Akhirnya setengah jam kemudian aku
benar-benar bisa keluar dari kemacetan ini. Kini aku sudah berada di depan
apartement Krista. Krista sudah bersiap-siap turun dari mobil ketika aku
menggenggam tangannya.
“Ingat. Kalau kamu memang hanya ingin
menyakiti Chris lebih baik kamu jauhi dia. Chris itu pria yang baik. Terlalu
baik untukmu.” Ucapku tajam
Krista menyipitkan matanya. “Seberapa
buruk aku dimata kamu? Sampai-sampai kamu ingin sekali aku menjauhi Chris. Aku
tidak seperti apa yang kamu kira, seperti yang kamu bayangkan.”
“Oh ya? Lalu bagaimana dengan gossip
yang bilang kalau kamu pernah membuat seorang laki-laki bunuh diri? Bagaimana
dengan gossip itu?”
Krista mengerutkan keningnya. Berpikir.
“Kamu nggak ingat? Malam itu. Laki-laki
itu datang dan mengajakmu makan malam romantis. Dengan membawa bunga mawar
merah dan sebelumnya mengajakmu menonton di bioskop. Ah… rupanya kamu sudah
ingat.”
“Kenapa kamu bisa tahu sedetail itu? Apa
orang-orang di kantor yang bilang?”
“Karena aku kakak dari laki-laki yang
kamu patahkan hatinya. Yang kamu buat dia bunuh diri karena kecelakan. Semua
itu karena kamu.”
Seketika itu juga matanya melebar. Raut
wajahnya terlihat ketakutan.
“Iya. Yuda. Yuda Kameswara. Masih
ingat?”
“Aku… aku nggak bermaksud seperti itu.
Sungguh. Aku nggak tahu kalau dia sekalut itu lalu… kecelakaan.”
Aku mulai mendekat ke arahnya.
Membuatnya tersudut.
“Dan kamu juga nggak tahu efek apa yang
kamu timbulkan. Mamaku sekarang mengalami depresi akut. Kerjaannya hanya
memandangi jendela dengan tatapan mata kosong. Kamu juga nggak tahu betapa
menderitanya aku karena aku kehilangan adikku. Adikku satu-satunya .”
“Aku…”
Aku langsung melumat bibirnya.
Membuatnya terkejut. Ia meronta. Mendorong bahuku dengan sekuat tenaga, namun
ia masih kalah kuat di banding diriku. Aku mencoba memasuki bibirnya. Membuat
celah sehingga lidah ini mampu masuk kedalamnya.
Aku melepaskan ciuman itu. Nafas kami
terengah-engah. Mataku menyiratkan kebencian yang teramat dalam. Aku menatap
matanya yang bulat kini terlihat ketakutan.
“Aku akan buat kamu jatuh di tangan
aku.” Aku menekankan setiap kata itu dengan jelas. Lalu kemudian kembali
mencium bibirnya, lalu turun mencium lehernya, menjilatnya dan menghirup aroma
parfumnya. Ia mendesah. Entah bagaimana lengannya sudah menggantung di leherku.
Ketika aku hendak mencium bahunya.
Terdengar suara ponsel berbunyi. Aku berasa ada sesuatu di bawah perutku yang
bergetar. Ponsel Krista berbunyi.
Aku menjauhi diriku. Merapikan kembali
kemeja kerjaku yang kusut, sementara Krista menjawab telponnya.
“Halo? O iya. Udah sampai nih. Iya. Kamu
gimana di kantor? Oh. Hati-hati di jalan ya. Love you.” Krista menutup
ponselnya.
“Chris ya?”
Krista mengangguk. “Makasih udah mau
nganterin sampai rumah.”
Aku mengangguk. Krista lalu turun dari
mobilku. Aku menjalankan mobilku menjauh dari apartement Krista
***
Esok paginya aku berusaha melupakan
kejadian tadi malam. Sulit memang. Aku merasa menjadi lelaki yang paling
brengsek karena mencium kekasih dari sahabatku sendiri. Sebenci apapun aku
kepada Krista, dia tetap kekasih dari sahabatku sendiri.
Ketika aku sampai di depan mejaku.
Setumpuk dokumen sudah siap menyambutku. Aku menghela nafas lalu duduk dan
berusaha mebgerjakan laporan itu secepat mungkin.
***
Sudah pukul 7 malam dan laporan ini
belum selesai. Aku menyenderkan punggungku pada sandaran kursi, memegang leher
dan menggerakannya ke kiri ke kanan, mencoba menghilangkan rasa pegal.
Aku melihat ke kiri dan dan kanan,
ternyata kantor sudah sepi. Kulihat meja Krista juga sudah rapi. Aku
benar-benar sudah sendiridi kantor. Aku meregangkan otot-oto lenganku lalu
kembali berkutat pada computer.
5 menit kemudian, tiba-tiba terdengar
suara derap langkah kaki. Semakin lama semakin mendekati ruang kerjaku. Pintu
terbuka, aku mendongak dan menemukan Krista sedang berjalan tergesa menghampiri
mejanya. Sepertinya dia tidak melihat keberadaanku, karena dia langsung
menghampiri mejanya dan membuka laci meja. raut wajahnya seketika itu juga
terlihat lega. Diambilnya ponsel dari laci mejanya lalu mendekapnya erat.
“Aku kira ilang.” Gumamnya pada diri
sendiri. Aku yang merasa di abaikan kembali mengetik laporanku. Dia sepertinya
mendengar suara keyboard lalu mencari asal muasal suara tersebut.
“Dika?” tanyanya memastikan.
“Hmm.” Aku masih sibuk mengetik.
Krista menghampiri mejaku. “Belum
pulang?” kepalanya sudah berada di atas layar komputerku.
“Belum. Kerjaan masih numpuk.”
Krista mengangguk. “Mau aku bantuin?”
Aku menghentikan perkejaanku, menatapnya
dengan tatapan mata tajam. Kemarin aku sudah menciumnya dengan kasar,
memaksanya untuk putus, dan sekarang dia mau membantuku menyelesaikan pekerjaanku?
“Tidak usah. Terima kasih.”
“Aku tahu kamu pasti benci banget sama
aku. Setelah kamu cerita itu semua kemarin. Aku ngerti.” Aku masih sibuk
menegtik. Berusaha tidak menggubris ucapannya. “Aku minta maaf.”
Aku terdiam. Kembali kutatap kedua mata
Krista yang bulat. Mencari celah kebohongan dan kepalsuan dari ucapannya
barusan, tapi nihil.
“Aku minta maaf karena udah buat mama
dan keluarga kamu menderita. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku
nggak punya niat sama sekali untuk menyakiti hati Yuda.” Krista menunduk.
Memainkan jari tangannya dengan gelisah.
“Udah ngomongnya?”
Krista mendongak. Terkejut atas
kata-kata sinis yang keluar dari mulutku.
“Mudah untuk kamu bilang maaf. Tapi
sulit buat aku untuk menerima permohonan maaf kamu. Udah 3 tahun aku dan mama
aku menderita, dan nggak semudah itu menerima permohonan maaf.”
Krista kembali terdiam. Kulihat matanya
mulai berkaca-kaca, bersiap menumpahkan segala sakit hatinya.
“Lalu… ciuman itu… apa artinya?”
“Tidak ada. Maaf telah menciummu waktu
itu.”
Krista langsung menangis. Ia terisak dan
tubuhnya bergetar. Tangannya mendekpa mulutnya agar tangisnya tidak terdengar,
lalu berlari meninggalkan ruangan. Meninggalkanku sendirian.
***
“Gimana keadaan mama dok?”
Hari ini mama check up ke rumah sakit.
Aku yang mengantarnya. Disela-sela kesibukanku di kantor aku mencuri waktu saat
makan siang dan mengantar mama ke rumah sakit.
“Bagus. Ada kemajuan. Berat badannya
bertambah, beliau juga sudah bisa di ajak bicara.”
Aku tersenyum lega. Akhirnya, mama ada
kemajuan.
“Mama mau makan? mau aku suapin?”
Kami sudah kembali tiba dirumah. Aku
menggendong mama dari kursi roda ke tempat tidurnya.
Mama mengangguk. “Kamu nggak kembali ke
kantor, Dika?”
Aku tersenyum tipis. “Masih jam
istirahat kok ma. Dika masih bisa nemenin mama makan.”
Mama mengusap lembut rambutku. “Maaf ya
mama udah ngerepotin kamu.” Ucap mama serya tersenyum lembut.
Aku menggeleng. “Mama nggak pernah
ngerepotin, Dika. Dika seneng banget ngeliat mama sembuh.” Aku memeluk mama
dengan erat.
***
“Dari mana Dik? Kok aku nggak liat kamu
makan siang tadi.” Tanya Chris ketika aku berpapasan dengannya di lobby.
“Abis nemenin mama check up.”
“Gimana keadaanya?”
Aku tersenyum. “Udah baikkan. Udah bisa
di ajak bicara.”
Chris menepuk pundakku. “Aku turut
senang.”
***
No comments:
Post a Comment