Monday 12 August 2013

Revenge (One Shoot)

 masih inget sama cerita ini? nggak juga nggak apa-apa sih. kalau nggak inget ya aku ingetin *apaan sih?*
cerita ini adalah cerpen pertama yang aku buat dan dengan nekatnya aku kirim pas waktu ultahnya PorNov. dan nggak menang sih. tapi cerita ini awal mula aku berani publish cerita-cerita lain. 
karena bingung mau publish apa. jadi aku publish cerita ini aja. oke! selamat menikmati :)
PS: maaf-maaf aja kalau kurang hot *nunduk*



Aku membenci wanita itu. Sangat membencinya. Sebenarnya tak ada yang salah dari dirinya. Dia cantik. Manis. Berambut hitam sebahu dan juga baik. Tapi dia adalah penyebab utama kematian adikku. Ya, Adikku satu-satunya. Yuda.
Aku ingat bagaimana pertama kali Yuda menceritakan siapa wanita ini kepadaku. Rasa kagumnya kepada wanita ini tak mampu di tutupinya. Wajahnya selalu tersipu malu ketika menyebut nama wanita ini. Krista.
"Tadi pagi dia buatin aku makan siang sebelum meeting. Seneng sih, aku kira cuma aku aja yang dibikinin kak tapi ternyata satu ruangan meeting juga di bikinin hahahha bikin ge er aja." Ucapnya malu-malu sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku hanya tertawa-tawa ketika dia selalu menceritakan hal konyol yang dia lakukan di depan wanita itu. Sesekali aku menjitak kepalanya karena dia bertindak tidak gentle dan bodoh di hadapan wanita itu.
Aku belum pernah bertemu dengan Krista. Untuk apa? Aku bukan orang yang ingin tahu kehidupan orang lain, meskipun itu kehidupan adikku sendiri. Yuda sering menceritakan kalau Krista begini. Krista begitu. Tapi aku sama sekali tidak tertarik.
Suatu hari ketika kami berdua sedang duduk-duduk di teras sambil menyeruput kopi kami masing-masing. Yuda kembali menceritakan kisahnya bersama Krista di kantor. Aku mendengarnya sambil lalu.
"Kalau kamu mau dia lihat kamu. Ya kamu tembak dong. Jangan cuma di belakang aja beraninya." Ujarku seraya meletakkan gitar di samping sofa.
Yuda menyeruput kopi hangatnya lalu menaikkan kakinya ke atas sofa. "Sebenernya juga gitu, Kak. Aku pengen nembak dia."
Aku langsung menengok ke arahnya. "Bagus dong. Tunggu apa lagi? Sebelum kamu di dahului orang lain. Aku dukung kamu." Aku mengacungkan ibu jariku sebagai tanda dukunganku.
Yuda tersenyum riang. "Tapi masih belum berani. Takut di tolak." Yuda kembali termenung.
Aku menepuk punggungnya keras, sampai-sampai Yuda meringis kesakitan. "Kamu laki-laki bukan sih? Kalau laki-laki berani ambil resiko. Kalau kata orang tuh, langsung sikat aja." Seruku marah-marah. Terkadang aku ingin menjitaknya habis-habisan karena sikapnya yang pemalu.
Esok paginya ketika aku hendak berangkat kerja. Kulihat ada sebucket bunga mawar tergeletak di atas meja makan. Aku melihat bunga itu lama.
"Itu punya kamu, Dika?" tanya mama membuyarkan lamunanku.
Aku menggeleng. "Bukan ma. Aku kira ini punya mama."
Mama menggeleng. "Dari tadi pagi ada disini. Lagian mama nggak suka mawar. Banyak durinya."
Seketika itu juga Yuda datang dengan membawa dasinya yang belum terpasang dan tas kerjanya dengan terburu-buru. Dia menghampiri meja makan lalu duduk tanpa memperhatikan kami yang berada di sekitarnya. Dengan tergesa-gesa di baliknya piring yang berada di hadapannya lalu di isinya dengan nasi goreng dan memakannya dengan lahap. Aku dan mama hanya terpaku melihat kejadian itu.
"Ini bunga, punya kamu?" tanyaku ketika aku menarik kursi di sampingnya lalu duduk.
Yuda menghentikan kunyahannya lalu melihat bunga yang berada di tanganku. Ia langsung tersedak dan tangannya mencari-cari air putih.
"Udah dateng rupanya." Ucapnya seraya meletakkan gelas. "Aku kemarin pesen ke tukang bunga, di suruh di anter ke rumah." Yuda mengulurkan tangannya meminta bunga itu.
"Buat apa kamu mesen bunga segala, Yud?" tanya mama seraya membalikkan piringnya.
Yuda tersipu malu. "Aku mau nembak Krista malam ini."
Kini giliran aku yang tersedak makananku. Aku meneguk air putih yang berada di hadapanku dengan terburu-buru. "Apa?"
"Iya. Aku udah booking restoran buat aku nembak dia. Kemarin aku ngajak dia nonton, hari ini mau ngajak dia makan"
Aku tersenyum lebar. "Gitu dong. Gentle man. Itu baru namanya adikku." Ucapku bangga seraya menepuk bahunya.
!@#$%^&*()
Malamnya ketika aku sedang mengerjakan laporan keuangan di kamarku, ponselku berbunyi. Yuda.
Aku tersenyum ketika melihat nama yang muncul. "Pasti pengen pamer karena dapet pacar baru." gumamku lalu menekan tombol di ponsel.
"Ada apa Yud?"
"Ini bapak Andika?" terdengar suara berat seorang bapak-bapak di sana. Ini bukan suara Yuda.
"Iya, ini saya. Anda siapa ya?" tanyaku hati-hati.
"Bapak Yuda mengalami kecelakaan lalu lintas. Baru saja di bawa ke rumah sakit, saya orang yang menemukan dompet dan ponsel dari bapak Yuda."
Seketika itu juga aku membeku. Yuda kecelakaan? Setelah menanyakan alamat rumah sakit aku langsung bergegas menuju ke sana. Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lama. Padahal jaraknya dari rumah ku tidak terlalu jauh, jalanan pun sedang tidak ramai. Sesampainya di sana, aku berlari mencari-cari dimana ruang perawatan Yuda.
"Bapak mencari siapa?" tanya seornag suster menghampiriku
"Yuda. Yuda Kameswara. Tadi ada yang nelfon saya kalau adik saya tadi masuk rumah sakit ini." Nafasku tersengal-sengal ketika menjawab pertanyaan suster tersebut.
"Anda Bapak Andika?" tanya seorang pria paruh baya menghampiriku. Aku melihat pria itu dengan tatapan hati-hati.
"Kenalkan saya Pram. Saya yang tadi nelfon anda." Bapak itu mengulurkan tangannya aku menyambutnya dengan hormat.
"Adik saya dimana sekarang?"
Seketika itu juga raut wajahnya berubah. Nampak sekali ketakutan di wajahnya.
"Adik saya dimana sekarang?" desakku tidak sabar. Mengapa tubuhku menjadi tidak enak begini. Perasaan apa ini?
"Baru beberapa menit yang lalu, nak Yuda meninggal dunia. Sekarang jenazahnya sedang di bawa ke ruang jenazah."
Seketika itu juga aku merasa duniaku runtuh dan hancur. Adikku satu-satunya. Meninggal?
!@#$%^&*()
Sejak saat itu aku mendengar banyak desas desus bagaimana kematian Yuda, tapi tak ada yang benar-benar terpercaya dan masuk akal. Sampai suatu ketika....
"Kamu tahu Krista?" tanya seorang karyawan wanita di samping bilik kerjaku.
"Tahu. Karyawan baru itu kan?" kini giliran si wanita di samping biliknya berbicara.
"Kamu tahu nggak gosip tentang dia?"
"Apa?" tanya si wanita mau tahu
"Katanya dia pernah nolak seorang cowok, temen satu kantornya dulu. Terus cowok itu nggak terima dia langsung bunuh diri. Katanya sih kecelakaan mobil, tapi dugaan kuat gara-gara di tolak sama Krista itu. Padahal cowoknya ganteng banget."
Aku mulai memutar mataku dan mendengus kesal ketika mendengar kedua wanita ini bergosip.
"Kamu tahu siapa cowoknya?" tanya temannya penasaran.
"Namanya Yuda, apa Yudi apa, Budi.... Yuda Iya namanya Yuda."
Seketika itu juga mataku melebar. Yuda? Apakah yang di katakan para wanita bergosip itu benar? Jadi.... Semua ini karena Krista ya... Dia harus mendapat balasannya.
!@#$%^&*()
Ternyata Krista di tempatkan di divisi dimana aku bekerja. Aku hanya tersenyum kecut ketika dia memperkenalkan diri. Entah mengapa timbul kebencian yang sudah lama menumpuk. Aku harus menyakitinya.
"Dika, nanti kamu bantu dia bikin laporan keuangan bulan Agustus ya. Dia kan baru." Ucap bosku seraya memperkenalkan Krista di hadapanku. Aku hanya mengangguk kecil sebagai tanda hormat.
"Nah sekarang kalian bisa langsung bekerja sama. Saya mau ke ruangan saya dulu."
Tercipta suasana canggung ketika bossku sudah pergi. Saling diam dan tak tahu harus bicara apa. Benar-benar bodoh.
!@#$%^&*()
Sudah 3 bulan ini kami bekerja sebagai partner. Dia partner yang baik, namun tidak cukup baik untuk meluluhkan haiku. Hati ini sudah di penuhi kebencian kepadanya. Sering aku bertindak acuh tak acuh atau sama sekali tak menganggapnya ada.
"Ini rincian data yang kamu minta." Krista menyerahkan kepadaku map berwarna merah. Au hanya melihatnya sekilas lalu kembali kepada komputerku.
"Kalau begitu aku pulang dulu." Ucapnya kemudian lalu kembali ke mejanya.
"Tunggu dulu!" Seru ku cepat. Krista langsung menoleh dan menatapku heran.
"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu."
"Silahkan saja."
"Aku...."
Tiba-tiba ponsel Krista berbunyi. Dia langsung merogoh ke dalam tasnya dan mencari-cari ponselnya. Di angkatnya ponsel itu. Terlihat senyum cerianya ketika mendengar suara dari sebrang sana. Dia membalikkan badan agar aku tak mendengar percakapan mereka berdua.
"Maaf. Tadi mau bicara apa?" tanyanya seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Itu tadi pacarmu?"
Krista tersenyum malu-malu, lalu mengangguk. "Kami baru jadian sebulan yang lalu."
Tiba-tiba rasa kemarahan merasuki diriku. Wanita ini sedang asik berpacaran, sedangkan adikku sedang terbujur kaku di dalam tanah yang dingin dan sendiri. Tidak bisa aku terima.
Aku langsung mendorong tubuh Krista hingga menabrak tembok lalu mencengkram kedua tangannya ke atas. Krista memberontak. Ia meraung-raung meminta tolong dan menggeliyat berusaha melepaskan cengkramanku.
"Jangan! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan?" Teriak Krista meronta-ronta. Ruangan kantor kami sudah sepi. Sudah pukul 8 malam. Satpam pun pasti sedang ngopi di warung depan. Dia benar-benar terjebak.
Aku menatap matanya tajam. Matanya sudah mulai berair. Rontaannya juga semakin berkurang. Aku memegang dagunya dan menyajarkan wajahnya dengan wajahku. 
"Kalian baru jadian ya?" Suaraku terdengar sinis dan menyeramkan. "Kalau begitu, gaya berpacaran kalian sudah sejauh mana ya?" Aku membelai pipinya dengan jariku, dia hanya memejamkan matanya erat.
 "Bagaimana dengan bibir ini? Apakah dia sudah pernah menciummu?" Aku melihat ekspresinya. Masih sama. "Ku ambil kesimpulan belum. Ehm... sepertinya bibir ini begitu lezat." Aku mendekatkan wajahku. Nafas kami saling membaur. Bibirku sudah menyentuh bibirnya. Benar-benar lembut. Krista berusaha memundurkan tubuhnya namun itu sia-sia.
Aku berusaha membuka mulutnya dengan pelan dan lembut. Aku mencari-cari lidahnya. Manis sekali. Ku dengar dia mengeram. Dia menyukainya. Aku mulai berani melumat bibirnya dengan lembut. Aku ingin dia tersiksa.
Tanganku masuk ke dalam rok birunya. Mencari-cari dimana letak kenikmatannya berada. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Aku mendapatkannya. Perlahan aku memasukkan jariku sedikit demi sedikit ke dalam dirinya. Dia mengeram. Lengannya sudah memegang bahuku erat. Aku gerakkan jariku yang berada di dalam dirinya. Matanya terbuka. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku jamin pasti suatu kenikmatan.
Lama jariku berada di dalamnya. Tiba-tiba tubuhnya mulai bergetar. Dia sudah sampai. Aku melepaskan ciumanku. Nafasnya terengah-engah, begitu pun aku. Dia langsung ambruk jatuh ke lantai dan tampilannya begitu acak-acakan. Di jari-jariku masih tersisa lendir kenikmatan miliknya. Aku jilat satu persatu hingga bersih.
"Kamu tahu? Kamu punya rasa yang lezat." Aku tersenyum sinis. Aku berjalan ke mejaku, mengambil tasku, lalu pergi dari ruangan itu.
!@$%^&*
Esoknya aku datang ke kantor biasa saja. Seperti tidak ada yang terjadi. Kuperhatikan sikapnya, dia juga biasa saja. Masih tertawa, bercanda, dan berbicara seperti hari-hari sebelumnya.
Saat ku lewati mejanya. Dia berhenti mengetik dan menatapku lama. Aku balas menatapnya dengan tatapan tajam. Apa maksudnya menatapku seperti itu?
!@#$%^&*()
"Ini data yang kamu minta." Dia melemparkan dokumen di hadapanku. Aku menatap dokumen itu lama lalu menatap wajahnya tajam.
“Ada masalah denganku?” tanyaku membaca ekspresinya.
Hari ini aku lembur lagi. Sialnya, aku kembali lembur bersama Krista.
Dia kembali menatapku tajam. “Apa yang sudah kamu lakukan kemarin adalah pelecehan. Aku bisa saja melaporkanmu pada polisi.” Jadi dia mau mengancamku.
“Lalu mengapa tak kamu laporkan?” Aku membalasnya.
“Karena apa yang kamu lakukan kemarin tidak pernah bisa aku lupakan. Setiap aku melihatmu. Kejadian itu kembali terulang. Sentuhanmu, desahan nafasmu, ciumanmu. Hingga saat ini masih bisa aku rasakan. Apa yang kmau lakuan kepadaku?”
Aku beranjak dari kursiku. Berdiri sambil melihat matanya yang mulai berair. “Kenal Yuda?”
Dia tersentak. Cukup lama terdiam lalu tersentak kaget. “Yuda Kameswara?”
Aku tersenyum sinis. “Dia adikku.”
Matanya melebar. Aku mengambil langkah untuk mendekatinya dengan perlahan. Merasa terancam dia melangkah mundur.
“Kamu telah menghancurkan hidup adikku. Kamu telah menghancurkan hatinya. Kematiannya itu karena kamu.”
Dia kembali melangkah mundur. Wajahnya begitu pucat. “Apa yang kamu bicarakan?”
“Kamu menolaknya.” Nada suaraku tenang namun mematikan
Dia seperti tersadar. Sepertinya dia sudah mengerti kemana arah bicaraku.
“Itu karena aku tidak ada perasaan apa-apa kepadanya. Aku hanya menganggapnya teman.”
“Tapi dia menganggapmu lebih. Dia memujamu.”
Wajahnya begitu memelas. Dia sudah pasrah. Aku hanya mendengus lalu tertawa melihat ekspresinya yang tidak berdaya itu. “Tolong... Jangan...” pintanya memohon.
Dia sudah tersudut. Jarak kami hanya tinggal beberapa centi lagi. Aku mulai membelai pipinya. “Kamu bilang kamu tidak bisa melupakan aku.” Aku mencium pipinya dan menjilatnya dengan lidahku. Ehm, rasanya manis. “Mari kita melakukannya lagi, sayang.” Aku mulai melumat bibirnya dengan lembut. Aku ingin dia tunduk kepadaku. Memujaku. Seperti Yuda memuja dirinya. Dia milikku.
!@#$%^&*()
Setelah hari itu. Dia memutuskan pacarnya. Setelah hari itu juga percintaan kami lebih berani. Sering kami berhubungan sex di hotel, rumahnya, atau juga rumahku. Dia benar-benar telah menjadi milikku. Orang-orang kantor menganggap kami berpacaran. Aku hanya tersenyum saja ketika ada yang bilang demikian.
“Hai, lagi mikirin apa?” Krista menghampiriku seraya merangkul leherku dari belakang.
“Udah bangun?” Aku menarik lengannya dan memeluk tubuh telanjangnya yang telah berada dalam pangkuanku. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” Aku mencium rambutnya dan menghirupnya dalam. Seperti biasa selalu wangi.
Dia mengangguk. “Seperti biasa.” Krista menolehkan kepalanya kebelakang dan matanya langsung menatap mataku.
“Apa?” tuntutku tajam.
Dia tertawa. “Kau begitu tampan.” Jarinya membelai pipiku. “Lelaki tampan yang menjadi milikku.”  Ucapnya memuja wajahku. Aku menangkap jarinya dan menciumnya dengan lembut.
“Kau juga. Wanita cantik yang menjadi milikku.” Aku mendekapnya lebih erat. Mencium pelipisnya dengan sayang.
Ya tuhan! Apa yang terjadi? Apakah... apakah aku mencintainya? Mencintai wanita yang seharusnya menjadi milik adikku. Aku memejamkan mata. Rencanaku sepertinya gagal.
Aku tersenyum menyadari kebodohanku.
“Ada apa?” tanya Krista membuyarkan lamunanku
Aku menggeleng. “Nggak ada apa-apa.” Aku mencium bibirnya dengan lembut. Merebahkan tubuh mungilnya di tempat tidur. Kembali menghanyutkan dirinya kedalam kenikmatan berdua. Memeluk tubuhnya dan mendekapnya erat. Karena dia milikku.




No comments:

Post a Comment