Pagi
ini mendung. Awan hitam menyelimuti sekitar rumah kami, disertai dengan
rintik-rintik hujan. Tapi itu semua tidak menghentikan keinginan mama untuk
pergi ke makam Yuda. Aku, mama dan suster pergi menggunakan mobilku ke
pemakaman. Jujur saja aku sudah lama tidak pergi ke makam Yuda. Karena
pekerjaanku yang menumpuk aku sedikit lupa kepada Yuda.
Sesampainya
disana ku siapkan payung untuk mama. Mama yang sering kemari sudah hafal betul
dimana letak makam Yuda, aku hanya mengikutinya dari belakang. Mama menolak
ketika ku minta menggunakan kursi roda, dia langsung berjalan saat kursi roda
ku turunkan dari bagasi mobil.
Kami
berhenti di makam bertuliskan Yuda Kameswara. Mama langsung berlutut dan
menaruh sebucket bunga mawar merah yang sebelumnya sudah kami beli di atas
pusaranya. Mama mulai menangis, tubuh mama mulai bergetar. Aku memeluk bahunya
mencoba untuk menenangkannya.
“Seharusnya...
seharunya kita sedang makan-makan di rumah. Seharusnya... seharusnya Yuda masih
ada sama kita.” Ucap mama terisak
“Udah
ma... udah... Yuda udah tenang disana. Kita harus merelakannya. Jangan buat
Yuda sedih disana.” Aku berusaha untuk menenangkan mama.
“Sekarang
Yuda sudah berumur 27 tahun. Kalau Yuda masih hidup mungkin sekarang dia sudah
menikah. Menjadi ayah dan suami. Memberikan mama seorang cucu.”
“Ma...
masih ada aku, ma. Aku masih bisa ngasih mama cucu.”
Mama
seperti tidak menggubris omonganku. Mama masih menangis meraung-raung. Aku
berusaha membawanya pergi dari situ tapi ia tak mau. Aku membujuknya dengan
beribu cara sampai akhirnya mama mau meninggalkan tempat itu.
Suster
menenangkan mama yang masih menangis di kursi belakang dan aku berusaha untuk
konsentrasi saat mengemudi. Mengeluarkan semua pikiran-pikiran yang masuk dan
menggantinya dengan pandangan lurus ke jalan.
***
Suster
langsung membawa mama masuk ke kamar ketika kami sampai. Sedangkan aku...
setelah memarkirkan mobil di garasi, aku merokok di atas. Di balkon kamarku.
Asap
mengepul ketika ku hembuskan. Perlahan menyatu dengan hawa dingin yang
ditimbulkan oleh rintik-rintik hujan. Ku matikan putung rokok itu saat sudah mengecil.
Ku senderkan badanku pada tiang-tiang balkon. Aku lelah. Aku sudah tidak
sanggup lagi. Aku capai.
Aku
menyusupkan wajahku di antara kedua kakiku yang di tekuk. Aku menangis. Ini
adalah pertama kalinya aku menangis. Terakhir kali aku menangis ketika
menghadiri pemakaman Yuda. Air mata jatuh dan membasahi bajuku. Ijinkan aku
menangis dan membasahi pipiku ini dengan air mataku. Ijinkan aku untuk
mengeluarkan semua emosiku. Ijinkan aku...
***
Aku
sedang memakai dasiku ketika aku melihat sebucet bunga mawar merah tergeletak
di atas meja makan.
"Itu punya kamu, Dika?" tanya
mama membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng. "Bukan ma. Aku kira
ini punya mama."
Mama menggeleng. "Dari tadi pagi
ada disini. Lagian mama nggak suka mawar. Banyak durinya."
Seketika itu juga Yuda datang dengan
membawa dasinya yang belum terpasang dan tas kerjanya dengan terburu-buru. Dia
menghampiri meja makan lalu duduk tanpa memperhatikan kami yang berada di
sekitarnya. Dengan tergesa-gesa di baliknya piring yang berada di hadapannya
lalu di isinya dengan nasi goreng dan memakannya dengan lahap. Aku dan mama
hanya terpaku melihat kejadian itu.
"Ini bunga, punya kamu?"
tanyaku ketika aku menarik kursi di sampingnya lalu duduk.
Yuda menghentikan kunyahannya lalu
melihat bunga yang berada di tanganku. Ia langsung tersedak dan tangannya
mencari-cari air putih.
"Udah dateng rupanya." Ucapnya
seraya meletakkan gelas. "Aku kemarin pesen ke tukang bunga, di suruh di
anter ke rumah." Yuda mengulurkan tangannya meminta bunga itu.
"Buat apa kamu mesen bunga segala,
Yud?" tanya mama seraya membalikkan piringnya.
Yuda tersipu malu. "Aku mau nembak
Krista malam ini."
Kini giliran aku yang tersedak
makananku. Aku meneguk air putih yang berada di hadapanku dengan terburu-buru.
"Apa?"
"Iya. Aku udah booking restoran
buat aku nembak dia. Kemarin aku ngajak dia nonton, hari ini mau ngajak dia
makan"
Aku tersenyum lebar. "Gitu dong.
Gentle man. Itu baru namanya adikku." Ucapku bangga seraya menepuk
bahunya.
***
Suara
petir membangunkanku dari tidur. Lagi-lagi aku bermimpi. Aku bermimpi tentang
kejadian sebelum kecelakaan itu terjadi. Ketika aku masih bisa berbicara dan
menatap langsung wajah Yuda, sebelum dia pergi untuk selama-lamanya. Mimpi itu
terlihat nyata. Wajahnya, suaranya, dan baju yang ia pakai waktu itu sangat
jelas. Seakan-akan Yuda sedang mencoba berkomunikasi denganku. Tapi itu tidak
mungkin, aku hanya berhalusinasi.
Pagi
itu aku berangkat kerja lebih pagi dari biasanya. Hari pertama masuk kerja
setelah dirawat di rumah sakit. Seperti biasa ku lihat mama sebelum berangkat.
Mama sedang sarapan pagi ditemani suster. Setelah ku kecup pipinya, aku pamit
untuk berangkat.