Pagi ini aku bangun
terlambat. Sialnya, hari ini aku ada ujian. Ujian dan aku terlambat. Kombinasi
yang sangat bagus.
Aku langsung bangkit
dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Mandi dan menggosok gigi secepat
yang aku bisa. Tidak ada waktu lagi untuk sarapan. Dengan secepat kilat aku
berlari menuruni apartement menuju ke kampus. Inilah akibat dari hidup sendiri.
Semua harus kau atur sendiri. Sebenarnya mom tidak memaksaku untuk tinggal
sendiri di apartement, itu semua aku yang meminta, karena aku merasa sudah
saatnya aku memulai hidupku sendiri, tidak ingin lagi merepotkan mom.
Aku berlari mengejar
bis ketika tubuhku menabrak bahu seseorang, mengakibatkan kami terjatuh dan tas
beserta isinya jatuh berhamburan. Aku mengumpulkan barang-barangku secepat
mungkin, begitu juga orang dihadapanku, kami tidak sempat memaki ataupun saling
memarahi. Orang di depanku sudah membereskan barang-barangnya lebih cepat
dariku, lalu berjalan meninggalkanku yang masih sibuk di bawah. Ketika aku
menyampirkan tasku di bahu, ada sebuah dompet yang asing di mataku. Ini bukan
dompetku. Apakah ini dompet milik orang itu? Aku mengambilnya dan berlari
mengejar orang itu. Aku masih ingat ciri-ciri orang itu. Orang itu mengenakan
mantel berwarna coklat dan menenteng tas berwarna hitam. Aku harus mencari
orang itu di antara kerumunan orang.
“Sir!” teriakku ketika
aku menemukan orang itu. Aku menahan lengannya agar berhenti berjalan. Orang
itu memutar tubuhnya dan menghadap kepadaku. Matanya mengernyit dan ia
mengamatiku dengan sedemikian rupa. “Dompetmu sir?” tanyaku masih
terengah-engah.
Orang itu langsung meraba-raba
saku mantelnya. Ia lalu menatapku dengan matanya yang disipitkan.
“Kau mencurinya ya?”
Aku tergelak. Apa? Apa
yang barusan laki-laki ini katakan? Aku mencuri?
“Dompetmu terjatuh sir,
ketika tadi kita tidak sengaja bertabrakan.” Ujarku mencoba menjelaskan.
“Tidak. Kau mencurinya.
Bukankah itu modusmu nona muda? Pura-pura bertabrakan denganku lalu mengambil
dompetku?” ucap laki-laki itu dengan sinis. Oohhh… aku mulai muak dengan
ucapannya.
“Dengarkan baik-baik Sir. Pertama, aku tidak mencuri dompetmu. Kedua, tidak mungkin seorang yang
mencuri dompet akan datang dan mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya, dan
Ketiga, aku masih terhormat untuk mencuri sebuah dompet yang tidak berharga
seperti ini.” Aku langsung melemparkan
dompet itu kepadanya dan berjalan pergi.
Aku cukup menyesal
karena mau menghabiskan waktuku untuk mengembalikan dompet laki-laki itu.
Seharusnya aku biarkan saja terjatuh tadi. Aku melirik jam tanganku. Argh! Aku
sudah benar-benar terlambat sekarang.
####
Aku memandangi dompetku
di dalam ruanganku. Aku baru sampai di kantor pukul 8, tidak biasanya aku
datang terlambat. Itu semua gara-gara tadi malam aku terlalu lelah bersama
wanita itu sehingga aku bangun terlambat.
Gadis itu. Aku masih
mengingat wajahnya yang merah padam menahan marah ketika aku menyebutnya
sebagai seorang pencuri. Mata coklatnya yang indah begitu menghipnotisku,
membuatku tidak bisa berkata apa-apa dan hanya mampu menatap matanya.
Seakan-akan matanya begitu mmenenggelamkanku.
Sebenarnya aku tidak
ada niat untuk menyebutnya sebagai seorang pencuri. Tapi karena tadi aku
terburu-buru ke kantor dan mobilku rusak –yang membuatku harus memanggil taksi-
membuatku tidak mampu berpikir dengan baik. Dan gadis itu, walau aku tahu ia
berniat baik, tapi entah mengapa aku merasa ada modus di balik itu. Dan
sepertinya kata-kataku tadi telah melukai harga dirinya.
“Sorry, Sir?”
Angela, sekretarisku
masuk ke dalam ruanganku setelah mengetuk pintu tiga kali. Aku mendongakan
wajahku.
“Sebentar lagi anda ada
rapat dengan Mr. Kitagawa. Anda harus bersiap, Sir.”
“Aku akan turun
sebentar lagi. Tolong persiapkan semuanya.” Kataku lalu mengambil mantelku yang
aku sampirkan di punggung kursi. Tak lupa ku masukkan dompetku ke dalam saku
jasku.
###
Aku tidak boleh ikut
ujian. Entah aku harus marah atau menangis. Semuanya bercampur menjadi satu.
Kalau bukan karena laki-laki itu aku mungkin masih mungkin mengejar bis dan
masuk kuliah tepat waktu atau mungkin aku yang terlalu bodoh karena mau
mengembalikan dompet laki-laki itu. Aku menghembuskan nafas kesal, tidak tahu
yang mana yang benar.
“Hai, kau kemana saja
tadi? Aku tidak melihatmu saat ujian.” Tanya Paula, ketika menemukan diriku
duduk di kantin sendirian.
“Aku terlambat dan
tidak boleh masuk.” Ucapku datar.
“Kau? Terlambat? Bagaimana
bisa?” tanyanya tidak percaya.
“Tentu saja bisa. Aku
belajar terlalu malam dan bangun terlambat.” Aku mendengus kesal.
Paula hanya mengangkat
bahu dan berusaha mengubah topic pembicaraan. Ia tahu hari ini aku sedang tidak
mood.
“Hari ini kau bekerja?”
tanyanya kemudian
Aku mengangguk.
“Memangnya ada apa?”
“Hari ini Leo mengajak
kita ke pub milik pamannya yang baru buka itu. Sepertinya menyenangkan, dan aku
rasa kau butuh sedikit penyegaran.”
Aku berpikir sejenak.
“Aku rasa itu ide yang bagus. Jam berapa?”
“Jam 9 malam. Jangan
terlambat.”
###
Aku langsung pergi ke
restaurant dan mengganti pakaianku. Sudah menjadi kebiasaanku setelah jam
perkuliahan aku akan kerja paruh waktu di Solitaire Restaurant sebagai pelayan.
Uang hasil aku bekerja hingga saat ini masih cukup membiayai hidupku di tambah
dengan uang saku yang selalu dikirimkan mom tiap bulannya.
Setelah berganti
pakaian, aku langsung mengambil buku catatan kecil dan mulai menyapa pelanggan.
Ku hampiri meja
bernomor 15 itu. Sekelompok laki-laki berpakaian rapi sedang serius
membicarakan sesuatu. Sepertinya mereka sedang mengadakan rapat.
“Permisi. Ada yang bisa
saya bantu? Anda ingin memesan apa?” tanyaku sopan. Kuperhatikan satu-satu
wajah mereka. Perhatianku tertarik pada pria yang mengenakan jas berwarna
hitam. Laki-laki itu? Laki-laki yang mengataiku seorang pencuri tadi pagi? Aku
merasa hari ini aku sangat sangat sial.
Laki-laki itu juga
menatapku tak kalah terkejutnya. Matanya sedikit melebar dan menatapku lama. Oh
dan matanya, aku belum pernah melihat mata berwarna coklat seindah itu. Begitu
jernih daan sedikit familiar.
“Maaf nona, kami ingin
memesan.” Aku tersadar dari lamunanku. Aku membersihkan tenggorokanku dan mulai
mencatat pesanan mereka. Setelah mengulang pesanan, aku pamit dan langsung menyerahkan
catatan pesanan kepada Roy, koki restaurant.
Aku kembali menghampiri
meja itu dengan pesanan mereka. Meletakkan satu-satu makanan yang masih panas
itu ke atas meja. “Silahkan menikmati.” Ucapku sopan lalu pergi meninggalkan
meja itu.
Aku berdiri dekat bar
masih dengan menu dan catatan kecil di tanganku. Aku masih mengamati laki-laki
itu. Aku masih merasa kesal dengannya. Gara-gara dia aku tidak bisa mengikuti
ujian.
“Apa yang kau lihat,
Claura?” tanya Red, bartender, yang sedang mengelap gelas-gelasnya.
“Meja nomor 15.” Ucapku
datar.
“Meja nomor 15?
Memangnya ada apa dengan meja nomor 15?” tanyanya bingung.
“Kau lihat laki-laki
berjas hitam yang sedang memunggungi kita? Aku benci pria itu.”
Red menghentikan
aktivitasnya dan melihat laki-laki itu. Dahinya mengernyit. “Memangnya apa yang
dilakukan laki-laki itu kepadamu?”
“Gara-gara dia. Aku
tidak bisa mengikuti ujian di tempat kuliahku. Karena aku menolong dompetnya
yang terjatuh.”
Red masih mengernyit.
“Aku masih tidak mengerti, Claura.”
Aku memutar mataku,
hendak menjelaskan kembali kepada Red ketika seseorang memanggilku.
“Sepertinya seseorang
memanggilmu, Claura. Lihat! Meja nomor 15.”
Setelah merapikan
pakianku dengan cepat, aku menghampiri meja nomor 15. “Ada yang bisa saya
bantu?” ku lihat kursi di depan laki-laki bermata coklat itu. Kosong.
Sepertinya rapatnya sudah selesai.
“Sepertinya aku ingin
membungkus beberapa makanan. Bisa?” tanya laki-laki bermata coklat itu
kepadaku.
Aku mengangguk. “Anda
ingin memesan apa?”
“Makanan yang paling
mahal di restaurant ini apa? Aku pesan itu.”
Aku melebarkan mataku.
Sombong sekali orang ini. Aku tahu dirinya kaya, dapat dilihat dari pakaiannya
tapi aku tidak suka dengan ucapannya barusan.
“Kalau begitu tunggu
sebentar.” Aku langsung pergi menghampiri Roy. “Makanan paling mahal satu. Di bungkus.”
Jujur saja aku tidak tahu apa makanan yang paling mahal di restaurant ini.
Makan disini saja aku belum pernah, mana aku punya uang untuk makan di
restaurant ini? Roy sempat menatapku heran sebelum akhirnya membuatkan pesanan
‘aneh’ itu.
“Ini. Selamat
menikmati. Ada yang lain?” aku memberinya bungkusan makanan yang masih hangat.
“Untukmu.” Ia mendorong
bungkusan makanan itu menjauh darinya
Aku terdiam. Apa?
Untukku?
“Sebagai permintaan
maaf ku karena sudah mengataimu pencuri dan juga sebagai rasa terima kasihku
karena kau sudah mau mengembalikan dompetku.” Ucapnya datar.
Aku masih terdiam.
Memandangi bungkusan itu dengan bingung.
Laki-laki itu lalu
berdiri dari kursinya dan berjalan ke pintu keluar. Meninggalkanku yang masih terpaku
di meja nomor 15.
###
Ini adalah pertama
kalinya aku makan makanan seenak ini. Tak salah bila makanan ini di hargai
sangat mahal satu porsinya. Pertama kali aku menyendokkan makanan yang di
berikan laki-laki bermata coklat itu aku langsung suka. Siapapun pasti akan
suka dengan makanan ini. Walaupun porsinya sedikit dan tidak akan membuatmu
kenyang, tapi mampu memanjakan indera perasamu.
“Sepertinya kau
menikmati makananmu, Claura.” Ucap Red ketika menemukanku di ruang ganti
pegawai.
“Ini makanan terenak
yang pernah aku makan. Kau harus mencobanya, Red.” Aku menyendokkan makanan itu
dan menyuapkannya kepada Red. Red memakan dan mengunyah makanan itu di dalam
mulutnya. Ekspresinya langsung berubah.
“Kau benar. Makanan ini
sangat enak. Kau membuatnya sendiri?”
Aku menggeleng. “Kau
ingat laki-laki bermata coklat yang duduk di meja nomor 15 itu? Dia yang
memberikannya padaku.”
“Dia? Bagaimana bisa?”
“Dia bilang dia ingin
meminta maaf karena sudah mengataiku pencuri sekaligus berterima kasih karena
sudah mengembalikan dompetnya.”
Red masih tidak
percaya. “Dia masih mengenalimu? Wow, kau beruntung, Claura.” Red lalu
mengeluarkan tasnya dari dalam loker. “Malam ini kau ada rencana? Bagaimana
kalau aku teraktir minum?”
Aku memasang wajah
menyesal. “Maaf Red. Sepertinya tidak bisa. Aku ada janji bertemu dengan
temanku di pub milik pamannya yang baru buka itu.”
“Oh, pub yang banyak
pengunjungnya itu? Bolehkah aku ikut? Aku akan mentraktirmu minum disana.”
“Benarkah? Tentu saja
kau boleh ikut. Apalagi kau akan mentraktirku minum.” Aku meneguk air dari
dalam botol mineral. “Aku harus mengganti pakaianku dulu. Jangan pergi
tanpaku.” Aku lalu mengambil baju dari dalam loker lalu pergi ke kamar mandi.