“Aduh Alexa kemana sih? Di telfon
nggak di angkat. Sekarang hapenya mati pula!” sungut Jenny seraya kakinya tak
berhenti untuk mondar mandir.
“Udah bisa belum?” Tanya seorang
wanita tampak khawatir. Modelnya belum datang juga hingga sekarang.
Jenny menggeleng panik. “Belum,
Mbak. Aduh. Kami mohon maaf ya. Bisa tidak pemotretannya di lanjutkan besok?”
Jenny menatap cemas kea rah wanita itu
Wanita itu
hanya menggaruk-garuk kepalanya. “Bagaimana ya… Kami…”
“Kami janji akan membayar
kerugiannya.” Ujar Jenny cepat.
Wanita itu menghela nafas. “Baiklah.
Besok pagi jam 10 ya.”
Jenny mengangguk hormat. “Terima
kasih. Terima kasih banyak.”
“Pemotretan di lanjutkan besok.
Sekarang kalian bisa pulang.” Seru wanita itu dengan keras. Para karyawan
langsung mengumpat dan mengomel seraya membereskan peralatan.
Jenny sekali lagi membungkukan
kepalanya ketika wanita itu melewati dirinya dan masuk ke ruang make up.
Jenny menghembuskan nafas keras.
Lalu memandangi ponselnya. “Seberanya dimana si kamu, Lexa?”
!@#$%^&*(()
Lexa membalikkan badannya dan
langsung berhadapan dengan Steve. Steve memandanginya dengan tatapan tajam.
Mereka kini hanya di tutupi oleh
selimut besar dan di dalamnya tak ada lagi sehelai benang pun. Sprei kasur
sudah berantakan dan tidak berbentuk lagi. Semalam terjadi pertempuran besar di
atas tempat tidur.
Lexa membalas menatap Steve tak
kalah tajam. “Apa?”
Steve merubah posisinya. Kini ia menghadap
Lexa dengan lengan kirinya sebagai bantal. “Kau… Apa yang sebenarnya kau
pikirkan?”
“Memangnya apa? Kau yang meminta ini
bukan? Aku hanya menurutinya.”
Steve merubah posisi kepalanya.
Mencari sebuah penjelasan dari apa yang barusan terjadi. “Kau tidak tertebak
sama sekali.” Tidak ada kelembutan sama
sekali dari nada suaranya.
“Karena kau memang tidak pernah
mengenalku.” Ucap Lexa seraya menutup matanya. Ia sangat lelah sekali hari ini.
“Kau sadar apa yang kau lakukan
barusan?”
Alexa kembali membuka matanya.
“Tentu saja.”
Steve masih belum bisa menemukan
penjelasan dari apa yang terjadi. Tadi siang, wanita ini menolak mentah-mentah
dirinya dan sekarang, malam ini, wanita ini berada di ranjangnya, bersama
dirinya, dan mereka baru saja melewati ronde-ronde yang panjang.
“Memangnya apa yang sebenarnya kau
harapkan?” Tanya Alexa membuyarkan lamunan Steve. Steve kembali menatap
wajahnya
Steve menggeleng frustasi.
“Entahlah. Kau… Tadi siang kau menolakku mentah-mentah dan sekarang….”
Alexa memeluk tubuh Steve dan
mempererat pelukannya. Meletakkan kepalanya di atas dada Steve yang bidang,
membuat Steve sedikit terkejut.
“Aku juga tidak tahu.” Terasa sekali
hembusan nafas Alexa di dada Steve. “Aku sudah lelah untuk berlari dan
bertengkar dengan diriku sendiri. Menyangkal bahwa diriku tidak membutuhkanmu.
Bahwa diriku bisa jauh dari dirimu.” Alexa mengangkat kepalanya dan matanya
bertemu dengan mata Steve. “Tapi ternyata aku tidak bisa. Dengan berat hati aku
menyatakan kalah pada diriku sendiri.”
Steve mengerutan dahinya. Mencoba
mencerna semua perkataan Alexa barusan. “Jadi… Kau…”
Alexa kembali meletakkan kepalanya
di dada Steve dan menghirup aroma tubuh Steve. “Aku tidak akan pergi lagi.”
Steve menghembuskan nafas lega.
Entah mengapa tapi dia seperti sedang berenang di dalam samudra terdalam dan
kembali ke permukaan dengan beribu oksigen siap menyambutnya. Begitu lega.
Steve memeluk tubuh mungil itu dan
menicum kepala Alexa, menghirup wangi shampoo yang dia gunakan. Begitu
menenangkan.
!@#$%^&*()
Sinar matahari mengintip dari balik
gordain dan sinarnya langsung tertuju pada Alexa. Alexa menggeliyat berusaha
menghindari sinar yang menganggu tidurnya. Ia berusaha menyembunyikan kepalanya
di dalam dada Steve.
Steve yang merasakan ada suatu
gerakan terbangun dari tidurnya. Matanya terbuka. Hal yang pertama dilihatnya
adalah tubuh Alexa yang sedang memeluknya. Kepalanya ia tenggelamkan di dalam
dadanya. Begitu hangat. Di usapnya rambut hitam Alexa dengan sayang lalu di
kecupnya rambut itu. Tuhan, ia begitu mencitai wanita ini.
Tubuh yang berada di dekapannya itu
kembali bergerak. Sesaat kemudian kepala Alexa terangkat dilihatnya wajah Steve
seraya tersenyum.
“Selamat pagi.” Ucap Steve
hati-hati.
“Pagi.” Ucap Alexa begitu riang.
Senyum itu menular bagi Steve.
“Tidurmu nyenyak?” Steve kembali
mendekap tubuh mungil itu agar kembali dekat.
Alexa mengangguk. “Nyenyak sekali.
Bagaimana denganmu?”
Steve tersenyum kecil. “Aku bermimpi
indah semalam. Itu semua karena dirimu.” Steve kembali mengelus kepala itu
dengan sayang.
“Jam berapa sekarang?” Alexa
membalikkan tubuhnya dan menatap jam kecil yang berada di atas meja. “Ya tuhan!
Kita harus ke kantor sekarang.” Alexa langsung melompat dari tempat tidur dan
berlari ke kamar mandi. Steve yang hanya melihat kejadian itu hanya tersenyum
kecil.
“Sebaiknya sekarang kau bersiap-siap
dan jangan tertawa.” Seru Alexa dari dalam kamar mandi, membuat Steve kembali
tersenyum.
!@#$%^&*()
“Ya tuhan! Kemana saja kau kemarin?
Setelah pergi secara tiba-tiba, tidak mengangkat telponku sama sekali, dan
sekarang kau harus memberikan penjelasan kenapa kau tidak kembali saat jam
makan siang selesai? Kau tahu kan kalau kemarin masih ada pemotretan?”
Alexa baru sampai kantor dan
langsung menerima ocehan Jenny yang terlihat frustasi.
“Kau harus tahu bagaimana aku
mengendalikan semua kekacauan yang kau dan artismu itu buat. Kalian kemana saja
kemarin?” desak Jenny seraya melipat tangannya.
“Tiba-tiba saja kemarin aku sakit
perut jadi harus pulang, dan Steve… Entahlah aku tidak tahu kemarin dia kemana,
kau tanya sendiri padanya.” Alexa sudah menyiapkan kata-kata itu sewaktu ia
dalam perjalanan ke kantor. Ia yakin pasti ada yang menanyakan hal itu.
“Kau? Sakit?” Tanya Jenny tidak
percaya.
“Ya. Kau tidak percaya? Kau tidak
lihat lingkaran hitam di mataku ini? Aku mulas-mulas dari kemarin malam.
Sepertinya aku salah makan.”
Jenny menjatuhkan lengannya ke
samping. “Kalau kau sakit mengapa kau sekarang masuk ke kantor?”
“Karena aku punya seorang artis yang
harus ku tangani.” Jawab Lexa sebal.
“Lalu dimana artismu itu sekarang?”
Kepala Jenny menengok kesana kemari mencari sosok Steve.
Alexa mengangkat bahu. Ia lebih
memfokuskan diri pada computer di meja kerjanya. Jarinya sudah menari-nari di
atas keyboard.
“Akh itu modelmu sudah datang.” Ujar
Jenny membuat Alexa mendongakan kepalanya dan menemukan Steve berjalan dengan
santai ke arahnya.
“Morning.” Ucap Steve ramah.
Senyumnya membuat karyawati di ruangan itu selama beberapa detik menikmati
senyumannya.
“Morning Mr. Gabriel.” Ucap Jenny
dengan suara di buat tegas. Steve membalasnya dnegan senyum. “Can you tell me
where are you last night?” Jenny melipat tangannya di depan dada dan memasang
raut wajah aku-yang-berkuasa-disini. Alexa hanya tersenyum melihat tingkah laku
temannya.
“Me? In my hotel of course.” Steve
menyenderan bahunya di dinding kantor dan memasukkan lengannya ke dalam saku.
“What’s wrong?”
“Tahukah kalau kau masih ada
pemotretan malam itu?”
“Oh ya, Pemotretan. Aku benar-benar
minta maaf, aku benar-benar lupa akan hal itu.” Steve menyentuh pelipisnya dan
menggelengkan kepalanya.
Jenny masih menatap Steve dengan
matanya yang tajam. “You know? You’re lucky guy.” Jenny melirik ke arah Alexa
sebelum akhirnya dia melangkah pergi.
“She’s right! You are lucky guy.”
Ucap Alexa acuh tak acuh. Matanya masih memandang computer dengan bosan
Steve tersenyum simpul kepalanya
berada dekat sekali dengan wajah Alexa.
“Yeah, im lucky guy. To night? In my place?”
Alexa menaikkan sebelah alisnya. “We
will see.”
Setelah itu Steve pergi dari ruangan
Alexa meninggalkan Alexa dengan setumpuk pekerjaannya.
No comments:
Post a Comment