Monday 21 January 2013

Revenge (long version) part 4




Pagi ini mendung. Awan hitam menyelimuti sekitar rumah kami, disertai dengan rintik-rintik hujan. Tapi itu semua tidak menghentikan keinginan mama untuk pergi ke makam Yuda. Aku, mama dan suster pergi menggunakan mobilku ke pemakaman. Jujur saja aku sudah lama tidak pergi ke makam Yuda. Karena pekerjaanku yang menumpuk aku sedikit lupa kepada Yuda.
Sesampainya disana ku siapkan payung untuk mama. Mama yang sering kemari sudah hafal betul dimana letak makam Yuda, aku hanya mengikutinya dari belakang. Mama menolak ketika ku minta menggunakan kursi roda, dia langsung berjalan saat kursi roda ku turunkan dari bagasi mobil.
Kami berhenti di makam bertuliskan Yuda Kameswara. Mama langsung berlutut dan menaruh sebucket bunga mawar merah yang sebelumnya sudah kami beli di atas pusaranya. Mama mulai menangis, tubuh mama mulai bergetar. Aku memeluk bahunya mencoba untuk menenangkannya.
“Seharusnya... seharunya kita sedang makan-makan di rumah. Seharusnya... seharusnya Yuda masih ada sama kita.” Ucap mama terisak
“Udah ma... udah... Yuda udah tenang disana. Kita harus merelakannya. Jangan buat Yuda sedih disana.” Aku berusaha untuk menenangkan mama.
“Sekarang Yuda sudah berumur 27 tahun. Kalau Yuda masih hidup mungkin sekarang dia sudah menikah. Menjadi ayah dan suami. Memberikan mama seorang cucu.”
“Ma... masih ada aku, ma. Aku masih bisa ngasih mama cucu.”
Mama seperti tidak menggubris omonganku. Mama masih menangis meraung-raung. Aku berusaha membawanya pergi dari situ tapi ia tak mau. Aku membujuknya dengan beribu cara sampai akhirnya mama mau meninggalkan tempat itu.
Suster menenangkan mama yang masih menangis di kursi belakang dan aku berusaha untuk konsentrasi saat mengemudi. Mengeluarkan semua pikiran-pikiran yang masuk dan menggantinya dengan pandangan lurus ke jalan.
***                                                                     
Suster langsung membawa mama masuk ke kamar ketika kami sampai. Sedangkan aku... setelah memarkirkan mobil di garasi, aku merokok di atas. Di balkon kamarku.
Asap mengepul ketika ku hembuskan. Perlahan menyatu dengan hawa dingin yang ditimbulkan oleh rintik-rintik hujan. Ku matikan putung rokok itu saat sudah mengecil. Ku senderkan badanku pada tiang-tiang balkon. Aku lelah. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku capai.
Aku menyusupkan wajahku di antara kedua kakiku yang di tekuk. Aku menangis. Ini adalah pertama kalinya aku menangis. Terakhir kali aku menangis ketika menghadiri pemakaman Yuda. Air mata jatuh dan membasahi bajuku. Ijinkan aku menangis dan membasahi pipiku ini dengan air mataku. Ijinkan aku untuk mengeluarkan semua emosiku. Ijinkan aku...
***                                                                     
Aku sedang memakai dasiku ketika aku melihat sebucet bunga mawar merah tergeletak di atas meja makan.
"Itu punya kamu, Dika?" tanya mama membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng. "Bukan ma. Aku kira ini punya mama."
Mama menggeleng. "Dari tadi pagi ada disini. Lagian mama nggak suka mawar. Banyak durinya."
Seketika itu juga Yuda datang dengan membawa dasinya yang belum terpasang dan tas kerjanya dengan terburu-buru. Dia menghampiri meja makan lalu duduk tanpa memperhatikan kami yang berada di sekitarnya. Dengan tergesa-gesa di baliknya piring yang berada di hadapannya lalu di isinya dengan nasi goreng dan memakannya dengan lahap. Aku dan mama hanya terpaku melihat kejadian itu.
"Ini bunga, punya kamu?" tanyaku ketika aku menarik kursi di sampingnya lalu duduk.
Yuda menghentikan kunyahannya lalu melihat bunga yang berada di tanganku. Ia langsung tersedak dan tangannya mencari-cari air putih.
"Udah dateng rupanya." Ucapnya seraya meletakkan gelas. "Aku kemarin pesen ke tukang bunga, di suruh di anter ke rumah." Yuda mengulurkan tangannya meminta bunga itu.
"Buat apa kamu mesen bunga segala, Yud?" tanya mama seraya membalikkan piringnya.
Yuda tersipu malu. "Aku mau nembak Krista malam ini."
Kini giliran aku yang tersedak makananku. Aku meneguk air putih yang berada di hadapanku dengan terburu-buru. "Apa?"
"Iya. Aku udah booking restoran buat aku nembak dia. Kemarin aku ngajak dia nonton, hari ini mau ngajak dia makan"
Aku tersenyum lebar. "Gitu dong. Gentle man. Itu baru namanya adikku." Ucapku bangga seraya menepuk bahunya.
***
Suara petir membangunkanku dari tidur. Lagi-lagi aku bermimpi. Aku bermimpi tentang kejadian sebelum kecelakaan itu terjadi. Ketika aku masih bisa berbicara dan menatap langsung wajah Yuda, sebelum dia pergi untuk selama-lamanya. Mimpi itu terlihat nyata. Wajahnya, suaranya, dan baju yang ia pakai waktu itu sangat jelas. Seakan-akan Yuda sedang mencoba berkomunikasi denganku. Tapi itu tidak mungkin, aku hanya berhalusinasi.
Pagi itu aku berangkat kerja lebih pagi dari biasanya. Hari pertama masuk kerja setelah dirawat di rumah sakit. Seperti biasa ku lihat mama sebelum berangkat. Mama sedang sarapan pagi ditemani suster. Setelah ku kecup pipinya, aku pamit untuk berangkat.

No comments:

Post a Comment