“Well, kau tidak terlambat hari ini, Claura.”
Ujar Paula ketika kami berjalan menuju kantin. Barusan kami ada kuis, dan
untungnya kali ini aku tidak terlambat.
Aku menaruh tas di atas
meja kantin. “Yeah, aku tidak ingin di keluarkan lagi. Apalagi hari ini ada
kuis.”
Kami memesan makanan.
Makanan berat karena setelah ini aku harus kembali masuk karena ada kelas.
“Oh ya, hari ini Mom
dan Dad datang. Kami ingin mengadakan pesta kelulusan Gerald. Mom ingin aku
mengundangmu.”
Gerald adalah kakak
Paula. Mereka berdua tinggal disini jauh dari orang tua mereka yang tinggal di
pinggiran kota. Kudengar Gerald memang baru lulus dari universitas.
“Aku akan datang. Jam
berapa aku harus kesana?”
Keluarga Paula sudah ku
anggap sebagai keluarga ku sendiri. Aku dan Paula sudah bersahabat ketika kami
masih di bangku sekolah dasar. Ya kami datang dari kota yang sama dan sekarang kami
masih tetap bersama. Hanya Paula yang mau berteman denganku ketika aku masih
kecil. Dimana anak-anak yang lain menertawai dan menhinaku karena aku tidak
memiliki ayah, Paula datang dan membelaku. Sejak saat itu kami tidak
terpisahkan. Ketika aku mendengar kalau Paula ingin kuliah di luar kota, aku
pun ingin mengikutinya. Karena Paula lah, Mom akhirnya mengizinkanku pergi.
Paula sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri.
“Jam 8 malam. Oke?”
“Oke.” Ujarku seraya
tersenyum lebar.
####
“Hai, cantik.”
“Andreas?” ucapku
terkejut. “Apa yang kau lakukan disini?” bisikku.
“Aku ingin menjemput
cantikku pulang. Kau hari ini tidak ke restaurant ‘kan?”
Aku mengok ke kiri dan
ke kanan. Sosok Andreas yang mencolok membuatku takut menarik perhatian.
“Tidak. Tapi aku harus pergi.”
Andreas menaikkan
alisnya. “Pergi? Kemana?”
“Keluarga Paula
mengajakku makan malam. Merayakan kelulusan Gerald, kakak Paula.”
“Bolehkah aku ikut?”
tanyanya antusias.
“Apa? Tidak. Tentu saja
tidak.” Aku menggeleng keras.
Andreas memasang wajah
bersedih. “Jangan memasang wajah seperti itu Andreas. Kau tahu kau tidak bisa
ikut.”
“Jam berapa kau akan
pergi?”
“Jam 8 dan tidak usah
mengantarku karena aku akan pergi sendiri.” Ucapku ketika kulihat ia membuka
mulutnya hendak menyela ucapaku.
“Tapi kau harus
berganti baju bukan? Ayo ku antar kau pulang.”
Aku mengikutinya
berjalan memasuki mobilnya.
“Lain kali kau tidak
perlu menjemputku.” Ucapku ketika kami meninggalkan daerah kampus.
“Kenapa?” tanyanya
bingung.
“Kau terlalu mencolok,
Andreas. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian.” Tentu saja tidak. Sewaktu
kecil aku pernah menjadi pusat perhatian dan rasanya seperti aku ingin bunuh
diri.
“Karena aku mengendarai
mobilku?”
“Salah satunya itu tapi
bukan itu alasan utama.” Aku melirik dan melihat Andreas menatapku. Menunggu
jawaban. “Karena kau. Kau begitu tampan dan menarik perhatian.”
Andreas tersenyum.
“Jadi kau mengakui bahwa aku tampan?”
Aku menarik aliski.
Menatapnya dengan aneh. “Hanya orang bodoh yang menganggapmu jelek.”
Dan… Cup….
Andreas mengecup bibirku
singkat. Membuatku sedikit terkejut. Untung saja saat itu sedang lampu merah.
“Aku senang karena
pacarku mengatakan bahwa aku tampan.” Seringainya yang terlihat
kekanak-kanakan.
“Sejak kapan aku
menjadi pacarmu?” ya sejak kapan? Oh apakah sejak ia memberiku kalung indah
berwarna silver dengan bintang di tengahnya, atau sejak ia tidur di tempatku
beberapa malam terakhir – tidak kami tidak melakukan hal ‘itu’, bila itu yang
kau maksud- , atau sejak ia memberikanku bunga mawar putih setiap harinya?
“Sejak kau bilang aku
adalah lelaki yang tampan.” Ia kembali tersenyum di sela-sela mengemudinya.
####
“Kau akan pulang jam
berapa?”
“Jam 11 mungkin.
Acaranya pasti lama. Apalagi aku sudah lama tidak bertemu dengan keluarga
Paula.” Aku membuka lemari dan mengeluarkan kopi dan creamer.
“Sepertinya kau dekat
dengan keluarganya Paula.” Ujar Andreas seraya menyalakan televise.
“Ya. Aku sudah
menganggap keluarga Paula seperti keluargaku sendiri.” Aku mengeluarkan dua mug
dari lemari yang lain.
Andreas dan aku
memiliki kesamaan dalam hal meminum kopi. Kami sama-sama menyukai kopi dengan
banyak creamer. Ya satu sendok teh kopi dan tiga sendok cremer juga tidak lupa
gula.
“Kau sudah lama
berteman dengan Paula?” Andreas menggeser tempat duduknya ketika melihat aku
datang dengan dua mug yang mengepul. Aku memberikannya mug miliknya dan duduk
di samping Andreas. Aku menyenderkan kepalaku di bahunya dan ia memeluk bahuku.
Dengan kedua kaki dilipat dan naik ke atas sofa.
“Sejak kami masih
sekolah dasar dulu.” Ucapku seraya meniup kopiku lalu menyeruputnya.
Andreas mengusap
tangannya yang berada di bahuku. Membuatku merasa nyaman. “Apakah kau menceritakan
soal kita kepadanya?”
Aku menggeleng. “Tidak.
Aku rasa belum saatnya.” Aku mendongak dan melihat ke arah matanya yang coklat.
“Bukan maksudku aku merasa malu atau apa tapi….”
Andreas mengusap
kepalaku dengan sayang lalu tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu. Lagipula itu bukan
urusanku sayang. Urusanku adalah tetap membuatmu merasa nyaman denganku.”
Aku tersenyum. Senang
karena Andreas mau mengerti.
“Apakah kau akan
menginap lagi hari ini?”
“Kau ingin aku
menginap?”
Aku terdiam. Apakah aku
ingin ia menginap lagi? Aku ingin.
Aku mengangguk pelan.
Andreas tersenyum.
“Baiklah aku akan menginap. Aku akan pulang dulu mengganti baju lalu kembali
lagi kesini. Mungkin aku akan membawa beberpa pekerjaanku dan menyelesaikannya
selagi menunggumu pulang.”
Aku menaruh mug ku yang
sudah kosong. Mencium bibirnya sebentar lalu melingkarkan tanganku di
pinggangnya. Merasakan detak jantungnya yang berdetak di telingaku saat
kepalaku di dadanya. Begitu hangat dan nyaman.
lah\gi....lagi.....lagi...ah nanggung....................T.T
ReplyDeletewkwkwk... ntr malem ya... kalau modemny tidak labil koneksi wkwkwk
DeleteLagi! Lagi! Lagi!!!
ReplyDeleteNanggunggggg :'(
So curious!!!
senangnya ada yang mau menunggu *peluk mendy* yang sbar aja ya menunggunya wkwk :)
Delete