Holaaaa...... apa kabar semua.... ada yang kangen aku??? ada nggak? *author stres* oke. pertama, maaf banget baru bisa update sekarang. serius nih ya... aku skrg lg sibuk2nya. karena bentar lg masuk kuliah jd sibuk huakakak... ya sudahlah... nikmatin aja ceritaku ynag amatir ini. SELAMAT MENIKMATI :D
“Mana model perempuannya? Dari tadi belum
datang?” seru sang fotografer marah-marah.
Hari ini ada sesi foto untuk cover
spanduk dan pamphlet dengan model utamanya adalah Steve. Saat sesi pengambilan
gambar Steve berjalan lancar kini menjadi berantaan karena sang model wanitanya
tak kunjung datang.
Alexa yang datang untuk melihat
bagaimana proses pengambilan gambar. Harus melihat para staf yang berjalan
mondar mandir dan panic.
“Apa? Kecelakaan? Masuk rumah sakit?
Bagaimana ini?” kembali sang fotografer marah-marah pada asistennya. Alexa
hanya bisa mengangkat alis melihat sang fotografer itu.
“Saya nggak mau tahu. Dapatkan
sekarang juga model pengganti atau kerjasama kita batal!” Seru sang fotografer
pada asistennya lalu pergi meninggalkan ruang pemotretan. Sang asistent
mendekati Alexa dengan wajah lesu.
“Bagaimana ini mba?” Tanya sang
asissten dengan wajah tertunduk.
“Kita nggak ada model lain? Atau
kita cari aja dari pegawai. Kali-kali aja ada yang kriterianya cocok.”
Wajah assistant itu kembali
terangkat. Terlihat secercah harapan disana. “Tapi siapa ya? Kira-kira yang
bisa? Masalahnya tingginya harus sepantaran sama Steve. Wajahnya juga punya
cirri khas.”
“Gimana kalau dia?” tunjuk Alexa
kepada seorang wanita berambut hitam panjang dengan pakaian kantor yang formal.
Asisstent itu menggeleng. “Kurang
tinggi.”
5 menit. 10 menit. Hingga 15 menit
tidak juga mereka menemukan model wanita yang cocok. Alexa sudah patah semangat
dan menyerah untuk mencari. Mungkin memang model wanita itu saja yang cocok
‘bersanding’ dengan Steve. Alexa juga harus siap dimarahi oleh bosnya karena
batalnya kerjasama dengan sang fotografer.
“Kita menyerah saja. Aku tidak tahu
model seperti apa yang cocok dengan karakter yang kalian inginkan. Mungkin
memang lebih baik menunggu kesembuhan dari model wanita itu.”
Sang asisstent itu terdiam. Kepalanya
tertunduk. Ia harus siap dimarahi lagi oleh bos-nya. Ketika wajahnya tertunduk
lesu. Dilihatnya kaki Alexa yang jenjang dan mulus. Kepalanya mengikuti alur
kaki itu. Tidak ada cacat sama sekali. Ketika pandangan matanya sampai ke
pinggul, lalu naik hingga ke wajah Alexa. Raut wajah sang asisstent kembali
cerah.
“Aku tahu mba. Siapa yang cocok jadi
model penggantinya.” Ujar sang assistant senang.
Alexa yang sedang berpikir juga ikut
senang. “Benarkah? Siapa?”
***
“Nggak… nggak… nggak bisa. Aku nggak
pernah jadi model. Lagian malu banget.” Alexa menolak dengan tegas. Ia tidak
pernah menjadi model. Ikut lomba modeling saja tidak pernah apalagi model sungguhan.
Tidak!
“Tapi mba. Cuma mba yang cocok sama
karakteristiknya. Mba tinggi, langsing, rambut panjang. Wajah mba juga punya
ciri khas. Cuma mba yang cocok. Ayolah mba, mba nggak pengen kontrak kita batal
kan?” Alexa cukup terenyuh ketika mendengar permohonan dari sang asisstent.
Tapi menjadi model? Bersama Steve? Itu sama saja bunuh diri!
“Bagaimana? Kau sudah menemukan
model penggantinya?” sang fotografer sudah kembali rupanya. Wajahnya sedikit
lebih tenang walau ada nada sinis dari suaranya.
Sang asisstent mengangguk. “Ini. Mba
Alexa.” Assistant tersebut memegang bahu Alexa.
Sang fotografer memperhatikan Alexa
dari atas kebawah lalu ke atas lagi. Wajahnya meneliti setiap jengkal tubuh
Alexa. Alexa merasa risih diperhatikan sebegitu intensnya.
“Dia lumayan. Tinggi, langsing, dan
wajahnya juga berkarakter. Dia diterima. Cepat dandani dia. Sebelum mood-ku
berubah.”
Sang asisstent tak perlu menunggu
dua kali. Ia langsung membawa Alexa ke ruang make yang terpisah dengan ruang
make up Steve.
***
“Aku sudah menunggu lama sekali di
dalam. Harus berapa lama lagi aku menunggu?” Tanya Steve menghampiri sang
fotograer yang sedang menyiapkan kameranya.
“Sebentar lagi. Model wanitanya
sedang berada di ruang make-up.” Ucap sang fotografer tanpa mengalihkan
pandangannya sedikit pun. “Akh, itu dia.”
Steve mengikuti arah kepala sang
fotografer. Matanya menyipit ketika melihat seorang wanita yang ia rasa mengenalnya.
Alexa? Ya tuhan!
***
Alexa menggunakan pakaian merah
tanpa lengan dengan bawahan 20cm di atas lutut. Tema dari pemotretan itu adalah
Sexy and Maskulin. Tapi mengapa ia merasa dirinya seperti seorang pelacur?
Dengan pakaian yang ia rasa angin berebut menusuk tubuhnya. Ia juga memakain
lipstick merah, yang seumur-umur ia tidak pernah memakai lipsik berwarna merah.
Dilihatnya Steve menatapnya dengan
tatapan tajam. Tatapan seperti ingin membunuh. Ya Tuhan!
“Oke! Bisa kita mulai pemotretannya
sekarang.” Sang fotografer mulai mengangkat kameranya.
Alexa masih diam tak bergerak. Di
hadapannya Steve sedang mengamatinya sedang intens.
“Ingat. Tema dari pemotretan kali
ini adalah Sexy and Maskulin. Jadi kalian harus menonjolkan sisi sexy dan
maskulin dari diri kalian. Coba saja berbagai macam gaya.”
Mereka masih diam.
Sang fotografer mendesah. “Oke. Aku
contohkan. Steve kau duduk di kursi itu dan nona kau duduk di pangkuannya. Ya
benar seperti itu. Lalu Steve, kau memeluknya dari belakang. Ya benar. Oke!
Buat senatural mungkin.”
“Relax, bukankah kita sudah sering
dengan posisi seperti ini? Hanya saja sekarang bedanya kita dilihat oleh banyak
orang dan kau memakai pakaian yang sangat sexy.” Bisik Steve tepat di telinga
Alexa. Membuat dirinya merinding.
Sang fotografer mengabil gambar.
Terdengar suara dari kameranya. “Ya! Ganti gaya.” Perintahnya
“Kau tahu? Aku sangat terkejut
ketika melihatmu dengan pakaian seperti ini.”
Alexa tersenyum miris. “Jangankan
kau. Aku saja terkejut. Apakah aku terlihat seperti seorang pelacur?”
Mereka lalu berganti gaya kembali.
“Tidak. Kau sangat cantik. Cantik
dan sexy. Kau lihat? Para pria disini semua melihat kepadamu. Ingin rasanya aku
menyolok kedua mata mereka karena berani menelanjangi wanitaku dengan tatapan
matanya.”
Alexa hanya tersenyum. “Kau terlalu
berlebihan.”
“Terakhir! Oke!” seru fotografer itu
dengan suaranya yang lantang.
“Malam ini. Di tempatmu.” Steve
melemparkan senyum khasnya sebelum pergi meninggalkan Alexa.
“Mba! Tadi bagus banget. Natural.
Coba lihat.” Seru sang asisstent memanggil dirinya.
Dilihatnya foto hasil dari
pengambilan gambar tadi. Ya tuhan! Itu dirinya! Terasa begitu berbeda. Cantik,
sexy, dan… menggoda.
“Kurasa kau punya bakat di dunia
modeling. Lihat? Kau cantik dan natural. Kau mampu mengimbangi ekspresi dari
Steve. Sexy and Maskulin.” Ucap sang fotografer seraya merapikan kembali
kameranya.
Alexa masih tidak percaya kalau itu
dirinya.
***
“Hey Alexa. Wow wow… hold on.” Jenny
menatapnya dari atas hongga ke bawah. “Who are you? Are you my best friend?
Alexa?”
Alexa memang belum berganti baju. Ia
baru saja melihat hasil pengambilan gambar barusan.
“Yeah. Im your best friend.” Ujar
Alexa tak dapat menahan senyumnya.
“You look different. Well, you
beautiful.”
“Am I looks like a bitch?” Alexa
kembali menatap dirinya. Ia merasa tidak percaya diri.
Jenny menggeleng. “You perfect. I
just… I never see you like this.”
“Well, aku harus berganti baju ini.
Sebentar lagi ada rapat dan aku tidak bisa datang dengan baju seperti ini.”
“Yeah. Aku rasa laki-laki di ruangan
rapat nanti tidak akan berkedip ketika melihatmu menggunakan baju itu.” Ujar
Jenny di iringi tawa.
***
Alexa sedang memperhatikan bosnya
sedang berbicara di depan ketika ponselnya menyala. Ponselnya memang ia
aktifkan takut-takut ada panggilan penting, namun tentu saja ia silent.
Ia melihat siapa yang mengirim
pesan. Steve. Sedikit senyum menghiasi bibirnya ketika mengetahui Steve yang
mengirim pesan.
Ingat.
Malam ini di tempatmu. Jam 7 malam ;)
“Ehem… Nona Alexa. Bisa perhatikan
sebentar?”
Alexa mendongak lalu kemudian
tertunduk malu karena ketahuan sednag membaca sms pada saat rapat. Ia pasti di
tegur nanti
***
No comments:
Post a Comment