Alexa bangun dengan kepala pusing
setengah mati. Tadi malam ia minum banyak sekali. Ini semua gara-gara Steve. Ia
sudah bersumpah untuk tidak minum lagi, tapi sekarang ia merasa kesakitan
karena sudah minum 5 gelas vodka. Sial!
Dengan langkah gontai, Alexa
berjalan ke kamar mandi. Untung saja hari ini hari Sabtu. Langkahnya terhenti
ketika melihat sesosok tubuh sedang tertidur di sofa. Dengan perasaan takut,
Alexa menghampiri tubuh tersebut. Astaga! Davin! Apa yang di lakukan laki-laki
ini disini? Di apartementku?
Alexa mencoba mengingat-ingat kejadian
tadi malam. Tapi semakin ia berusaha, ingatan tentang Steve menelponlah yang
muncul. Lebih baik aku tidak mengingat apapun. Laki-laki ini tertidur dengan
posisi duduk, tangannya di lipat di atas dada, dan kepalanya ia senderkan di
lengan sofa.
Tiba-tiba saja tubuh yang sejak dari
tadi ia lihat itu menggeliat mungkin menyadari bahwa dari tadi ada yang
memandanginya. Perlahan mata Davin terbuka, pertama kali yang dlihatnya adalah
wajah Alexa.
"Pagi." Ucapnya dengan
santai seperti tidak ada hal yang aneh.
Alexa masih menatapnya tajam.
"Bisakah kau ceritakan padaku bagaimana kau bisa tidur disini? Di
sofaku?"
Davin menguap. "Kau tidak
ingat? Kau mabuk. Aku membawamu kesini, tadinya aku ingin meninggalkanmu di
bawah tapi aku khawatir. Lalu aku membawamu ke atas, kesini. Kau membuka
apartementmu. Masuk ke kamarmu, meninggalkan aku sendirian seperti orang
bodoh." Ucap Davin panjang lebar.
"Mengapa tak kau tinggalkan aku
sendiri disini, ketika aku sudah masuk ke kamarku. Atau kau...." Ucapan
Alexa menggantung, dan tatapannya menyelidik.
"Wow wow tunggu dulu."
Davin menarik nafas. "Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan tapi tadi malam
kau mengigau. Kau menyebut nama Steve dan Leave me alone, berulang kali. Aku
jadi tambah khawatir dengan sikapmu itu. Jadi aku memutuskan untuk
menginap." Ucapnya lalu beranjak dari kursi.
"Kamar mandi dimana? Aku ingin
mandi, badanku lengket semua."
Alexa menunjuk ke pintu yang berada
di ujung ruangan. Davin mengangguk.
"Kau punya baju ganti? Dan
sikat gigi?" Ucap Davin nyengir, membuat Alexa menjadi tambah sebal.
"Akan ku cari bajuku yang
kebesaran. Sikat gigi dan handuk ada di laci kamar mandi." Ucapnya lalu
kembali ke kamar mandi, mencari baju untuk Davin
Selagi Davin mandi, baju sudah
disiapkan di atas sofa. Alexa kini duduk di pinggi ranjang. Merenung. Tadi
malam ia mengigau? Mungkin dia kelelahan. Tapi kenapa harus nama Steve yang
keluar? Argh!!! Sial!
Terdengar suara pintu kamar mandi
terbuka, membuyarkan lamunan Alexa. Alexa keluar dari kamar dan melihat Davin
yang hanya terbalut handuk yang menutupi dari pinggang ke bawah. Rambutnya yang
hitam terlihat basah. Ya tuhan... ia telanjang dada dan… begitu sexy. Davin
memandangi pakaian yang di siapkan Alexa barusan.
"Kenapa?"
Tanya Alexa
"Kau serius nih?" Davin
menaikkan alisnya. "Hanya kaus U2 dan celana pendek?" tanyanya tak
percaya.
"Hanya itu yang ada di
lemariku. Yang lainnya pasti tidak akan muat di tubuhmu."
Davin menghela nafas berat, lalu
mengangkat bahunya. "Mau gimana lagi?" gumamnya
Alexa mengerutkan bibirnya. Apa
maksudnya mau gimana lagi? Siapa juga yang mengajak pria ini tidur di rumahnya?
Menyebalkan sekali.
"Apa yang kau lakukan?"
Seru Alexa ketika melihat Davin memegang ujung handuk yang melilitnya.
"Ganti baju." Ucap Davin
polos.
"Di kamarku sana! Jangan
disini!" Ujar Alexa seraya mempercepat langkahnya ke kamar mandi. Oh
tuhan... Kenapa kau pertemukan aku dengan pria aneh ini?
*****
Kemarin Steve hanya iseng saja
menelpon ke ponsel Alexa. Gadis itu pasti sudah mengganti nomor ponselnya,
batin Steve. Hampir saja pada dering ke tiga ia hendak memutus sambungan, tapi
tiba-tiba ada yang menjawab telponnya.
"Alexa?" Dengan spontan
Steve menyebut nama itu.
Hening. Tak ada jawaban apapun dari
sana. Steve memastikan kembali kalau telponnya masih tersambung.
"Halo? Alexa?" tetap tidak
ada jawaban.
Steve hampir menyerah dan hendak
menutup telpon itu. Mungkin ia salah orang, pikirnya. Tapi tiba-tiba terdengar
suara seorang pria. Steve bersumpah ia mendengar pria itu memanggil nama Alexa.
"Itu siapa? Itu siapa? Itu
suara siapa? Itu suara laki-laki kan? Alexa!" Steve tidak tahu mengapa
dirinya tiba-tiba marah. Memikirkan Alexa bersama pria lain? Rasanya tidak
sanggup bagi Steve.
"Alexa Ardy!!! Tolong berbicara
denganku!!!"
"What do you want?!"
Teriak Alexa tiba-tiba. Steve langsung terdiam ketika mendengar suara gadis
itu. Ini benar-benar Alexa. Dan dia terdengar marah.
"What do you want, Steve? Can
you just leave me alone?" Nada suara Alexa terdengar menurun. "Its
over, Steve. Over. Please let me try to recovered my life again. Let me
go."
Steve berusaha mencari kata-kata
yang tepat. "I miss you, Alexa."
"Dont
say it anymore! Never ever again." Suara Alexa kini terdengar kalut
"Tolong bilang padaku kalau kau
juga merindukan aku. Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku
mohon." Aku mohon, Alexa. Aku mohon.
Biarkan aku tahu kau masih ingat padaku.
Tiba-tiba sambungan terputus. Steve
menatap ponselnya dengan alis berkerut. Apa
yang terjadi? Apakah... Apakah Alexa yang mematikan telponnya?. Steve
menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Gadis itu benar-benar ingin
melupakannya. Bagaimana? Bagaimana bisa? Semudah itukah ia bisa melupakan
semuanya? Apakah waktu 5 tahun cukup membuatnya benar-benar pergi dari Steve? Aku benar- benar harus bertemu dengannya.
Harus.
*****
Alexa mencium bau masakan ketika
keluar dari kamar mandi. Masih dengan handuk di kepalanya, Alexa menghampiri
bau sedap yang berasal dari dapurnya itu.
"Hai!" Seru Davin ketika
melihat sosok Alexa di depan pintu dapur.
"Kau
bisa memasak?" Tanya Alexa tanpa mengubris sapaan hangat Davin
"Kau tidak percaya ya?"
Ucap Davin nyengir. " Aku pernah tinggal di Inggris sendirian ketika aku
belajar modeling disana, yang mau tak mau aku harus bisa masak sendiri."
Lanjutnya seraya membalikkan telur yang berada di wajan.
Alexa hanya mengangguk kecil.
"Aku juga pernah tinggal di Inggris. Liverpool tepatnya."
Davin langsung menatapnya, tidak
percaya. "Really? Tak heran kemarin bahasa Inggrismu bagus dan terdengar
sedikit aksennya."
"Ngomong-ngomong kau masak
apa?" Tanya Alexa seraya melongok ke wajan.
"Omelet. Itu makanan yang cocok
untuk sarapan. Omelet isi sossis." Davin menengok ke sana ke mari.
"Bisa tolong ambilkan piring?"
Alexa langsung menyambar lemari yang
berada di atas kepala Davin, lalu mengambil dua buah piring dan menyerahkannya
pada Davin.
"Terima kasih." Ucap Davin
ramah. Alexa tak menyangka senyum laki-laki ini begitu manis.
"Oh ya. Bajumu... Ehm...
Bagaimana kabarnya?" tanya Alexa ragu-ragu. Tadinya ia tidak mau
memikirkan tentang soal kemarin tapi entah kenapa kejadian kemarin teringat
kembali.
"Aku yakin pasti sudah kering.
Cuma air putih ini. Tidak perlu di permasalahkan." Davin meletakkan omelet
di piring pertama.
Alexa hanya menunduk lalu mengangguk
kecil.
"Kau mengenal Jenny?"
tanya Davin seraya meletakkan wajan di tempat cucian. Alexa melihat ke kedua
piring tersebut, dan dua-duanya sudah terisi telur.
"Dia temanku. Kami bekerja di
perusahaan yang sama, dan bidang yang sama pula." Alexa memberikan sendok
dan garpu pada Davin.
"Kau bekerja di perusahaan
Adidas? Sebagai humas?" tanya Davin sedikit tidak percaya. "Kau bukan
tipe wanita yang banyak bicara, kecuali bila sedang mabuk."
Pipi Alexa memerah. "Aku
sedikit berhati-hati bila bertemu orang asing."
Davin mengangguk mengerti. "Aku
bisa melihat itu." Dia menarik salah satu kursi di meja makan. "Ayo
kita makan."
!@#$%^&*()
"Haruskah kau ke Indonesia?
Untuk apa?" Tanya Ann ketika mereka hendak tidur.
"Aku di tawari iklan oleh
perusahaan Adidas di Indonesia. Konsepnya bagus. Lagi pula mereka membayarku
cukup tinggi. Tidak ada salahnya bukan?" Ucap Steve seraya membetulkan
letak bantalnya sebelum berbaring.
"Kapan?" Ann memandang
suaminya yang sedang menatap langit-langit rumah.
"Senin ada pertemuan dengan
pihak Adidas di Indonesia lalu setelah itu akan langsung di mulai pemotretan,
pembuatan iklan dan segala macamnya. Jadi senin aku harus ke sana."
Ann duduk di pinggir ranjang dengan
diam. Steve membalikkan badannya dan melihat Ann. "Ada apa?" tanya
Steve melihat raut wajah Ann yang murung.
Ann menggeleng. "Tidak apa-apa.
Ayo tidur."