Monday 10 June 2013

Revenge (Long version) part 12



Aku terbangun dengan kepala sedikit lebih baik. Kutemukan diriku berada di dalam kamar tidurku. Di atas kasurku. Seingatku tadi aku sedang membukakan pintu untuk tamu tak di undang. Ketika aku sedang mengingat-ingat, tiba-tiba terdengar suara panci di dalam dapurku. Ku langkahkan kaki keluar dair kamar menuju dapur. Kutemukan Krista sedang menyendokkan bubur yang berada di dalam panci ke dalam mangkuk.
“Sedang apa kamu disini?” tanyaku mengejutkannya.
“Aku sedang menaruh bubur untuk kamu makan. Kamu mau pakai lauk apa?” tanyanya ramah.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Lebih baik sekarang kamu pulang. Tidak enak berada di rumah orang lain seperti ini.” Aku memang berniat mengusirnya. Tidak sudi rasanya ia berada di dalam rumahku.
Dengan wajah sedih ia kembali melatakkan mangkuk di atas meja. Mencuci tangannya lalu mengambil tasnnya. Ku bukakan pintu untuknya dan saat itu baru aku sadari ternyata di luar sedang hujan. Hujannya cukup deras.
“Kalau kamu butuh apa-apa telpon aja aku.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Terima kasih. Tapi aku bisa mengurusi diriku sendiri. Pulanglah.” Lalu aku menutup pintu tepat di depan wajahnya. Tapi aku tidak langsung masuk ke dalam kamar. Ku perhatikan ia lewat kaca jendela yang tertutup tirai. Ia sempat berdiri mematung di depan pintu lalu  menghela nafas dan memutar tubuhnya. Ia memandangi langit yang hujan dengan lama kemudian ia mengangkat bahu dan berlari dengan melindungi dirinya dengan tas tangannya. Apa ia tidak membawa payung? Aku mengernyitkan dahi. Ia kebasahan dan kehujanan seperti itu. Aku mengangkat bahu dan seperti biasa, berusaha tidak peduli dnegannya.
****
Esok paginya, aku sudah masuk kerja lagi. Sebelum berangkat, tidak lupa aku meminum vitamin agar tidak terserang penyakit lagi.
Ketika aku sedang mengerjakan laporanku, Krista baru datang melewati mejaku. Aku mendengus, jam segini baru datang ke kantor? Seperti kantor miliknya saja. Aku sempat melirik ke arahnya. Ku lihat wajahnya. Wajahnya pucat sekali. Sepertinya ia sakit karena matanya begitu sayu.
“Krista, kamu sakit? Wajahmu pucat sekali.” tanya Lisa saat melewati mejanya.
Krista menggeleng pelan. “Hanya kecapaian. Tadi malam aku mengerjakan laporan hingga larut malam.” Ujarnya seraya tersenyum lemah. Ia lalu kembali meletakan jari-jarinya di atas keyboard dan kembali mengetik.
“Krista! Bisa ke ruangan saya sebentar?” seru si bos dari ruangannya. Krista mengangguk sebentar, ia kemudian bangkit dari kursinya. Ketika ia berdiri tiba-tiba saja tubuhnya langsung ambruk jatuh ke lantai. Ia pingsan. Seluruh karyawan yang berada di ruangan itu langsung menghampirinya, termasuk aku.
Krista pingsan dan tidak sadakan diri. Badannya sangat panas dan wajahnya putih pucat ketika ada seorang karyawan wanita memegang dahinya.
“Kita harus bawa dia ke rumah sakit.” Seru salah seorang.
“Pakai mobilku saja.” Ujarku menawarkan. Yang lain langsung menyetujui..
Krista di bawa ke rumah sakit terdekat. Aku dan Lisa yang mengantarnya. Sesampainya di rumah sakit, Krista langsung di bawa dan di periksa. Kami berdua menunggunya di luar.
“Bagaimana keadaan Krista dok?” tanya Lisa saat dokter keluar dari kamar Krista.
“Badannya panas sekali. Sepertinya ia kelelahan dan kurang tidur.” Ucap dokter itu lalu pamit pergi karena amsih ada pasien yang lain.
“Aku harus kembali ke kantor. Bisakah kamu menjaganya? Nanti saat makan siang aku akan kembali dan menggantikanmu.” Ucap Lisa yang sayangnya tak bisa ku bantah.
Setelah Lisa pergi, aku memberanikan diri memasuki kamar perawatan Krista. Tubuh Krista yang lemah dan tak berdaya sekarang berada di atas kasur rumah sakit. Krista masih tak sadarkan diri. Ku dekati ranjangnya perlahan, dan duduk di kursi di sampingnya. Ku amati wajahnya yang pucat itu. Pasti dia sakit karena kemarin kehujanan. Aku menjadi merasa bersalah, ini semua kerena aku. Karena dia menjengukku, tapi malah ku usir. Sekarang ia sakit begini karena aku.
Ke sampirkan sedikit rambut yang menutupi wajahnya. Krista selama ini baik kepadaku, terlampau baik malah. Dia seperti malaikat dan aku iblisnya. Aku selalu menyakitinya, mengusirnya agar menjauh dariku. Sikapku memang keterlaluan.
Ku belai wajahnya dengan punggung jariku. Halus. Kulitnya begitu halus. Kususuri setiap jengkal kulitnya. Matanya, alisnya, hidungnya, bibirnya. Bibir ini pernah ku cium dulu. Aku ingat. Aku menciumnya dengan kasar, kalau tidak salah sampai berdarah. Ya tuhan, aku telah menyakiti malaikat ini. Ketika jariku menyusuri dagunya. Mata Krista perlahan mulai terbuka. Aku langsung menarik jariku, takut ketahuan. Ia lalu melihat ruangan di sekitarnya, kemudian matanya menatap mataku.  
“Dika?” tanyanya bingung.
Aku tersenyum lembut. “Kamu tadi pingsan. Aku dan Lisa membawamu ke rumah sakit. Sekarang Lisa harus kembali ke kantor. Kamu suka sekali membuat orang kantor gempar ya?”
Ia terdiam sejenak. “Maaf kalau aku merepotkanmu. Aku sudah tidak apa-apa. Kamu kembalilah ke kantor.”
“Aku tidak apa-apa. Lagipula siapa yang menjagamu kalau terjadi apa-apa. Sudahlah sekarang kembali istirahat. Kamu belum pulih benar.” Telapak tanganku menempel di dahinya, membuatnya terkejut. “Badanmu masih panas.”
“Hanya kecapaian dan kurang tidur.”
“Pasti karena kemarin kehujanan ya? Karena kemarin menjengukku.” Ucapku seraya menunduk. Aku malu menatapnya.
“Aku yang salah karena tidak membawa payung.”  Ucapnya sambil tersenyum lemah.
“Aku yang salah. Seharusnya aku meminjamimu payung, atau aku seharusnya mengantarmu pulang.”
Krista lalu menggenggam tanganku. Perasaan hangat menjalar di sekujur tubuhku. Walau dapat kurasakan telapak tangannya dingin sekali. “Sudah tidak apa-apa. Lagipula itu sudah lewat.”
“Oh sudah sadar rupanya.” Tiba-tiba suara dokter mengejutkanku. “Anda harus tinggal beberapa hari disini nyonya. Dari hasil lab, sepertinya anda terserang tifus.”
“Tifus?” ucap kami bersamaan lalu saling menatap.
“Iya tifus. Anda belum boleh pulang dulu sampai kondisi anda membaik.”
Aku menunduk sedih. Ini semua salahku. Ingin rasanya aku memukul diriku sendiri karena sudah menyakiti seorang malaikat. Malaikat yang teramat baik yang kini sudah menyentuh hatiku.

No comments:

Post a Comment