Note : Maaf baru bisa posting sekarang. setelah sekian lama menghilang. apalah daya, kalau quota habis cuma bisa gigit jari aja *nunduk*
"Hari ini ada meeting sama
model yang dipilihin sama si boss?" Tanya Alexa ketika dia dan Jenny
berada di toilet kantor.
Jenny mengangguk. "Iya. Kamu
tahu siapa modelnya?"
Alexa menggeleng. "Nggak. Si boss
cuman ngasih tau hari ini ada meeting penting." Ucapnya seraya mengoleskan
lipstik merah muda pada bibirnya.
"Aku juga gak tahu siapa."
Ujar Jenny yang sedang menyapukan bedaknya di pipi. "Tapi syukurlah kita
sudah mendapatkan modelnya."
Alexa mengangguk.
"Akhirnya." Ia menaruh lipstiknya di dalam tas. "Ayo! Nanti si
boss marah."
"Oh kalian sudah datang.
Silahkan duduk." Ucap Pak Broto ketika Alexa dan Jenny membuka pintu.
"Modelnya sebentar lagi datang."
Terdengar ketukan pintu. Tak lama
kemudian pintu tersebut terbuka.
"Oh itu modelnya sudah
datang." Ucap Pak Broto lalu bangkit dari kursinya. Menghampiri sang
model.
Alexa tidak dapat melihat siapa si
model itu. Pandangannya tertutup oleh tubuh tambun Pak Broto.
"Please. Sit down." Ucap
Pak Broto mempersilahkan tamunya duduk.
"Steve!" Seru Alexa tak
percaya. Steve Gabriel?! Jadi... modelnya adalah Steve Gabriel?
"Oh. Kau mengenalnya
Alexa?" tanya Pak Broto terkejut. "Oh pasti kau mengenalnya. Kenalkan
ini adalah model untuk produk terbaru kita. Steve Gabriel."
Steve mengangguk pelan. Di ulurkan
lengannya di hadapan Alexa. Alexa hanya menatap tangan itu tanpa menyambutnya.
"Alexa?"
"Akh... Alexa Ardy. Kepala
divisi humas disini." Ucapnya gugup seraya membalas uluran tangan Steve.
"Jenny Kusuma." Ucap Jenny
ketika Steve mengulurkan tangannya.
"Selama Steve disini dia
membutuhkan seorang penerjemah. Jadi saya harap ada yang bisa membantu dia
selama dia bekerja sama dengan kita." Mata Pak Broto terlihat berbinar.
Sial! Aku
tak akan mau, batin Alexa
"Bagaimana kalau Alexa saja?
Ehm, saya rasa Bahasa Inggris Alexa lebih baik dari saya. Dia kan pernah
tinggal di Inggris." Usul Jenny membuat Alexa terperanjat.
"What? Nggak. Aduh!" Alexa
hendak protes namun kakinya di injak oleh Jenny.
"Good idea. Oke Alexa. For now
must help everything that Mr. Gabriel need." Pak Broto menghampiri Steve.
"Mr. Gabriel. Alexa is you new assitant."
"I hope we can work togerther."
Ucap Steve ramah
!@#$%^&*()
"You are lucky girl." Ucap
Jenny ketika mereka keluar dari ruangan Pak Broto.
"Lucky? Heh? Kenapa tidak kau
saja yang menjadi asisten pribadinya? Kenapa harus aku?" Protes Alexa. Ia
benar-benar marah
"Asistent pribadi?"
"Apalagi kalau namanya kalau
bukan asisten pribadi? Kamu menemaninya kemana saja dia pergi."
Jenny tertawa kecil.
"Setidaknya kamu bisa dekat-dekat dengan pria tampan. Kalau aku kan sudah
punya Reno."
Alexa menghentikkan langkahnya.
"Kamu gila! Dia sudah menikah!"
!@#$%^&*()
Entah ini suatu keberuntungan atau
kesialan bagi Steve. Dia tidak menyangka sama sekali bila dia akan bertemu
dengan Alexa.
"Ternyata dia bekerja
disini." gumam Steve ketika ia berada di kamar hotelnya.
"Dan dia akan bekerja menjadi
asistent ku." Steve tersenyum kecil.
"Dan aku akan membuat dia
kembali padaku."
!@#$%^&*()
Ini sudah hari kelima Alexa menjadi
assistant pribadi dari Steve. Dia harus selalu berada di sekitar Steve ketika
dia sedang pemotretan, syuting iklan, dan juga harus menjaganya dari kejaran
para wartawan dan fans yang menggila. "ARRGGGHH!!! Gak kuat!!!"
Teriak Alexa ketika ia dan Jenny sedang keluar makan malam. Sudah seharian ini
dia belum makan.
"Make
up nya luntur tuh." goda Jenny seraya menyeruput ice coffe miliknya
"Capek tau gak?! Udah gitu tuh
model bisanya cuman senyum sana senyum sini. Nggak bisa ngomong apa? Kenapa
harus aku coba yang selalu ngelindungin dia? Kenapa dia nggak sewa bodyguard
aja?" Gerutu Alexa seraya mengacak-acak rambutnya. Ia tidak peduli dengan
tampangnya yang sudah tidak keruan.
Jenny hanya mengangguk-angguk
mencoba mengerti perasaan sahabatnya ini.
Tiba-tiba ponsel Alexa berbunyi.
Dilihatnya siapa yang menelpon. Steve.
"Kok nggak di angkat?"
tanya Jenny melihat di biarkannya ponsel Alexa berbunyi
"Biarin." Ucap Alexa
ketus.
"Kalau dia nyariin kamu
gimana?"
"Biarin."
"Kalau dia nyamperin kamu
kesini gimana?"
"Biarin."
Jenny menghela nafas. "Ya udah.
Sekarang dia ada di belakang kamu tuh."
Alexa tersedak makanannya. "Dia
kesini?" Langsung di balikkan badannya. Tubuh Steve sudah di belakangnya
dengan ponsel masih berada di telinganya.
"Where are you Miss Alexa? I’ve
been looking for you everywhere." Gerutu Steve seraya menaruh ponselnya ke
dalam saku celana.
"This time for lunch. And I
need a rest." Ucap Alexa ketus lalu kembali melanjutkan makannya.
"Ayo sekarang temani aku."
Steve langsung menarik lengan Alexa.
"Ehh... eh..."
!@#$%^&*()
"Kita mau kemana? Kau masih ada
pemotretan sekali lagi."
"Temani aku saja." Steve
masih berjalan dengan santainya seraya menggenggam lengan Alexa. "Aku lagi
bosan."
"Kita mau kemana?"
Steve tersenyum misterius. "Kau
lihat saja nanti."
!@#$%^&*()
"Untuk apa kita kesini?"
Alexa bertanya denga perasaan was-was. Masalahnya, mereka sedang berada di
depan hotel berbintang lima
"Kita harus bicara." Jawab
Steve singkat.
"Di hotel?" Alexa melempar
tatapan tidak percaya. "Tapi kau masih ada pemotretan..."
"Mereka pasti bisa menundanya.
Bukankah mereka yang membutuhkan aku?"
Steve langsung membawa Alexa ke
kamar hotelnya. Selama berada di Indonesia, Steve menginap di hotel ini.
Para pegawai tersenyum manis ketika
melihat seorang Steve Gabriel masuk ke dalam hotel mereka. Dengan senyum
seadanya, Steve membalas senyum mereka. Sedangkan Alexa hanya berupaya agar
wajahnya tidak terlihat oleh orang banyak. Bisa menjadi skandal nanti, batin
Alexa.
Mereka sudah sampai di depan pintu
kamar Steve menginap. Ketika Steve membuka pintu, Alexa berusaha melepaskan
genggaman Steve yang kelewat kuat.
"Steve! Sakit!"
Klek. Pintu terbuka dan Alexa di
tarik masuk.
Ruangan itu gelap gulita. Alexa
tidak bisa melihat apapun. Matanya seperti buta.
Tiba-tiba Steve menyalakan tombol
lampu dan seketika itu juga ruangan menjadi terang. Alexa harus beberapa kali
mengedipkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya.
Ketika matanya sudah mampu
beradaptasi, hal pertama yang dilihatnya adalah Steve. Steve menyenderkan
bahunya di pinggir pintu dan menatap Alexa dengan tajam.
"What are you doing! Kita masih
ada pemotretan dan kau bermain-main disini?" Teriak Alexa membabi buta. Ia
berjalan ke arah pintu namun di hentikan oleh Steve.
"We
have to talk." Suara Steve tenang namun dalam
Alexa menatap Steve tajam.
"Harus disini? Di kamar hotelmu?"
Steve kembali mencengkram lengan
Alexa kuat. "Ya, harus disini."
Alexa mulai geram. Di kibaskan
lengannya agar lepas dari cengkraman Steve namun tidak berhasil. "Apa yang
ingin kau bicarakan?"
"About us."
"Us?" Alexa mendengus.
"No more us."
Steve menarik lengan Alexa sehingga
kini mereka berdekatan. " Kau pikir mengapa aku menerima kontrak dari
perusahaan miskin kalian?"
Alexa terdiam. Miskin?
"Aku model terkenal. Bayaranku
cukup tinggi. Kalau bukan karena kau aku pasti sudah menolak kontrak itu."
Tatapan Steve kian tajam. Menghentikan semua pemberontakan Alexa.
"Lalu... Kenapa... Untuk
apa?" Tanya Alexa terbata-bata. Ia tak tahu harus berkata apa.
"I just wanna meet you."
Steve melepaskan cengkramannya. Jari telunjuknya menelurusi garis wajah Alexa.
"Aku merindukanmu."
Alexa hendak membuka mulutnya ketika
saat itu juga Steve menciumnya. Ciumannya begitu lembut dan haus akan
kerinduan. Alexa mendorong bahu Steve namun semakin kuat dorongannya semakin
kuat pula Steve menciumnya.
"Kau... tidak... tahu... betapa
aku merindukanmu." Ucap Steve di sela ciumannya.
"Steve stop it." Alexa
berusaha menjauhkan bibirnya dari mulut Steve.
"No! Beberapa detik. Bukan.
Beberapa menit saja. Tolong." Ya tuhan! Bagaimana aku bisa menolaknya.
Suara Steve terdengar parau dan dia memohon.
"Just a few minutes." Ucap
Alexa lalu mulai merangkul leher Steve dan membalas ciumannya. Lidah mereka
saling bertautan. Mereka berciuman seakan ada kerinduan yang mendalam. Seakan
ada suatu kenangan yang kembali hadir di antara mereka. Saling melumat, saling
memagut. Alexa melingkarkan lengannya di leher Steve, mendesak mulutnya agar
lebih dalam lagi.
"Wow... thats... so
amazing." Nafas Steve terengah-engah seakan dia baru saja lari marathon,
begitu juga dengan Alexa.
"That enough. Sekarang kita
harus kembali ke kantor." Dengan tenaga yang tersisa. Alexa berjalan ke
arah pintu, namun kembali di hentikan oleh Steve. "Sekarang apa?"
Tanya Alexa kesal.
"Menginaplah. Bersamaku. Malam
ini saja. Aku mohon."
Alexa terdiam. Matanya menatap Steve
seakan tidak percaya. “Apa?”
Steve mengangguk mantap.
“Menginaplah bersamaku. Malam ini. Disini.”
Alexa menggeleng cepat. “Tidak!
Tentu saja tidak. Apa yang kau harapkan Steve? Aku tidak akan kembali padamu.
Ini hanya karena perusahaanku membutuhkanmu. Ya! Perusahaan miskin ku ini
membutuhkanmu. Sekarang aku ingin kembali ke kantor.”
“Aku tidak akan kemanapun sebelum
kau mengatakan ya. Begitu juga denganmu.” Steve menghalangi pintu seraya
melipat kedua tangannya di depan dada.
Seketika itu juga ponsel Alexa
berbunyi. Jenny. “Kau lihat? Jenny sudah memanggil. Sekarang cepat menyingkir
dari situ atau…”
“Atau apa?” Steve mengangkat
dagunya. “Kau tidak bisa berbuat macam-macam.” Steve merasa dirinya menang .
Alexa menatap Steve penuh kebencian.
Otaknya berpikir keras agar ia bisa keluar dari tempat ini, ya setidaknya.
Alexa menghela nafas. Kepalanya
tertunduk lalu kembali terangkat dengan mata yang membara. Steve melihatnya
dengan kening berkerut. ‘Apa yang ingin dilakukannya?’.
Alexa perlahan berjalan mendekati
Steve, tak sadar Steve memundurkan
punggungnya hingga punggungnya berdempet dengan pintu.
“Baiklah kalau itu yang kau mau.”
Perlahan Alexa membuka kancing kemeja bagian atasnya kemudian kancing
selanjutnya dan selanjutnya
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Steve
terkejut.
“Kau bilang ingin menginap bukan?
Lets we make love.”
Kancing kemeja Alexa sudah terlepas
semua, namun kemeja itu masih menempel di tubuhnya. Perlahan, Alexa menghampiri
Steve.
“Kau ingin melepaskannya?” Tanya
Alexa sangat menggoda.
“Alexa… kau…” Steve masih
memandanginya dengan bingung. Semenit yang lalu wanita yang berada di depannya
ini masih menolak dan memberontak, mengapa sekarang jadi seperti wanita
penggoda?
“Alexa… kau baik-baik saja?” tanya
Steve khawatir.
“Aku baik-baik saja. Kemarilah.”
Alexa menangkup wajah Steve dengan kedua tangannya. Membuat mata biru Steve
menatap mata gelapnya. Tak berapa lama kemudian, Alexa melumat bibir Steve
dengan perlahan. Perlahan namun dalam. Seakan kedua bibir itu memang
ditakdirkan untuk bersama.
Steve masih tidak mengerti apa yang
terjadi. Ia hanya diam tanpa membalas ciuman Alexa.
“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya
Alexa bingung karena Steve tidak membalas ciumannya.
“Bukan, aku hanya… tidak mengerti.”
Alexa tersenyum lembut. “Lupakan
saja semuanya. Sebentar. Kau merindukan aku.” Alexa mengecup bibir Steve
singkat. “Dan aku merindukanmu.”
“Kau…”
“Bercintalah denganku, Steve. Aku
mohon.”
Sesaat Steve masih memandanginya
tidak percaya. Namun detik kemudian. Steve mulai mencium bibir Alexa, lengannya
menarik pinggang Alexa untuk mendekat.
Ciumannya sekarang berpindah pada
leher Alexa yang jenjang. Aroma parfum Alexa mampu membangkitkan Steve
juniornya. Ya tuhan! Ia merindukan aroma ini.
“Aku merindukanmu, Alexa.” Ucap
Steve di sela-sela ciumannya.
Alexa memejamkan matanya. Mencoba
meresapi kecupan-kecupan hangat yang di berikan Steve kepada lehernya. Oh
tuhan, semoga apa yang ia lakukan ini tidak salah. Semoga….
No comments:
Post a Comment