“Serius mas kita mau ke
pantai?”
Aldi mengangguk untuk
kesekian kalinya lalu kemudian memeluk tubuh istrinya dengan sayang.
“Kamu kayaknya gak
percaya sama aku.”
“Bukannya Sarah gak
percaya sama mas. Cuma aja Sarah gak percaya akhirnya Sarah bisa ke pantai
juga.” Ujar Sarah dengan senyum sumringah.
“Emang kamu belum
pernah ke pantai?”
Sarah langsung
menggeleng pelan. “Dulu waktu SMA pernah ada jalan-jalan ke pantai, tapi
sayangnya Sarah gak bisa ikut, soalnya waktu itu Sarah lagi kena cacar.” Raut
wajah Sarah langsung berubah muram.
Aldi langsung mengecup
bibir istrinya. “Jangan cemberut gitu dong, kan besok kita ke pantai.”
Wajah Sarah langsung
kembali cerah membuat Aldi merasa gemas dengan wanita yang telah satu tahun ini
menemani dirinya.
“Sekarang Sarah tidur
biar besok gak kecapean di jalan.” Aldi menarik selimut untuk menutupi tubuh
mereka agar tidak kedinginan.
“Sarah udah gak sabar
lagi buat ke pantai, mas.” Ucap arah sebelum akhirnya ia menutup kedua matanya
yang bulat itu.
Aldi mengecup kening
istrinya dengan sayang. “Mas juga udah gak sabar sayang.”
*****
Sarah sedang menyiapkan
keperluan yang akan di bawa untuk ke pantai nanti, sementara itu Aldi sedang
sibuk menerima telepon dari kantornya.
“Baju udah, cemilan
udah, apa lagi ya yang belum?” ucap Sarah tampak berpikir. “Ah! Topi! Masa ke
pantai gak pake topi.” Kemudian ia mencari topi pantai yang kemarin di belinya
di toko khusus untuk acara ke pantainya kali ini. “Ketemu!”
“Sayang?” Aldi tampak
mencari-cari dimana istri mungilnya itu.
“Iya mas?”
“Sayang em…” Aldi
tampak tak tega untuk mengatakan ini kepada istrinya.
“Kenapa mas?”
“Sayang. Gimana kalau
acara ke pantainya kita tunda dulu?” ucap Aldi sepelan mungkin
Sarah terdiam. “Kenapa
mas?”
“Mas tadi di telpon
atasan mas, katanya mas di suruh menangani proyek baru. Proyeknya lumayan
besar. Kalau berhasil mas bakal dapet kenaikan gaji.”
Sarah kembali terdiam
lalu sedetik kemudian ia tersenyum lembut. “Ya udah gak apa-apa kok mas. Ke
pantainya bisa di tunda.”
“Serius sayang?”
Sarah mengangguk sambil
tersenyum.
Aldi kemudian langsung
memeluk Sarah dengan eratnya. “Kamu memang yang terbaik. Mas janji minggu depan
kita ke pantainya. Muuaaach.” Aldi mencium bibir istrinya dengan gemas.
*****
Aldi benar-benar sibuk
sejak saat itu. Pulang kantor selalu larut malam setelah itu ia sibuk di ruang
kerjanya, sampai ia lupa makan, lupa tidur, dan waktu yang ada selalu di
gunakannya untuk bekerja membuat Sarah merasa khawatir dengan kesehatan
suaminya.
“Mas. Udah malem tidur
yuk.” Bujuk Sarah seraya menghampiri Aldi yang tampak sibuk dengan laptopnya.
“Kamu tidur duluan aja.
Mas masih banyak kerjaan.” Ucap Aldi tanpa beralih dari depan laptopnya
“Mas harus istirahat
kan besok mau ke pantai.”
Aldi langsung berhenti
mengetik, ditatapnya Sarah dengan dahi berkerut. “Emangnya mas janji ya mau ke
pantai besok?”
“Kan mas janjinya
minggu depan mau ke pantai. Ini udah minggu depan.”
Aldi langsung teringat
dengan janjinya minggu lalu. “Kayaknya ke pantainya mesti di tunda lagi deh
sayang, kerjaan mas belum selesai.”
“Tapi mas udah janji
mau ajak Sarah ke pantai.” Ucap Sarah sambil memainkan baju tidurnya dengan
gelisah. Ia merasa acara ke pantainya akan di tunda lagi.
“Tapi kerjaan mas masih
banyak. Nanti kalau kerjaan mas udah selesai kita langsung pergi ke pantai, ya?
Jangan ngambek dong.”
“Janji ya?”
“Iya.” Kemudian Aldi
memeluk tubuh mungil istrinya dengan sayang, sesekali ia mengecup puncak kepala
istrinya. “Sekarang kamu tidur. Udah malem.”
“Mas juga jangan lupa
istirahat ya.”
“Iya sayang.”
Setelah mengecup bibir
istrinya sebagai ucapan selamat malam, Aldi kembali sibuk di depan laptopnya.
*****
Kian hari Aldi semakin
sibuk. Sekarang setiap Aldi pulang ke rumah selalu membawa Dian, asisten
barunya yang membantunya menangani proyek baru, lalu kemudian mereka akan sibuk
di dalam ruang kerja Aldi hingga larut malam. Semakin lama Sarah semakin
cemburu dengan adanya Dian. Entah mengapa Sarah takut nantinya Aldi akan
berselingkuh dengan Dian karena intesitas pertemuan mereka yang sangat sering
tersebut.
Ketika Aldi sedang mengganti
baju kerjanya dengan pakaian yang lebih santai, Sarah mencoba mengeluarkan apa
yang ada di pikirannya selama ini.
“Mas. Sarah pengen besok
kita ke pantai.” Ucap Sarah dengan nada suara tegas.
Aldi yang mendengar
ucapan istrinya langsung mengekerutkan dahi.
“Tapi kan kerjaan mas belum selesai.”
“Sarah gak mau tau,
pokoknya Sarah besok mau ke pantai. Titik.”
Aldi menghampiri
istrinya yang duduk di pinggir ranjang. “Ya gak bisa gitu dong sayang. Kalau
nanti kerjaannya mas tinggal, kasian Dian yang harus kerja sendirian.”
Sarah langsung
mendengus ketika mendengar nama Dian di sebut.
“Mas kok jadi mikirin
Dian? Mas suka ya sama Dian?”
“Kok kamu ngomong gitu
sih sayang?”
“Abis akhir-akhir ini
mas deket banget sama Dian. Apa-apa sama Dian. Dian ini, Dian itu. Mas
selingkuh ya sama Dian?”
“Kamu ngomong apa
sih?!” amarah Aldi yang sedari tadi ia tahan akhirnya tersulut juga. Ia sudah
capek-capek bekerja untuk istrinya dan malah sekarang istrinya menuduh dia
berselingkuh? “Aku tuh capek-capek kerja untuk kamu! Untuk masa depan kita!
Untuk anak kita nanti! Kenapa kamu nuduhnya aku selingkuh? Kamu liat sendiri
kan selama ini aku sama Dian ngapain? Kerja! Dan sekarang kamu dengan
enak-enaknya minta pergi ke pantai besok. Harusnya kamu sebagai istri ngerti
dong. Jangan Cuma minta aja sama suaminya. Aku gak minta macem-macem sama kamu.
Aku Cuma minta kamu ngertiin aku sekarang. Kita bakalan ke pantai kok tapi gak
sekarang, gak juga besok tapi nanti.Kamu jangan kayak anak kecil dong.”
Sarah baru pertama kali
melihat Aldi semarah itu hingga berani membentak dirinya. Sebelumnya Aldi tidak
pernah membentak Sarah, jangankan membentak, memarahi saja tidak pernah. Hati
Sarah sakit mendengar itu semua dari suaminya. Ia menangis terisak sambil
sesekali menghapus air matanya yang mengalir terus.
Ting Tong…
Itu pasti Dian. Aldi
tadi bilang bahwa Dian akan datang terlambat karena harus mengambil berkas yang
tertinggal di kantor. Tanpa ucapan atau kata-kata lagi Aldi langsung keluar
kamar, meninggalkan Sarah yang masih terisak menahan tangis, dan ketika Aldi
keluar, tangis Sarah langsung terdengar memenuhi kamar.
“Sarah Cuma pengen ke
pantai. Apa itu salah? Sarah Cuma pengen berduaan sama mas Aldi. Apa itu salah?
Tapi mas Aldi lebih mentingin kerjannya daripada Sarah, sampe-sampe Sarah di
bentak. Apa mas Aldi udah gak sayang sama Sarah?”
Sarah merebahkan
dirinya di tempat tidur. Sambil memeluk gulingnya dengan erat ia mencoba
meredakan tangisnya. Mungkin karena lelah, akhirnya Sarah jatuh tertidur.
*****
Tok tok tok…
“Mas? Sarah hari ini
mau pergi belanja mas mau ikut?” tanya Sarah hati-hati. Pagi ini ia mencoba
berkomunikasi lagi dengan suaminya.
“Kamu pergi sendiri
aja. Mas hari ini mau nyiapin untuk presentasi nanti siang.” Jawab Aldi dengan
mata masih terfokus pada laptopnya.
Sarah menunduk. “Tapi
biasanya mas mau nemenin Sarah belanja.”
Aldi langsung
menghentikkan jari-jarinya yang sedang mengetik. “Mas hari ini gak bisa. Kamu
pagi-pagi jangan bikin mas marah dong.” Aldi mulai mengetik kembali. “Kamu
pergi aja sama bi Inah.”
Sarah yang masih
mencoba menahan air matanya yang mau keluar. “Ya udah, mas mau nitip apa?”
“Nggak ada.” Jawab Aldi
singkat.
“Emm… Sarah berangkat
ya, mas. Assalamualaikum.”
“Walaikumsallam.”
*****
“Udah non, jangan sedih
lagi. Kalau non sedih bibi juga ikut sedih.” Ujar bi Inah ketika mereka
berjalan hendak pulang ke rumah.
“Sarah Cuma ngerasa mas
Aldi udah gak sayang lagi sama Sarah” ujar Sarah sambil merenggut.
“Kok non ngomong gitu
sih?”
“Abis mas Aldi lebih
mentingin kerjaannya daripada Sarah.”
“Kan den Aldi kerja
buat non juga, buat anaknya non juga nanti.”
“Sarah nggak peduli
sama uang bi. Sarah Cuma pengen mas Aldi peduli sama Sarah.”
Bi Ina tidak berani
berbicara lagi. Ia merasa tidak sepantasnya mencampuri rumah tangga majikannya
terlalu jauh.
“O ya bi. Tadi
buah-buahannya udah kebeli belum?” ujar Sarah tiba-tiba.
Bi Inah tampak
berpikir. “Kayaknya belum non.”
“Ya udah bi Inah
langsung aja pulang ke rumah, Sarah beli buah-buahannya dulu.” Tanpa
mengharapkan jawaban dari Bi Inah, Sarah langsung menyebrang jalan tanpa
melihat kiri kanan terlebih dahulu.
“NON AWASSSSS.”
BRUKKKK….
“NONNNNNN….”
Semuanya menjadi gelap.
****
“Dengan menggunakan
lahan tersebut dapat di perkirakan kita akan mendapat beberapa keuntungan,
diantaranya udara yang bersih….”
Tut tut tut…
Tiba-tiba saja ponsel
Aldi berbunyi. Ia lupa men-silent ponselnya tadi. Ia melihat siapa yang
menelpon. Sarah. Aldi merasa geram. Untuk apa Sarah menelponnya bukankah ia
sudah memberitahu kepada istrinya kalau hari ini ia akan presentasi?
Dengan cepat ia
me-reject panggilang tersebut lalu memasukkan ponselnya kembali ke saku.
“Maaf atas
ketidaknyamanan tadi. Selain udara yang bersih, keuntungan yang akan kita
peroleh adalah harga tanah yang murah…”
Tut tut tut….
Aldi kembali merogoh
sakunya. Sarah. Apa mau wanita itu? Kembali ia me-reject panggilan tersebut,
namun kali ini ia mematikan ponselnya agar tidak menganggu.
“Jadi, dari beberapa
keuntungan barusan kita dapat menghemat pengeluaran biaya.”
Tiba-tiba saja Laras,
sekretarisnya masuk ke ruang rapat dengan wajah pucat pasi. “Pak Aldi?”
Aldi merasa amarahnya
mulai memuncak. Apa lagi sekarang?
“Ada apa, Laras? Tidak
bisakah menunggu saya selesai?”
“Maaf pak tapi ini
darurat.”
Aldi mengerutkan
dahinya. “Darurat bagaimana?”
“Bu Sarah kecelakaan
pak, sekarang di bawa ke rumah sakit.”
“Apa?!”
*****
Aldi berjalan dengan
tergesa-gesa dalam lorong rumah sakit, berkali-kali ia menabrak ornag yang
berada di lorong. Ia langsung mohon undur diri dari ruang rapat dan menyerahkan
presentasinya kepada Dian. Pikirannya terfokus pada istrinya, Sarah.
“Mama?” ia melihat ibu
mertuanya di depan ruang operasi. “Sarah gimana ma?” tanya Aldi panic.
“Sarah lagi di dalam,
Al.”
Aldi memandangi pintu
ruang operasi dengan was-was. Tuhan, tolong selamatkan Sarah.
Setelah beberapa menit
yang mengangkan akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang memakai
seragam berwarna hijau keluar dari ruangan.
“Bagaimana keadaan
istri saya dok?” tanya Aldi langsung
Dokter memandangi wajah
Aldi dengan sedih. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Bu Sarah
kehilangan darah cukup banyak. Jadi dengan berat hati.”
“Nggak!!! Nggak mungkin
dok? Dokter jangan bercanda sama saya ya?” Aldi langsung mencengkram baju
dokter.
“Al, sabar nak. Kamu
harus tenang.” Ucap mama seraya menahan tangis.
Aldi melepaskan
cengkramannya dan langsung berlari ke dalam. Dilihatnya sosok Sarah di tengah
ruangan. Wajahnya sudah memutih dan pucat.
“Sayang.” Bibir Aldi
bergetar. Ia tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia mendekati tubuh Sarah. Dingin.
Ia langsung memeluk tubuh istrinya dengan erat. “Bangun sayang. Sarah, bangun…
jangan tinggalin mas sayang.” Ia mengusap rambut istrinya dengan sayang. Ia
kemudian teringat dengan janjinya. “Sarah mau ke pantai? Kita ke pantai besok,
nggak sekarang. Kita pergi ke pantai sekarang sayang, tapi kamu bangun dulu.”
Air mata Aldi mulai berjatuhan. “Ayo bangun sayang, temani mas pergi ke pantai.
Kita bikin istana pasir disana, kita lihat sunset disana.”
Mama yang melihat
kejadian tersebut hanya mampu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia tak
sanggup lagi untuk berbicara.
“Jangan pergi sayang,
mas mohon. Bangun… Kita pergi ke pantai sekarang. Kita main kejar-kejaran
disana. Kamu yang lari, mas yang ngejar. Itu kan yang kamu mau?”
“Aldi.” Mama memegang bahu
Aldi dan meremasnya dengan lembut. “Ikhlasin Sarah, nak.”
Aldi menggeleng. “Nggak
ma. Sarah gak boleh pergi. Aldi belum bawa Sarah ke pantai.”
“Bangun sayang…”
****
Aldi memasuki kamarnya
dengan mata kosong. Ia melepas dasi dan jas hitam yang ia gunakan dan
melemparnya dengan asal. Kemudian ia duduk di pinggir ranjang dengan tatapan
mata kosong.
Sudah tidak ada lagi
Sarah-nya. Sudah tidak ada lagi.
Ia membuka lemari
pakaiannya, hendak mengganti pakaiannya. Tiba-tiba saja matanya menangkap
sebuah dress berwarna merah muda.
“Bagus
gak mas? Sarah baru beli tadi. Kan kita mau ke pantai, jadi Sarah beli dress
ini. Bagus gak?” tanya Sarah memperlihatkan dress berwarna merah muda ke
hadapan suaminya. “Sarah juga beli topi ini. Ini kan topi yang biasanya orang-orang
pake ke pantai. Kalau Sarah pake bagus gak?” Sarah kemudian memakai topi itu.
Wajahnya semakin terlihat imut dan menggemaskan ketika memakai topi itu.
“Kamu
pake dong. Biar mas tahu itu bagus apa nggak.”
Sarah
kemudian menggeleng. “Sarah gak mau pake kalau kita belum nyampe pantai. Biar
kerasa aura pantainya.” Ucap Sarah sambil tersenyum lebar.
“Aura
pantai? Hahaha…” Aldi tertawa lebar ketika mendengar ucapan istrinya tersebut.
“Kok
mas ketawa sih?” ucap Sarah cemberut.
Aldi
menghampiri istrinya. “Jangan cemberut dong sayang, ntar imutnya ilang.”
Kemudian Aldi menggelitik tubuh istrinya hingga Sarah terkikik senang dan
memohon ampun.
“Sarah…” kemudian ia
memeluk dress tersebut dengan eratnya. Kembali air mata Aldi berjatuhan.
“Maafin mas sayang, mas belum bisa bawa kamu ke pantai. Maafin mas.”
Hiks.. Sdih bgt :'(:'(:'(
ReplyDeleteGtu tu cwok klo udh lengket sma krjaanny..
Huuuuu :'(
-mendy jane-
puk puk.... peluk mendy [{}]
Deletejangan nangis cayang... hahha... ini di buat pas aku lg galau tingkat akut hahhaa
Bagus banget ceritanya T_T
ReplyDeletelangsung nangis tau endingnya.
sini sini peluk dulu... *peluk nadia*
Deletemaaf baru baca comment mu, aku baru buka blog lg nih haha.
waaaahhh makasih banget udah bilang cerita aku bagus merasa terharu *menitikan air mata* :D