Thursday 29 August 2013

Wrong Or Right Part 13


Holaaaa...... apa kabar semua.... ada yang kangen aku??? ada nggak? *author stres* oke. pertama, maaf banget baru bisa update sekarang. serius nih ya... aku skrg lg sibuk2nya. karena bentar lg  masuk kuliah jd sibuk huakakak... ya sudahlah... nikmatin aja ceritaku ynag amatir ini. SELAMAT MENIKMATI :D

 
  “Mana model perempuannya? Dari tadi belum datang?” seru sang fotografer marah-marah. 
Hari ini ada sesi foto untuk cover spanduk dan pamphlet dengan model utamanya adalah Steve. Saat sesi pengambilan gambar Steve berjalan lancar kini menjadi berantaan karena sang model wanitanya tak kunjung datang.
Alexa yang datang untuk melihat bagaimana proses pengambilan gambar. Harus melihat para staf yang berjalan mondar mandir dan panic.
“Apa? Kecelakaan? Masuk rumah sakit? Bagaimana ini?” kembali sang fotografer marah-marah pada asistennya. Alexa hanya bisa mengangkat alis melihat sang fotografer itu.
“Saya nggak mau tahu. Dapatkan sekarang juga model pengganti atau kerjasama kita batal!” Seru sang fotografer pada asistennya lalu pergi meninggalkan ruang pemotretan. Sang asistent mendekati Alexa dengan wajah lesu.
“Bagaimana ini mba?” Tanya sang asissten dengan wajah tertunduk.
“Kita nggak ada model lain? Atau kita cari aja dari pegawai. Kali-kali aja ada yang kriterianya cocok.”
Wajah assistant itu kembali terangkat. Terlihat secercah harapan disana. “Tapi siapa ya? Kira-kira yang bisa? Masalahnya tingginya harus sepantaran sama Steve. Wajahnya juga punya cirri khas.”
“Gimana kalau dia?” tunjuk Alexa kepada seorang wanita berambut hitam panjang dengan pakaian kantor yang formal.
Asisstent itu menggeleng. “Kurang tinggi.”
5 menit. 10 menit. Hingga 15 menit tidak juga mereka menemukan model wanita yang cocok. Alexa sudah patah semangat dan menyerah untuk mencari. Mungkin memang model wanita itu saja yang cocok ‘bersanding’ dengan Steve. Alexa juga harus siap dimarahi oleh bosnya karena batalnya kerjasama dengan sang fotografer.
“Kita menyerah saja. Aku tidak tahu model seperti apa yang cocok dengan karakter yang kalian inginkan. Mungkin memang lebih baik menunggu kesembuhan dari model wanita itu.”
 Sang asisstent itu terdiam. Kepalanya tertunduk. Ia harus siap dimarahi lagi oleh bos-nya. Ketika wajahnya tertunduk lesu. Dilihatnya kaki Alexa yang jenjang dan mulus. Kepalanya mengikuti alur kaki itu. Tidak ada cacat sama sekali. Ketika pandangan matanya sampai ke pinggul, lalu naik hingga ke wajah Alexa. Raut wajah sang asisstent kembali cerah.
“Aku tahu mba. Siapa yang cocok jadi model penggantinya.” Ujar sang assistant senang.
Alexa yang sedang berpikir juga ikut senang. “Benarkah? Siapa?”
***  
“Nggak… nggak… nggak bisa. Aku nggak pernah jadi model. Lagian malu banget.” Alexa menolak dengan tegas. Ia tidak pernah menjadi model. Ikut lomba modeling saja tidak pernah apalagi model sungguhan. Tidak!
“Tapi mba. Cuma mba yang cocok sama karakteristiknya. Mba tinggi, langsing, rambut panjang. Wajah mba juga punya ciri khas. Cuma mba yang cocok. Ayolah mba, mba nggak pengen kontrak kita batal kan?” Alexa cukup terenyuh ketika mendengar permohonan dari sang asisstent. Tapi menjadi model? Bersama Steve? Itu sama saja bunuh diri!
“Bagaimana? Kau sudah menemukan model penggantinya?” sang fotografer sudah kembali rupanya. Wajahnya sedikit lebih tenang walau ada nada sinis dari suaranya.
Sang asisstent mengangguk. “Ini. Mba Alexa.” Assistant tersebut memegang bahu Alexa.
Sang fotografer memperhatikan Alexa dari atas kebawah lalu ke atas lagi. Wajahnya meneliti setiap jengkal tubuh Alexa. Alexa merasa risih diperhatikan sebegitu intensnya.
“Dia lumayan. Tinggi, langsing, dan wajahnya juga berkarakter. Dia diterima. Cepat dandani dia. Sebelum mood-ku berubah.”
Sang asisstent tak perlu menunggu dua kali. Ia langsung membawa Alexa ke ruang make yang terpisah dengan ruang make up Steve.
***  
“Aku sudah menunggu lama sekali di dalam. Harus berapa lama lagi aku menunggu?” Tanya Steve menghampiri sang fotograer yang sedang menyiapkan kameranya.
“Sebentar lagi. Model wanitanya sedang berada di ruang make-up.” Ucap sang fotografer tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. “Akh, itu dia.”
Steve mengikuti arah kepala sang fotografer. Matanya menyipit ketika melihat seorang wanita yang ia rasa mengenalnya. Alexa? Ya tuhan!
***  
Alexa menggunakan pakaian merah tanpa lengan dengan bawahan 20cm di atas lutut. Tema dari pemotretan itu adalah Sexy and Maskulin. Tapi mengapa ia merasa dirinya seperti seorang pelacur? Dengan pakaian yang ia rasa angin berebut menusuk tubuhnya. Ia juga memakain lipstick merah, yang seumur-umur ia tidak pernah memakai lipsik berwarna merah.
Dilihatnya Steve menatapnya dengan tatapan tajam. Tatapan seperti ingin membunuh. Ya Tuhan!
“Oke! Bisa kita mulai pemotretannya sekarang.” Sang fotografer mulai mengangkat kameranya.
Alexa masih diam tak bergerak. Di hadapannya Steve sedang mengamatinya sedang intens.
“Ingat. Tema dari pemotretan kali ini adalah Sexy and Maskulin. Jadi kalian harus menonjolkan sisi sexy dan maskulin dari diri kalian. Coba saja berbagai macam gaya.”
Mereka masih diam.
Sang fotografer mendesah. “Oke. Aku contohkan. Steve kau duduk di kursi itu dan nona kau duduk di pangkuannya. Ya benar seperti itu. Lalu Steve, kau memeluknya dari belakang. Ya benar. Oke! Buat senatural mungkin.”
“Relax, bukankah kita sudah sering dengan posisi seperti ini? Hanya saja sekarang bedanya kita dilihat oleh banyak orang dan kau memakai pakaian yang sangat sexy.” Bisik Steve tepat di telinga Alexa. Membuat dirinya merinding.
Sang fotografer mengabil gambar. Terdengar suara dari kameranya. “Ya! Ganti gaya.” Perintahnya
“Kau tahu? Aku sangat terkejut ketika melihatmu dengan pakaian seperti ini.”
Alexa tersenyum miris. “Jangankan kau. Aku saja terkejut. Apakah aku terlihat seperti seorang pelacur?”
Mereka lalu berganti gaya kembali.
“Tidak. Kau sangat cantik. Cantik dan sexy. Kau lihat? Para pria disini semua melihat kepadamu. Ingin rasanya aku menyolok kedua mata mereka karena berani menelanjangi wanitaku dengan tatapan matanya.”
Alexa hanya tersenyum. “Kau terlalu berlebihan.”
“Terakhir! Oke!” seru fotografer itu dengan suaranya yang lantang.
“Malam ini. Di tempatmu.” Steve melemparkan senyum khasnya sebelum pergi meninggalkan Alexa.
“Mba! Tadi bagus banget. Natural. Coba lihat.” Seru sang asisstent memanggil dirinya.
Dilihatnya foto hasil dari pengambilan gambar tadi. Ya tuhan! Itu dirinya! Terasa begitu berbeda. Cantik, sexy, dan… menggoda.
“Kurasa kau punya bakat di dunia modeling. Lihat? Kau cantik dan natural. Kau mampu mengimbangi ekspresi dari Steve. Sexy and Maskulin.” Ucap sang fotografer seraya merapikan kembali kameranya.
Alexa masih tidak percaya kalau itu dirinya.
***  
“Hey Alexa. Wow wow… hold on.” Jenny menatapnya dari atas hongga ke bawah. “Who are you? Are you my best friend? Alexa?”
Alexa memang belum berganti baju. Ia baru saja melihat hasil pengambilan gambar barusan.
“Yeah. Im your best friend.” Ujar Alexa tak dapat menahan senyumnya.
“You look different. Well, you beautiful.”
“Am I looks like a bitch?” Alexa kembali menatap dirinya. Ia merasa tidak percaya diri.
Jenny menggeleng. “You perfect. I just… I never see you like this.”
“Well, aku harus berganti baju ini. Sebentar lagi ada rapat dan aku tidak bisa datang dengan baju seperti ini.”
“Yeah. Aku rasa laki-laki di ruangan rapat nanti tidak akan berkedip ketika melihatmu menggunakan baju itu.” Ujar Jenny di iringi tawa.
***  
Alexa sedang memperhatikan bosnya sedang berbicara di depan ketika ponselnya menyala. Ponselnya memang ia aktifkan takut-takut ada panggilan penting, namun tentu saja ia silent.
Ia melihat siapa yang mengirim pesan. Steve. Sedikit senyum menghiasi bibirnya ketika mengetahui Steve yang mengirim pesan.
Ingat. Malam ini di tempatmu. Jam 7 malam ;)
“Ehem… Nona Alexa. Bisa perhatikan sebentar?”
Alexa mendongak lalu kemudian tertunduk malu karena ketahuan sednag membaca sms pada saat rapat. Ia pasti di tegur nanti
***

No comments:

Post a Comment