masih inget sama cerita ini? nggak juga nggak apa-apa sih. kalau nggak inget ya aku ingetin *apaan sih?*
cerita ini adalah cerpen pertama yang aku buat dan dengan nekatnya aku kirim pas waktu ultahnya PorNov. dan nggak menang sih. tapi cerita ini awal mula aku berani publish cerita-cerita lain.
karena bingung mau publish apa. jadi aku publish cerita ini aja. oke! selamat menikmati :)
PS: maaf-maaf aja kalau kurang hot *nunduk*
Aku membenci
wanita itu. Sangat membencinya. Sebenarnya tak ada yang salah dari dirinya. Dia
cantik. Manis. Berambut hitam sebahu dan juga baik. Tapi dia adalah penyebab
utama kematian adikku. Ya, Adikku satu-satunya. Yuda.
Aku ingat
bagaimana pertama kali Yuda menceritakan siapa wanita ini kepadaku. Rasa
kagumnya kepada wanita ini tak mampu di tutupinya. Wajahnya selalu tersipu malu
ketika menyebut nama wanita ini. Krista.
"Tadi
pagi dia buatin aku makan siang sebelum meeting. Seneng sih, aku kira cuma aku
aja yang dibikinin kak tapi ternyata satu ruangan meeting juga di bikinin
hahahha bikin ge er aja." Ucapnya malu-malu sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
Aku hanya
tertawa-tawa ketika dia selalu menceritakan hal konyol yang dia lakukan di
depan wanita itu. Sesekali aku menjitak kepalanya karena dia bertindak tidak
gentle dan bodoh di hadapan wanita itu.
Aku belum
pernah bertemu dengan Krista. Untuk apa? Aku bukan orang yang ingin tahu
kehidupan orang lain, meskipun itu kehidupan adikku sendiri. Yuda sering
menceritakan kalau Krista begini. Krista begitu. Tapi aku sama sekali tidak
tertarik.
Suatu hari
ketika kami berdua sedang duduk-duduk di teras sambil menyeruput kopi kami
masing-masing. Yuda kembali menceritakan kisahnya bersama Krista di kantor. Aku
mendengarnya sambil lalu.
"Kalau
kamu mau dia lihat kamu. Ya kamu tembak dong. Jangan cuma di belakang aja
beraninya." Ujarku seraya meletakkan gitar di samping sofa.
Yuda
menyeruput kopi hangatnya lalu menaikkan kakinya ke atas sofa. "Sebenernya
juga gitu, Kak. Aku pengen nembak dia."
Aku langsung
menengok ke arahnya. "Bagus dong. Tunggu apa lagi? Sebelum kamu di dahului
orang lain. Aku dukung kamu." Aku mengacungkan ibu jariku sebagai tanda
dukunganku.
Yuda tersenyum
riang. "Tapi masih belum berani. Takut di tolak." Yuda kembali
termenung.
Aku menepuk
punggungnya keras, sampai-sampai Yuda meringis kesakitan. "Kamu laki-laki
bukan sih? Kalau laki-laki berani ambil resiko. Kalau kata orang tuh, langsung
sikat aja." Seruku marah-marah. Terkadang aku ingin menjitaknya
habis-habisan karena sikapnya yang pemalu.
Esok paginya
ketika aku hendak berangkat kerja. Kulihat ada sebucket bunga mawar tergeletak
di atas meja makan. Aku melihat bunga itu lama.
"Itu
punya kamu, Dika?" tanya mama membuyarkan lamunanku.
Aku
menggeleng. "Bukan ma. Aku kira ini punya mama."
Mama
menggeleng. "Dari tadi pagi ada disini. Lagian mama nggak suka mawar.
Banyak durinya."
Seketika itu
juga Yuda datang dengan membawa dasinya yang belum terpasang dan tas kerjanya
dengan terburu-buru. Dia menghampiri meja makan lalu duduk tanpa memperhatikan
kami yang berada di sekitarnya. Dengan tergesa-gesa di baliknya piring yang
berada di hadapannya lalu di isinya dengan nasi goreng dan memakannya dengan
lahap. Aku dan mama hanya terpaku melihat kejadian itu.
"Ini
bunga, punya kamu?" tanyaku ketika aku menarik kursi di sampingnya lalu duduk.
Yuda
menghentikan kunyahannya lalu melihat bunga yang berada di tanganku. Ia
langsung tersedak dan tangannya mencari-cari air putih.
"Udah
dateng rupanya." Ucapnya seraya meletakkan gelas. "Aku kemarin pesen
ke tukang bunga, di suruh di anter ke rumah." Yuda mengulurkan tangannya
meminta bunga itu.
"Buat apa
kamu mesen bunga segala, Yud?" tanya mama seraya membalikkan piringnya.
Yuda tersipu
malu. "Aku mau nembak Krista malam ini."
Kini giliran
aku yang tersedak makananku. Aku meneguk air putih yang berada di hadapanku
dengan terburu-buru. "Apa?"
"Iya. Aku
udah booking restoran buat aku nembak dia. Kemarin aku ngajak dia nonton, hari
ini mau ngajak dia makan"
Aku tersenyum
lebar. "Gitu dong. Gentle man. Itu baru namanya adikku." Ucapku
bangga seraya menepuk bahunya.
!@#$%^&*()
Malamnya
ketika aku sedang mengerjakan laporan keuangan di kamarku, ponselku berbunyi.
Yuda.
Aku tersenyum
ketika melihat nama yang muncul. "Pasti pengen pamer karena dapet pacar
baru." gumamku lalu menekan tombol di ponsel.
"Ada apa
Yud?"
"Ini
bapak Andika?" terdengar suara berat seorang bapak-bapak di sana. Ini
bukan suara Yuda.
"Iya, ini
saya. Anda siapa ya?" tanyaku hati-hati.
"Bapak
Yuda mengalami kecelakaan lalu lintas. Baru saja di bawa ke rumah sakit, saya orang
yang menemukan dompet dan ponsel dari bapak Yuda."
Seketika itu
juga aku membeku. Yuda kecelakaan? Setelah menanyakan alamat rumah sakit aku
langsung bergegas menuju ke sana. Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu
lama. Padahal jaraknya dari rumah ku tidak terlalu jauh, jalanan pun sedang
tidak ramai. Sesampainya di sana, aku berlari mencari-cari dimana ruang
perawatan Yuda.
"Bapak mencari siapa?" tanya seornag suster
menghampiriku
"Yuda.
Yuda Kameswara. Tadi ada yang nelfon saya kalau adik saya tadi masuk rumah
sakit ini." Nafasku tersengal-sengal ketika menjawab pertanyaan suster
tersebut.
"Anda
Bapak Andika?" tanya seorang pria paruh baya menghampiriku. Aku melihat
pria itu dengan tatapan hati-hati.
"Kenalkan
saya Pram. Saya yang tadi nelfon anda." Bapak itu mengulurkan tangannya
aku menyambutnya dengan hormat.
"Adik
saya dimana sekarang?"
Seketika itu
juga raut wajahnya berubah. Nampak sekali ketakutan di wajahnya.
"Adik
saya dimana sekarang?" desakku tidak sabar. Mengapa tubuhku menjadi tidak
enak begini. Perasaan apa ini?
"Baru
beberapa menit yang lalu, nak Yuda meninggal dunia. Sekarang jenazahnya sedang
di bawa ke ruang jenazah."
Seketika itu
juga aku merasa duniaku runtuh dan hancur. Adikku satu-satunya. Meninggal?
!@#$%^&*()
Sejak saat itu
aku mendengar banyak desas desus bagaimana kematian Yuda, tapi tak ada yang
benar-benar terpercaya dan masuk akal. Sampai suatu ketika....
"Kamu
tahu Krista?" tanya seorang karyawan wanita di samping bilik kerjaku.
"Tahu.
Karyawan baru itu kan?" kini giliran si wanita di samping biliknya
berbicara.
"Kamu
tahu nggak gosip tentang dia?"
"Apa?"
tanya si wanita mau tahu
"Katanya
dia pernah nolak seorang cowok, temen satu kantornya dulu. Terus cowok itu
nggak terima dia langsung bunuh diri. Katanya sih kecelakaan mobil, tapi dugaan
kuat gara-gara di tolak sama Krista itu. Padahal cowoknya ganteng banget."
Aku mulai
memutar mataku dan mendengus kesal ketika mendengar kedua wanita ini bergosip.
"Kamu
tahu siapa cowoknya?" tanya temannya penasaran.
"Namanya
Yuda, apa Yudi apa, Budi.... Yuda Iya namanya Yuda."
Seketika itu
juga mataku melebar. Yuda? Apakah yang di katakan para wanita bergosip itu
benar? Jadi.... Semua ini karena Krista ya... Dia harus mendapat balasannya.
!@#$%^&*()
Ternyata
Krista di tempatkan di divisi dimana aku bekerja. Aku hanya tersenyum kecut
ketika dia memperkenalkan diri. Entah mengapa timbul kebencian yang sudah lama
menumpuk. Aku harus menyakitinya.
"Dika,
nanti kamu bantu dia bikin laporan keuangan bulan Agustus ya. Dia kan
baru." Ucap bosku seraya memperkenalkan Krista di hadapanku. Aku hanya
mengangguk kecil sebagai tanda hormat.
"Nah
sekarang kalian bisa langsung bekerja sama. Saya mau ke ruangan saya
dulu."
Tercipta
suasana canggung ketika bossku sudah pergi. Saling diam dan tak tahu harus
bicara apa. Benar-benar bodoh.
!@#$%^&*()
Sudah 3 bulan
ini kami bekerja sebagai partner. Dia partner yang baik, namun tidak cukup baik
untuk meluluhkan haiku. Hati ini sudah di penuhi kebencian kepadanya. Sering
aku bertindak acuh tak acuh atau sama sekali tak menganggapnya ada.
"Ini
rincian data yang kamu minta." Krista menyerahkan kepadaku map berwarna
merah. Au hanya melihatnya sekilas lalu kembali kepada komputerku.
"Kalau
begitu aku pulang dulu." Ucapnya kemudian lalu kembali ke mejanya.
"Tunggu
dulu!" Seru ku cepat. Krista langsung menoleh dan menatapku heran.
"Ada yang
ingin ku bicarakan denganmu."
"Silahkan
saja."
"Aku...."
Tiba-tiba
ponsel Krista berbunyi. Dia langsung merogoh ke dalam tasnya dan mencari-cari
ponselnya. Di angkatnya ponsel itu. Terlihat senyum cerianya ketika mendengar
suara dari sebrang sana. Dia membalikkan badan agar aku tak mendengar
percakapan mereka berdua.
"Maaf.
Tadi mau bicara apa?" tanyanya seraya memasukkan kembali ponselnya ke
dalam tas.
"Itu tadi
pacarmu?"
Krista
tersenyum malu-malu, lalu mengangguk. "Kami baru jadian sebulan yang
lalu."
Tiba-tiba rasa
kemarahan merasuki diriku. Wanita ini sedang asik berpacaran, sedangkan adikku
sedang terbujur kaku di dalam tanah yang dingin dan sendiri. Tidak bisa aku
terima.
Aku langsung
mendorong tubuh Krista hingga menabrak tembok lalu mencengkram kedua tangannya
ke atas. Krista memberontak. Ia meraung-raung meminta tolong dan menggeliyat
berusaha melepaskan cengkramanku.
"Jangan!
Apa yang kamu lakukan? Lepaskan?" Teriak Krista meronta-ronta. Ruangan
kantor kami sudah sepi. Sudah pukul 8 malam. Satpam pun pasti sedang ngopi di
warung depan. Dia benar-benar terjebak.
Aku menatap
matanya tajam. Matanya sudah mulai berair. Rontaannya juga semakin berkurang.
Aku memegang dagunya dan menyajarkan wajahnya dengan wajahku.
"Kalian
baru jadian ya?" Suaraku terdengar sinis dan menyeramkan. "Kalau
begitu, gaya berpacaran kalian sudah sejauh mana ya?" Aku membelai pipinya
dengan jariku, dia hanya memejamkan matanya erat.
"Bagaimana dengan bibir ini? Apakah dia
sudah pernah menciummu?" Aku melihat ekspresinya. Masih sama. "Ku
ambil kesimpulan belum. Ehm... sepertinya bibir ini begitu lezat." Aku
mendekatkan wajahku. Nafas kami saling membaur. Bibirku sudah menyentuh bibirnya.
Benar-benar lembut. Krista berusaha memundurkan tubuhnya namun itu sia-sia.
Aku berusaha
membuka mulutnya dengan pelan dan lembut. Aku mencari-cari lidahnya. Manis
sekali. Ku dengar dia mengeram. Dia menyukainya. Aku mulai berani melumat
bibirnya dengan lembut. Aku ingin dia tersiksa.
Tanganku masuk
ke dalam rok birunya. Mencari-cari dimana letak kenikmatannya berada. Tiba-tiba
tubuhnya tersentak. Aku mendapatkannya. Perlahan aku memasukkan jariku sedikit
demi sedikit ke dalam dirinya. Dia mengeram. Lengannya sudah memegang bahuku
erat. Aku gerakkan jariku yang berada di dalam dirinya. Matanya terbuka. Entah
apa yang ia rasakan, tapi aku jamin pasti suatu kenikmatan.
Lama jariku
berada di dalamnya. Tiba-tiba tubuhnya mulai bergetar. Dia sudah sampai. Aku
melepaskan ciumanku. Nafasnya terengah-engah, begitu pun aku. Dia langsung
ambruk jatuh ke lantai dan tampilannya begitu acak-acakan. Di jari-jariku masih
tersisa lendir kenikmatan miliknya. Aku jilat satu persatu hingga bersih.
"Kamu
tahu? Kamu punya rasa yang lezat." Aku tersenyum sinis. Aku berjalan ke
mejaku, mengambil tasku, lalu pergi dari ruangan itu.
!@$%^&*
Esoknya aku
datang ke kantor biasa saja. Seperti tidak ada yang terjadi. Kuperhatikan
sikapnya, dia juga biasa saja. Masih tertawa, bercanda, dan berbicara seperti
hari-hari sebelumnya.
Saat ku lewati
mejanya. Dia berhenti mengetik dan menatapku lama. Aku balas menatapnya dengan
tatapan tajam. Apa maksudnya menatapku seperti itu?
!@#$%^&*()
"Ini data yang kamu minta." Dia melemparkan
dokumen di hadapanku. Aku menatap dokumen itu lama lalu menatap wajahnya tajam.
“Ada masalah denganku?” tanyaku membaca ekspresinya.
Hari ini aku lembur lagi. Sialnya, aku kembali lembur
bersama Krista.
Dia kembali menatapku tajam. “Apa yang sudah kamu lakukan
kemarin adalah pelecehan. Aku bisa saja melaporkanmu pada polisi.” Jadi dia mau mengancamku.
“Lalu mengapa tak kamu laporkan?” Aku membalasnya.
“Karena apa yang kamu lakukan kemarin tidak pernah bisa
aku lupakan. Setiap aku melihatmu. Kejadian itu kembali terulang. Sentuhanmu,
desahan nafasmu, ciumanmu. Hingga saat ini masih bisa aku rasakan. Apa yang
kmau lakuan kepadaku?”
Aku beranjak dari kursiku. Berdiri sambil melihat matanya
yang mulai berair. “Kenal Yuda?”
Dia tersentak. Cukup lama terdiam lalu tersentak kaget.
“Yuda Kameswara?”
Aku tersenyum sinis. “Dia adikku.”
Matanya melebar. Aku mengambil langkah untuk mendekatinya
dengan perlahan. Merasa terancam dia melangkah mundur.
“Kamu telah menghancurkan hidup adikku. Kamu telah menghancurkan
hatinya. Kematiannya itu karena kamu.”
Dia kembali melangkah mundur. Wajahnya begitu pucat. “Apa
yang kamu bicarakan?”
“Kamu menolaknya.” Nada suaraku tenang namun mematikan
Dia seperti tersadar. Sepertinya dia sudah mengerti
kemana arah bicaraku.
“Itu karena aku tidak ada perasaan apa-apa kepadanya. Aku
hanya menganggapnya teman.”
“Tapi dia menganggapmu lebih. Dia memujamu.”
Wajahnya begitu memelas. Dia sudah pasrah. Aku hanya
mendengus lalu tertawa melihat ekspresinya yang tidak berdaya itu. “Tolong...
Jangan...” pintanya memohon.
Dia sudah tersudut. Jarak kami hanya tinggal beberapa
centi lagi. Aku mulai membelai pipinya. “Kamu bilang kamu tidak bisa melupakan
aku.” Aku mencium pipinya dan menjilatnya dengan lidahku. Ehm, rasanya manis.
“Mari kita melakukannya lagi, sayang.” Aku mulai melumat bibirnya dengan
lembut. Aku ingin dia tunduk kepadaku. Memujaku. Seperti Yuda memuja dirinya.
Dia milikku.
!@#$%^&*()
Setelah hari itu. Dia memutuskan pacarnya. Setelah hari
itu juga percintaan kami lebih berani. Sering kami berhubungan sex di hotel,
rumahnya, atau juga rumahku. Dia benar-benar telah menjadi milikku. Orang-orang
kantor menganggap kami berpacaran. Aku hanya tersenyum saja ketika ada yang
bilang demikian.
“Hai, lagi mikirin apa?” Krista menghampiriku seraya
merangkul leherku dari belakang.
“Udah bangun?” Aku menarik lengannya dan memeluk tubuh
telanjangnya yang telah berada dalam pangkuanku. “Gimana tidurnya? Nyenyak?”
Aku mencium rambutnya dan menghirupnya dalam. Seperti biasa selalu wangi.
Dia mengangguk. “Seperti biasa.” Krista menolehkan
kepalanya kebelakang dan matanya langsung menatap mataku.
“Apa?” tuntutku tajam.
Dia tertawa. “Kau begitu tampan.” Jarinya membelai
pipiku. “Lelaki tampan yang menjadi milikku.”
Ucapnya memuja wajahku. Aku menangkap jarinya dan menciumnya dengan
lembut.
“Kau juga. Wanita cantik yang menjadi milikku.” Aku
mendekapnya lebih erat. Mencium pelipisnya dengan sayang.
Ya tuhan! Apa yang terjadi? Apakah... apakah aku
mencintainya? Mencintai wanita yang seharusnya menjadi milik adikku. Aku
memejamkan mata. Rencanaku sepertinya gagal.
Aku tersenyum menyadari kebodohanku.
“Ada apa?” tanya Krista membuyarkan lamunanku
Aku menggeleng. “Nggak ada apa-apa.” Aku mencium bibirnya
dengan lembut. Merebahkan tubuh mungilnya di tempat tidur. Kembali
menghanyutkan dirinya kedalam kenikmatan berdua. Memeluk tubuhnya dan
mendekapnya erat. Karena dia milikku.
No comments:
Post a Comment