Aku terbangun dengan kepala sedikit
lebih baik. Kutemukan diriku berada di dalam kamar tidurku. Di atas kasurku.
Seingatku tadi aku sedang membukakan pintu untuk tamu tak di undang. Ketika aku
sedang mengingat-ingat, tiba-tiba terdengar suara panci di dalam dapurku. Ku
langkahkan kaki keluar dair kamar menuju dapur. Kutemukan Krista sedang
menyendokkan bubur yang berada di dalam panci ke dalam mangkuk.
“Sedang apa kamu disini?” tanyaku
mengejutkannya.
“Aku sedang menaruh bubur untuk kamu
makan. Kamu mau pakai lauk apa?” tanyanya ramah.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Lebih
baik sekarang kamu pulang. Tidak enak berada di rumah orang lain seperti ini.”
Aku memang berniat mengusirnya. Tidak sudi rasanya ia berada di dalam rumahku.
Dengan wajah sedih ia kembali melatakkan
mangkuk di atas meja. Mencuci tangannya lalu mengambil tasnnya. Ku bukakan
pintu untuknya dan saat itu baru aku sadari ternyata di luar sedang hujan.
Hujannya cukup deras.
“Kalau kamu butuh apa-apa telpon aja
aku.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Terima kasih. Tapi aku bisa mengurusi
diriku sendiri. Pulanglah.” Lalu aku menutup pintu tepat di depan wajahnya.
Tapi aku tidak langsung masuk ke dalam kamar. Ku perhatikan ia lewat kaca
jendela yang tertutup tirai. Ia sempat berdiri mematung di depan pintu
lalu menghela nafas dan memutar
tubuhnya. Ia memandangi langit yang hujan dengan lama kemudian ia mengangkat
bahu dan berlari dengan melindungi dirinya dengan tas tangannya. Apa ia tidak
membawa payung? Aku mengernyitkan dahi. Ia kebasahan dan kehujanan seperti itu.
Aku mengangkat bahu dan seperti biasa, berusaha tidak peduli dnegannya.
****
Esok paginya, aku sudah masuk kerja
lagi. Sebelum berangkat, tidak lupa aku meminum vitamin agar tidak terserang
penyakit lagi.
Ketika aku sedang mengerjakan laporanku,
Krista baru datang melewati mejaku. Aku mendengus, jam segini baru datang ke
kantor? Seperti kantor miliknya saja. Aku sempat melirik ke arahnya. Ku lihat
wajahnya. Wajahnya pucat sekali. Sepertinya ia sakit karena matanya begitu
sayu.
“Krista, kamu sakit? Wajahmu pucat
sekali.” tanya Lisa saat melewati mejanya.
Krista menggeleng pelan. “Hanya
kecapaian. Tadi malam aku mengerjakan laporan hingga larut malam.” Ujarnya
seraya tersenyum lemah. Ia lalu kembali meletakan jari-jarinya di atas keyboard
dan kembali mengetik.
“Krista! Bisa ke ruangan saya sebentar?”
seru si bos dari ruangannya. Krista mengangguk sebentar, ia kemudian bangkit
dari kursinya. Ketika ia berdiri tiba-tiba saja tubuhnya langsung ambruk jatuh
ke lantai. Ia pingsan. Seluruh karyawan yang berada di ruangan itu langsung
menghampirinya, termasuk aku.
Krista pingsan dan tidak sadakan diri.
Badannya sangat panas dan wajahnya putih pucat ketika ada seorang karyawan wanita memegang dahinya.
“Kita harus bawa dia ke rumah sakit.”
Seru salah seorang.
“Pakai mobilku saja.” Ujarku menawarkan.
Yang lain langsung menyetujui..
Krista di bawa ke rumah sakit terdekat. Aku
dan Lisa yang mengantarnya. Sesampainya di rumah sakit, Krista langsung di bawa
dan di periksa. Kami berdua menunggunya di luar.
“Bagaimana keadaan Krista dok?” tanya
Lisa saat dokter keluar dari kamar Krista.
“Badannya panas sekali. Sepertinya ia kelelahan
dan kurang tidur.” Ucap dokter itu lalu pamit pergi karena amsih ada pasien
yang lain.
“Aku harus kembali ke kantor. Bisakah
kamu menjaganya? Nanti saat makan siang aku akan kembali dan menggantikanmu.”
Ucap Lisa yang sayangnya tak bisa ku bantah.
Setelah Lisa pergi, aku memberanikan
diri memasuki kamar perawatan Krista. Tubuh Krista yang lemah dan tak berdaya
sekarang berada di atas kasur rumah sakit. Krista masih tak sadarkan diri. Ku
dekati ranjangnya perlahan, dan duduk di kursi di sampingnya. Ku amati wajahnya
yang pucat itu. Pasti dia sakit karena kemarin kehujanan. Aku menjadi merasa
bersalah, ini semua kerena aku. Karena dia menjengukku, tapi malah ku usir.
Sekarang ia sakit begini karena aku.
Ke sampirkan sedikit rambut yang
menutupi wajahnya. Krista selama ini baik kepadaku, terlampau baik malah. Dia
seperti malaikat dan aku iblisnya. Aku selalu menyakitinya, mengusirnya agar
menjauh dariku. Sikapku memang keterlaluan.
Ku belai wajahnya dengan punggung
jariku. Halus. Kulitnya begitu halus. Kususuri setiap jengkal kulitnya.
Matanya, alisnya, hidungnya, bibirnya. Bibir ini pernah ku cium dulu. Aku
ingat. Aku menciumnya dengan kasar, kalau tidak salah sampai berdarah. Ya
tuhan, aku telah menyakiti malaikat ini. Ketika jariku menyusuri dagunya. Mata
Krista perlahan mulai terbuka. Aku langsung menarik jariku, takut ketahuan. Ia
lalu melihat ruangan di sekitarnya, kemudian matanya menatap mataku.
“Dika?” tanyanya bingung.
Aku tersenyum lembut. “Kamu tadi
pingsan. Aku dan Lisa membawamu ke rumah sakit. Sekarang Lisa harus kembali ke
kantor. Kamu suka sekali membuat orang kantor gempar ya?”
Ia terdiam sejenak. “Maaf kalau aku
merepotkanmu. Aku sudah tidak apa-apa. Kamu kembalilah ke kantor.”
“Aku tidak apa-apa. Lagipula siapa yang
menjagamu kalau terjadi apa-apa. Sudahlah sekarang kembali istirahat. Kamu
belum pulih benar.” Telapak tanganku menempel di dahinya, membuatnya terkejut.
“Badanmu masih panas.”
“Hanya kecapaian dan kurang tidur.”
“Pasti karena kemarin kehujanan ya?
Karena kemarin menjengukku.” Ucapku seraya menunduk. Aku malu menatapnya.
“Aku yang salah karena tidak membawa
payung.” Ucapnya sambil tersenyum lemah.
“Aku yang salah. Seharusnya aku
meminjamimu payung, atau aku seharusnya mengantarmu pulang.”
Krista lalu menggenggam tanganku.
Perasaan hangat menjalar di sekujur tubuhku. Walau dapat kurasakan telapak
tangannya dingin sekali. “Sudah tidak apa-apa. Lagipula itu sudah lewat.”
“Oh sudah sadar rupanya.” Tiba-tiba suara
dokter mengejutkanku. “Anda harus tinggal beberapa hari disini nyonya. Dari
hasil lab, sepertinya anda terserang tifus.”
“Tifus?” ucap kami bersamaan lalu saling
menatap.
“Iya tifus. Anda belum boleh pulang dulu
sampai kondisi anda membaik.”
Aku menunduk sedih. Ini semua salahku.
Ingin rasanya aku memukul diriku sendiri karena sudah menyakiti seorang
malaikat. Malaikat yang teramat baik yang kini sudah menyentuh hatiku.
No comments:
Post a Comment