotel?" Alexa melempar tatapan tidak percaya. "Tapi kau masih ada pemotretan..."
"Mereka pasti bisa menundanya. Bukankah mereka yang membutuhkan aku?"
Steve langsung membawa Alexa ke kamar hotelnya. Selama berada di Indonesia, Steve menginap di hotel ini.
Para pegawai tersenyum manis ketika melihat seorang Steve Gabriel masuk ke dalam hotel mereka. Dengan senyum seadanya, Steve membalas senyum mereka. Sedangkan Alexa hanya berupaya agar wajahnya tidak terlihat oleh orang banyak. Bisa menjadi skandal nanti, batin Alexa.
Mereka sudah sampai di depan pintu kamar Steve menginap. Ketika Steve membuka pintu, Alexa berusaha melepaskan genggaman Steve yang kelewat kuat.
"Steve! Sakit!"
Klek. Pintu terbuka dan Alexa di tarik masuk.
Ruangan itu gelap gulita. Alexa tidak bisa melihat apapun. Matanya seperti buta.
Tiba-tiba Steve menyalakan tombol lampu dan seketika itu juga ruangan menjadi terang. Alexa harus beberapa kali mengedipkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya.
Ketika matanya sudah mampu beradaptasi, hal pertama yang dilihatnya adalah Steve. Steve menyenderkan bahunya di pinggir pintu dan menatap Alexa dengan tajam.
"What are you doing! Kita masih ada pemotretan dan kau bermain-main disini?" Teriak Alexa membabi buta. Ia berjalan ke arah pintu namun di hentikan oleh Steve.
"We have to talk." Suara Steve tenang namun dalam
Alexa menatap Steve tajam. "Harus disini? Di kamar hotelmu?"
Steve kembali mencengkram lengan Alexa kuat. "Ya, harus disini."
Alexa mulai geram. Di kibaskan lengannya agar lepas dari cengkraman Steve namun tidak berhasil. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"About us."
"Us?" Alexa mendengus. "No more us."
Steve menarik lengan Alexa sehingga kini mereka berdekatan. " Kau pikir mengapa aku menerima kontrak dari perusahaan miskin kalian?"
Alexa terdiam. Miskin?
"Aku model terkenal. Bayaranku cukup tinggi. Kalau bukan karena kau aku pasti sudah menolak kontrak itu." Tatapan Steve kian tajam. Menghentikan semua pemberontakan Alexa.
"Lalu... Kenapa... Untuk apa?" Tanya Alexa terbata-bata. Ia tak tahu harus berkata apa.
"I just wanna meet you." Steve melepaskan cengkramannya. Jari telunjuknya menelurusi garis wajah Alexa. "Aku merindukanmu."
Alexa hendak membuka mulutnya ketika saat itu juga Steve menciumnya. Ciumannya begitu lembut dan haus akan kerinduan. Alexa mendorong bahu Steve namun semakin kuat dorongannya semakin kuat pula Steve menciumnya.
"Kau... tidak... tahu... betapa aku merindukanmu." Ucap Steve di sela ciumannya.
"Steve stop it." Alexa berusaha menjauhkan bibirnya dari mulut Steve.
"No! Beberapa detik. Bukan. Beberapa menit saja. Tolong." Ya tuhan! Bagaimana aku bisa menolaknya. Suara Steve terdengar parau dan dia memohon.
"Just a few minutes." Ucap Alexa lalu mulai merangkul leher Steve dan membalas ciumannya. Lidah mereka saling bertautan. Mereka berciuman seakan ada kerinduan yang mendalam. Seakan ada suatu kenangan yang kembali hadir di antara mereka. Saling melumat, saling memagut. Alexa melingkarkan lengannya di leher Steve, mendesak mulutnya agar lebih dalam lagi.
"Wow... thats... so amazing." Nafas Steve terengah-engah seakan dia baru saja lari marathon, begitu juga dengan Alexa.
"That enough. Sekarang kita harus kembali ke kantor." Dengan tenaga yang tersisa. Alexa berjalan ke arah pintu, namun kembali di hentikan oleh Steve. "Sekarang apa?" Tanya Alexa kesal.
"Menginaplah. Bersamaku. Malam ini saja. Aku mohon."
Alexa terdiam. Matanya menatap Steve seakan tidak percaya. “Apa?”
Steve mengangguk mantap. “Menginaplah bersamaku. Malam ini. Disini.”
Alexa menggeleng cepat. “Tidak! Tentu saja tidak. Apa yang kau harapkan Steve? Aku tidak akan kembali padamu. Ini hanya karena perusahaanku membutuhkanmu. Ya! Perusahaan miskin ku ini membutuhkanmu. Sekarang aku ingin kembali ke kantor.”
“Aku tidak akan kemanapun sebelum kau mengatakan ya. Begitu juga denganmu.” Steve menghalangi pintu seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Seketika itu juga ponsel Alexa berbunyi. Jenny. “Kau lihat? Jenny sudah memanggil. Sekarang cepat menyingkir dari situ atau…”
“Atau apa?” Steve mengangkat dagunya. “Kau tidak bisa berbuat macam-macam.” Steve merasa dirinya menang .
Alexa menatap Steve penuh kebencian. Otaknya berpikir keras agar ia bisa keluar dari tempat ini, ya setidaknya.
Alexa menghela nafas. Kepalanya tertunduk lalu kembali terangkat dengan mata yang membara. Steve melihatnya dengan kening berkerut. ‘Apa yang ingin dilakukannya?’.
Alexa perlahan berjalan mendekati Steve,  tak sadar Steve memundurkan punggungnya hingga punggungnya berdempet dengan pintu.
“Baiklah kalau itu yang kau mau.” Perlahan Alexa membuka kancing kemeja bagian atasnya kemudian kancing selanjutnya dan selanjutnya
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Steve terkejut.
“Kau bilang ingin menginap bukan? Lets we make love.”
Kancing kemeja Alexa sudah terlepas semua, namun kemeja itu masih menempel di tubuhnya. Perlahan, Alexa menghampiri Steve.
“Kau ingin melepaskannya?” Tanya Alexa sangat menggoda.
“Alexa… kau…” Steve masih memandanginya dengan bingung. Semenit yang lalu wanita yang berada di depannya ini masih menolak dan memberontak, mengapa sekarang jadi seperti wanita penggoda?
“Alexa… kau baik-baik saja?” tanya Steve khawatir.
“Aku baik-baik saja. Kemarilah.” Alexa menangkup wajah Steve dengan kedua tangannya. Membuat mata biru Steve menatap mata gelapnya. Tak berapa lama kemudian, Alexa melumat bibir Steve dengan perlahan. Perlahan namun dalam. Seakan kedua bibir itu memang ditakdirkan untuk bersama.
Steve masih tidak mengerti apa yang terjadi. Ia hanya diam tanpa membalas ciuman Alexa.
“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Alexa bingung karena Steve tidak membalas ciumannya.
“Bukan, aku hanya… tidak mengerti.”
Alexa tersenyum lembut. “Lupakan saja semuanya. Sebentar. Kau merindukan aku.” Alexa mengecup bibir Steve singkat. “Dan aku merindukanmu.”
“Kau…”
“Bercintalah denganku, Steve. Aku mohon.”
Sesaat Steve masih memandanginya tidak percaya. Namun detik kemudian. Steve mulai mencium bibir Alexa, lengannya menarik pinggang Alexa untuk mendekat.
Ciumannya sekarang berpindah pada leher Alexa yang jenjang. Aroma parfum Alexa mampu membangkitkan Steve juniornya. Ya tuhan! Ia merindukan aroma ini.
“Aku merindukanmu, Alexa.” Ucap Steve di sela-sela ciumannya.
Alexa memejamkan matanya. Mencoba meresapi kecupan-kecupan hangat yang di berikan Steve kepada lehernya. Oh tuhan, semoga apa yang ia lakukan ini tidak salah. Semoga….

No comments:

Post a Comment