"Jangan! Apa yang kamu lakukan?
Lepaskan?" Teriak Krista meronta-ronta. Ruangan kantor kami sudah sepi.
Sudah pukul 8 malam. Satpam pun pasti sedang ngopi di warung depan. Dia
benar-benar terjebak.
Aku menatap matanya tajam. Matanya sudah
mulai berair. Rontaannya juga semakin berkurang. Aku memegang dagunya dan
menyajarkan wajahnya dengan wajahku.
"Kalian baru jadian ya?" Suaraku
terdengar sinis dan menyeramkan. "Kalau begitu, gaya berpacaran kalian
sudah sejauh mana ya?" Aku membelai pipinya dengan jariku, dia hanya
memejamkan matanya erat.
"Bagaimana dengan bibir ini? Apakah dia
sudah pernah menciummu?" Aku melihat ekspresinya. Masih sama. "Ku
ambil kesimpulan belum. Ehm... sepertinya bibir ini begitu lezat." Aku
mendekatkan wajahku. Nafas kami saling membaur. Bibirku sudah menyentuh
bibirnya. Benar-benar lembut. Krista berusaha memundurkan tubuhnya namun itu sia-sia.
Aku berusaha membuka mulutnya dengan
pelan dan lembut. Aku mencari-cari lidahnya. Manis sekali. Ku dengar dia
mengeram. Dia menyukainya. Aku mulai berani melumat bibirnya dengan lembut. Aku
ingin dia tersiksa.
Tanganku masuk ke dalam rok birunya.
Mencari-cari dimana letak kenikmatannya berada. Tiba-tiba tubuhnya tersentak.
Aku mendapatkannya. Perlahan aku memasukkan jariku sedikit demi sedikit ke
dalam dirinya. Dia mengeram. Lengannya sudah memegang bahuku erat. Aku gerakkan
jariku yang berada di dalam dirinya. Matanya terbuka. Entah apa yang ia
rasakan, tapi aku jamin pasti suatu kenikmatan.
Lama jariku berada di dalamnya.
Tiba-tiba tubuhnya mulai bergetar. Dia sudah sampai. Aku melepaskan ciumanku.
Nafasnya terengah-engah, begitu pun aku. Dia langsung ambruk jatuh ke lantai
dan tampilannya begitu acak-acakan. Di jari-jariku masih tersisa lendir
kenikmatan miliknya. Aku jilat satu persatu hingga bersih.
"Kamu tahu? Kamu punya rasa yang
lezat." Aku tersenyum sinis. Aku berjalan ke mejaku, mengambil tasku, lalu
pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang rasa kemarahan
masih menggelayutiku. Sial! Apa yang baru kulakukan barusan? Apa itu tadi?
Setan apa yang merasukiku?
Aku mengacak-acak rambutku frustasi.
Sungguh aku tak bermaksud demikian kepadanya. Aku merasa bersalah. Tapi pikiran
dia sedang bersenang-senang dengan pria lain dan Yuda sedang diam membeku di
bawah sana, seketika itu juga membuahku mendidih. Tapi benarkah dengan cara
itu? Cara yang…. Akh aku tak mau memikirkannya.
****
****
Esok paginya aku berangkat ke kantor
seperti biasa. Aku berusaha melupakan kejadian kemarin dan bersikap seperti
biasa. Toh tidak ada yang tahu kejadian kemarin kan?
Aku meletakkan tas kerjaku di atas meja
dan duduk sejenak sebelum menyalakan computer dan mulai mengerjakan laporan
yang kemarin sempat tertunda. Saat sedang asiknya aku mengerjakan laporan
tiba-tiba saja ada map berwarna merah meluncur mulus di atas meja kerjaku,
menyita perhatianku.
“Ini laporan yang kemarin.” Seru Krista
ketus. Ia menatap mataku tajam. Aku membalasnya tak kalah tajam.
“Ada masalah denganku?” aku berusaha
sedatar mungkin.
Krista menatapku dengan mata melebar.
Lalu kemudian kembali tajam. Dengan kesal ia melangkahkan kakinya kembali ke
mejanya. Aku hanya menghembuskan nafas lalu kembali meneruskan pekerjaanku
barusan.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar,
menandakan ada pesan masuk. Ku lihat siapa sang pengirim pesan. Chris.
Nanti malam makan bareng yuk. Sekalian aku
mau ngenalin pacar aku yang baru. Di restaurant biasa, deket rumahku :D
Aku tersenyum. Boleh juga. Jujur saja,
aku penasaran dengan kekasih baru Chris. Aku pun langsung membalas pesan
tersebut lalu kembali meletakannya di atas meja.
***
Aku melangkah memasuki restaurant itu.
Restaurant itu tempat biasa kami makan dan menghabiskan malam bersama. Biasanya
kami datang bersama teman-teman kantor yang lain.
Aku mencari sosok Chris berada. Mataku
tertuju pada seseorang yang sedang menggoyang-goyangkan tangannya di atas. Ku
langsung menghampiri dirinya.
“Loh kok sendiri? Katanya mau ngenalin
pacar baru.” Godaku seraya menarik kursi untukku duduk
Chris tersenyum misterius. “Masih di
jalan katanya. Macet.”
Aku hanya mengangguk lalu melihat-lihat
menu makanan.
Tiba-tiba saja Chris tersenyum lalu
mengangkat tangannya. “Disini.” Serunya gembira. “Itu dia pacar baru aku.”
Aku membalikkan badanku dan menemukan
seorang gadis sedang berjalan kemarin. Aku menyipitkan mataku. Berusaha melihat
wajah gadis itu dengan jelas. Ya tuhan… jangan-jangan…
“Kenalin, Dik. Ini Krista pacar baru aku.”
Ucap Chris dengan bangganya.
Aku menatap wajah Krista yang tak kalah
pucat denganku. Ia hanya menunduk dibawah tatapan mata tajamku.
“Loh kok diem aja? Kalian kan satu
divisi. Nggak pernah ngobrol bukan?” Tanya Chris menatap kami bergantian dengan
bingung.
“Nggak. Cuma sibuk sama pekerjaan
masing-masing aja.” Ucapku singkat lalu kembali melihat menu makanan. Entah
mengapa selera makanku langusng hilang. Mengapa aku harus bertemu dengannya?
Kenapa pula dia harus menjadi pacar Chris?
“Dia ini sahabat aku. Kita dulu satu
kampus. Pokoknya dia teman sependeritaan aku.” Ucap Chris diiringi tawa
bahagia. Kulihat Krista hanya tersenyum lalu sesekali tertawa. Membuatku muak.
Sisa makan malam itu aku mencoba
mengontrol rasa amarahku. Berpura-pura ikut bahagia atas jadiannya Chris dan
Krista, tapi dalam hatiku aku ingin meneriakkan. Hey bung, lihat? Wanita ini
adalah orang yang telah membunuh adikku.
“Makasih banyak ya, Chris atas
traktirannya. Jangan lupa traktir lagi nanti.” Aku berusaha menjadi diriku yang
biasanya dihadapan Chris.
Chris mengangguk. “Makasih juga ya. Mau
makan bareng sama aku dan Krista.” Ucap Chris senang. Kulihat lengannya
merangkul pundak Krista.
“Oke. Kalau gitu. Aku duluan ya, mama
udah nungguin.” Aku pamit lalu langsung pergi menuju mobilku.
Ketika aku sedang memakai seatbelt,
ponselku berdering. Chris
“Halo? Ada apa Chris?”
“Lagi dimana Dik?” tanyanya serius
“Lagi di parkiran nih, mau pergi.
Kenapa?”
“Bisa anterin Krista pulang? Aku harus
balik lagi ke kantor.”
Aku terdiam. Aku harus mengantarkan
wanita itu pulang. Tidak
“Tapi Chris…”
“Please… aku nggak enak nih sama dia.”
Aku mendesah. “Ya udah. Tunggu di tempat
tadi. Aku kesana.”
“Sekali lagi makasih ya, Dik.” Ucap
Chris sungguh-sungguh.
Aku hanya mengangguk. Mengusahakan
senyum persahabatan. Krista sudah duduk manis di sampingku.
“Hati-hati ya sayang.” Chris lalu
mengecup kening Krista lembut.
Aku mulai menjalankan mobilku
meninggalkan restaurant itu menjauh. Selama dalam perjalanan kami hanya saling
diam. Aku berusaha untuk focus pada jalan, dan dia… entah apa yang dia lakukan.
Mobilku berhenti. Sial! Mengapa jam
segini masih macet sih? Rumah Krista masih jauh pula. Aku hanya bisa mendesah
kesal.
Aku mengeluarkan kotak rokok dari laci
mobil. “Boleh aku ngerokok?”
Krista mengangguk pelan.
Aku menyalakan sebatang rokok,
menghisapnya, lalu menghembuskan asapnya keluar jendela. Mencoba menyesapi
setiap bibit-bibit kanker masuk kedalam paru-paru ku.
“Ternyata perempuan yang selalu di
bicarain sama Chris itu kamu.” Aku kembali menghembuskan asap rokok itu.
Krista hanya diam. Pandangan matanya
tertuju pada kedua tangannya yang saling bertumpuk
Aku menghisap batang rokok itu untuk
yang terakhir kali, sebelum membuangnya keluar jendela dan kembali menaikan
kaca mobil.
“Kamu cinta sama dia?” kini aku berani
menatap wajahnya. Tak ada reaksi. Tak ada kata-kata.
Aku mendesah. “Aku minta kamu jauhi dia.
Jauhi Chris.” Aku kembali menjalankan mobil di tengah kemacetan sial ini.
Krista mengangkat kepalanya dan melihat
ke arahku. Terkejut.
Aku menoleh dan melihat matanya. “Aku
serius. Jauhi dia. Aku nggak mau dia tersakiti.”
“Siapa yang menyakiti dia? Aku sayang
sama dia. Kamu nggak berhak ngomong kayak gitu.” Ucap Krista marah.
“Aku tahu siapa kamu. Kamu adalah wanita
yang hanya bisa menyakiti perasaan pria. Kalau kamu cuma ingin menyakiti Chris,
lebih baik kamu pergi darinya.”
Krista hanya mampu melihat ku tanpa
berkata apapun. Mungkin dia terlalu terkejut atau mungkin saja dia tersadar.
Aku tidak berbicara lagi dengannya.
Sibuk dengan pikiran bagaimana agar aku dapat eluar dari kemacetan yang
menyesakkan ini.
***
Aq suka crita ini kak....lanjut yach?;)
ReplyDeleteiya? wah... makasih ya... *nangis terharu*
ReplyDelete