Dika,
gimana kabar kamu?
Dika
jawab sms aku kalau kamu ada waktu.
Dika.
Kamu kemana? Aku tanya orang kantor nggak ada yang tahu kamu kemana. Kamu nggak
apa-apa kan?
Dika
tolong! Jawab sms aku.
Itu adalah sedikit dari puluhan sms yang
dikirimkan oleh Krista kepadaku. Aku mengernyit. Setelah aku pingsan bersimbah
darah di depan komplek apartementnya, dia masih bertanya bagaimana keadaanku?
Aku mendesah. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana wanita ini.
Aku kembali memainkan jari-jariku diatas
ponsel. Mencari pesan atau panggilan tak terjawab dari Chris. Namun ternyata
itu sia-sia. Aku harus menaruh kembali ponselku dengan perasaan sedih.
Bagaimana tidak. Kini aku telah kehilangan sahabatku. Kehilangan sahabat karena
hal yang konyol. Wanita. Persahabatan yang kami bangun semenjak kami kuliah
dulu harus runtuh hanya karena makhluk wanita bernama Krista.
****
Sore harinya Amel datang menjengukku
setelah pulang dari kantor. Di tangannya ada sebungkus bubur ayam yang kupesan
sebelum ia kesini.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya sembari
membuka bungkusan plastic
“Sudah sedikit mendingan. Sudah tidak
pusing lagi.”
Amel memberikan bubur ayam yang masih
hangat itu kepadaku. Aku menatapnya dengan kelaparan. Makanan di rumah sakit yang
terasa hambar di mulutku membuatku ingin memuntahkannya kembali.
“Tadi Krista menanyakan kabarmu.” Ujar
Amel seraya melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di punggung kursi
Seketika itu juga aku langsung terdiam.
Entah mengapa mendengar namanya saja membuat otakku mati dalam sekejap.
“Akhir-akhir ini dia selalu terlihat
murung. Gossipnya dia sudah putus dengan Chris.”
Deg… putus?
“Putus? Kenapa?” jangan bilang karena
kejadian waktu itu?
Amel mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.
Ada yang bilang karena Krista berselingkuh, Ada yang bilang Chris yang
berselingkuh, Ada yang bilang juga karena mereka tidak cocok dari awal.”
Aku menatap makananku dengan kosong.
Entah mengapa selera makanku langsung hilang.
“Aku mau keluar dari rumah sakit.”
Ucapku datar membuat Amel mengerutkan dahinya.
“Tapi kamu masih belum sehat. Kamu masih
rapuh, Dika.”
Aku menggeleng. “Aku sudah menghilang
terlalu lama. Bos bisa memecatku kalau aku tidak masuk tanpa memberi kabar.”
Aku tersenyum. “Lagi pula aku sudah tidak apa-apa.”
Amel sempat menatapku lama. Seperti
mencari sesuatu. Lalu ia menghela nafas. “Baiklah, kalau memang itu yang kamu
inginkan. Besok kamu pulang. Akan ku bantu mengurus administrasinya.”
“Terima kasih, Mel.”
****
Amel membantuku keluar dari rumah sakit.
Dengan masih terbalut perban di sekujur tubuhku. Keputusanku keluar dari rumah
sakit memang tergolong nekat, sampai dokter pun tadinya tidak mengizinkan aku
untuk keluar dari rumah sakit. Rusukku masih rapuh, begitu katanya. Memang
benar. Aku masih suka sakit ketika harus menggerakkan badanku, namun kutahan.
Mama menanyakan keadaanku dengan
lenganku penuh perban. Aku hanya tersenyum dan mengatakan kalau ada sedikit
kecelakaan ketika bekerja dan untungnya mama percaya.
“Aku tinggal ya, Dik. Istirahat. Jangan
banyak gerak. Inget kata dokter.” Ujar Amel mengingatkan. Aku hanya mengangguk.
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih berulang kali kepadanya.
“Besok aku masuk kerja, Mel.”
Amel langsung mengernyitkan dahinya.
“Kamu gila? Kamu masih sakit begini mau kerja? Kamu baru keluar dari rumah
sakit, Dika.”
Aku meringis. “Aku sudah terlalu lama
meninggalkan kerjaan di kantor. Nanti si bos marah-marah lagi.”
Amel mendengus. “Terserah kamu sajalah.
Aku pusing.” Amel lalu mengambil tasnya
dan pamit pergi.
Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur.
Memandangi atap-atap kamarku yang berwarna putih. Entah mengapa hidupku berubah
menjadi rumit dalam sekejap. Aku kehilangan sahabatku, sahabatku mengira aku
selingkuh dengan kekasihnya, tubuhku hancur. Entah kesialan apa lagi yang harus
aku dapatkan.
Aku memejamkan mataku. Mencoba kembali
tidur. Sepertinya obat dari dokter sudah bereaksi. Ketika aku hampir larut
dalam mimpi, ponselku berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Kulihat siapa
yang menelpon. Krista. Aku langsung menekan tombol reject dan kembali
memejamkan mata. Namun sepertinya Krista tak mau menyerah, ia kembali menelpon,
dan kembali lagi aku mereject panggilan itu, namun kali ini aku langsung
mematikan ponselku agar tidak terganggu lagi lalu kembali tidur.
***
Hari ini adalah hari pertama aku masuk
kerja setelah keluar dari rumah sakit. Masih sakit rusukku ketika aku memakai
kemeja dan memasukkannya ke dalam celana. Lenganku juga masih belum bisa di
gerakkan dengan bebas, masih terasa nyeri. Namun luka di wajahku sudah sembuh
dan tidak berbekas, itu patut di syukuri.
Aku pamit dengan mama sebelum berangkat
ke kantor. Mengecup kedua pipinya dengan sayang lalu berangkat ke kantor dengan
mobil kesayanganku. Sesampainya di kantor. Teman-teman kantor langsung menanyai
keadaanku.
“Dika, kamu kemana saja? Kata Amel kamu
jatuh dari tangga, kamu baik-baik saja kan?” tanya Lisa salah satu teman satu
divisiku.
Aku mengangguk. “Baik. Sudah sedikit
mendingan, buktinya sudha bisa masuk kantor.”
“Hei, Dika.” Egi datang menyapaku dan langsung
mendorong bahuku. Aku meringis kesakitan. “Ups, sory. Sesakit itukah?”
Aku masih meringis. “Ya, sesakit itu.”
“Mengapa kamu nggak bilang ke kita kalau
kamu masuk rumah sakit. Kami kan bisa menjengukmu.” Protes Lisa sambil
cemberut.
“Maaf. Hanya tidak ingin merepotkan
kalian.”
“Oke terserah kamu sajalah. Selamat
kembali lagi, kawan.” Ujar Egi sebelum kembali ke meja kerjanya, diikuti oleh
Lisa.
Aku sedang menyalakan komputerku ketika
kudengar suara hak sepatu mendekat ke meja kerjaku.
“Dika?” Suara Krista yang terkejut namun
senang terdengar oleh telinga ku. Aku mendongakan wajahku. Krista menatapku
dengan senyumnya. “Kamu sudah kembali?”
“Iya.” Jawabku ketus. Aku mulai
memfokuskan diri pada pekerjaan.
“Aku khawatir sekali sama kamu. Kamu
baik-baik saja?”
Aku menatapnya dengan kesal. “Kamu tanya
baik-baik saja? Aku tidak sadarkan diri selama 3 hari. Rusukku retak, tulang
bahuku juga retak dan kau bilang baik-baik saja?” desisku kesal. Aku tidak
ingin yang lain mendengar ucapanku.
Krista tampak shock dengan ucapanku. Ia
membeku di tempat.
“Aku… aku… minta maaf.”
“Andaikan saja permintaan maafmu mampu
menyembuhkan semua luka di tubuhku, maka dengan senang hati kuterima.”
Krista tampak terkejut. “Aku sungguh
menyesal, Dika. Bukan hanya dirimu yang terluka disini. Aku juga terluka.”
Teriak Krista penuh amarah, membuat semua mata di ruangan itu berpaling dan
menatap kami.
“Aku juga terluka.” Ujar Krista dengan
suara parau, lalu ia meninggalkan ruangan itu dengan isak tangis yang berusaha
ia tahan.
Aku yang berada di ruangan itu hanya
mampu terdiam. Semua mata itu masih memandangiku. Aku dibuat salah tingkah.
“Sepertinya Krista lagi PMS. Mungkin aku
harus melihatnya.” Aku segera bangit dari kursiku, lalu setengah berlari
mengerjar Krista.
****
Aku berlari mengejar Krista. Wanita ini
mengapa selalu membuatku frustasi?
“Krista! Tunggu.”
Krista tetap berlari. Dia tidak
bergeming ketika mendengar suaraku. Aku berhenti berlari, tubuhku belum pulih
benar. Rasa sakit dan nyeri menyebar di seluruh tubuhku, membuatku membeku di
tempat dan meringis kesakitan. Kulihat ruangan di sekitarku. Kosong. Tidak ada
satu orang pun. Ku senderkan tubuhku pada tembok terdekat. Ku meringkuk seperti
orang kesakitan disana.
“Dika…” Dapat kudengar suara Krista yang
khawatir akan diriku. Aku membuka mata. Krista sedang berlutut di hadapanku. Ia
mengamatiku dengan pandangan khawatir.
“Kamu… ngapain disini?” aku kembali
meringis kesakitan. Rusukku berdenyut kencang.
“Kamu sakit. Aku panggil orang lain ya?”
Krista hendak berdiri. Namun kuhentikan dengan tanganku.
“Tidak usah.” Aku tidak mau di kasihani
orang lain. Aku masih bisa mengatasi rasa sakit ini, tidak perlu bantuan orang
lain. “Kamu… pergilah.”
Krista menggeleng. “Kamu begini karena
mengejar aku kan?”
Aku mendengus. “Kamu membuat teman-teman
di ruangan gempar. Mereka menatapku dengan tatapan aneh. Semua karena kamu.”
“Dimana yang sakit?”
Aku menunjuk tulang rusukku.
Sial! Kemeja kerjaku sudah penuh
keringat seperti ini.
“Aku harus panggil orang lain. Kamu
berkeringat seperti ini. Tunggu sebentar.” Krista langsung berlari meninggalkan
aku. Aku hendak menghentikannya namun terlambat, dia sudah jauh.
Tak berapa lama kemudian Krista kembali
bersama dua orang satpam. Dengan gelisah ia menyuruh satpam tersebut untuk
membawaku masuk kedalam taksi. Kedua satpam itu membantuku berdiri, mereka
menyampirkan kedua lenganku di salah satu bahu mereka lalu membawaku dengan
perlahan.
“Kita ke rumah sakit pak.” Seru Krista
saat kami sudah masuk kedalam taksi.
“Jangan… ke rumah sakit.” Desisku parau.
Aku tidak ingin pergi ke rumah sakit. Tidak lagi.
“Tapi kamu butuh perawatan, Dika.”
Aku tak sanggup lagi berbicara. Rasa
sakit ini begitu membuatku menderita. Aku pasrah ketika Krista membawaku ke
rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana kemarin aku di rawat.
Sesampainya disana aku langsung mendapat
perawatan. Aku mengerang kesakitan menahan rasa sakit itu. Wajahku sudah penuh
keringat yang bercucuran. Aku tidak sanggup lagi. Lalu semua menjadi gelap.
Ketika aku bangun rasa sakit itu sudah
menghilang. Aku tidak merasakannya lagi. Dokter masuk ke dalam ruanganku.
Dokter yang sama ketika aku kemarin masuk. Dokter tersebut menatapku lama. Dia
tidak perlu mengatakan apapun, karena aku sudah mengerti.
“Bukankah sudah ku bilang? Kamu belum
siap untuk pulang.” Ujar dokter itu lalu mendekati ranjangku. “Bagaimana
keadanmu?”
“Sudah lebih baik. Rusukku tidak sakit
lagi.”
“Itu karena aku memberimu obat
penghilang rasa sakit. Kalau efek dari obat itu hilang, rasa sakit itu akan
datang lagi. Mau tak mau malam ini kamu harus tinggal di rumah sakit.”
Aku menghela nafas. Mau bagaimana lagi?
“Ngomong-ngomong, pacarmu dari tadi
menunggu di luar akan kusuruh dia menemuimu.” Dokter itu lalu pergi
meninggalkan kamar. Aku mengernyit bingung. Pacarku? Pacar yang mana?
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Menampilkan
sosok Krista masuk dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Dika, kamu sudah baikkan?” tanyanya
hati-hati.
Aku memalingkan wajah. Tidak ingin
bertemu pandang denganna. Ini semua karena dia. Entah mengapa aku selalu menemui
kesialan ketika aku berdekatan dengannya.
“Aku minta maaf. Semua salahku. Padahal
kamu baru keluar dari rumah sakit. Tapi gara-gara aku… penyakit kamu kambuh
lagi.”
Aku mendengus. Apakah ia baru
menyadarinya?
“Lebih baik kamu pulang. Ini sudah
malam. Malam ini aku harus menginap di rumah sakit, terima kasih karena sudah
mau mengantarku ke rumah sakit.”
“Tapi aku ingin menemanimu disini.”
“Pulanglah Krista!” seruku marah. Krista
nampak terkejut karena aku sudah menggertaknya. Ia sempat membeku di tempat.
Menggigit bibir bawahnya dan memainkan jari-jarinya yang bertaut.
“Baiklah kalau begitu. Aku pulang. Kalau
kau butuh…”
“Aku tidak butuh. Terima kasih.”
Potongku kasar. Aku ingin ia cepat-cepat pergi dari hadapanku.
Ia lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan
kamar. Aku langsung memijit pelipisku yang tiba-tiba merasa pusing. Aku baru
ingat kalau dari tadi aku belum makan.
Suster datang ke kamarku membawa nampan
berisi makanan. Untuk orang sakit, aku makan cukup banyak.
No comments:
Post a Comment